Laman

Sabtu, 13 Desember 2014

Puntung Dikeramaian Pasar

Siang tengah hari itu bolak balik pasar Santa entah berapa kali. Bukan hendak mengutuk bolak baliknya, tapi dari bolak balik itu kemudian muncullah cerita. Aku mencari pelastik putih untuk membungkus 500 kertas undangan sebuah acara tutup tahun. Iya, tahun 2014 akan ditutup dengan suka cita, pesta-pesta dan gegap gempita. Itulah adat hedonisme kapital. Yg tidak paham tentang itu diamlah. Wong saya juga tidak paham kok. Hahahahahahahaha....

Setelah mengambil cetakan kertas undangan itu aku meluncur menuju pasar Santa. Pasar itu terdiri, setauku 2 lantai. Lantai bawah berisi penjual makanan dan bahan pendukung. Juga alat-alat pendukung makan memakan. Pun termasuk toko pelastik yg nantinya aku kunjungi. Sementara lantai atas berisi penjual ATK, alat tulis kantor
Termasuk berbagai jenis dan ukuran kertas. Aku pikir pelastik pembungkus kertas undangan itu ada dipenjual ATK. Tapi ternyata aku salah. Dan diberi saran untuk ke toko pelastik di lantai bawah.

Setelah turun aku menunggu cukup lama. Karena satu penjaga toko melayani, sekitar 10 orang pembeli hampir bersamaan. Termasuk aku. Aku menanyakan pelastik bungkus kertas undangan. Lalu dimintai contoh undangannya. Penjual itu mengukurnya, lalu membuka-buka tumpukan pelastik. Dan berkata " ukuran 11 kebetulan lagi kosong Mas, coba toko pelastik di belakang. Masih ada satu toko lagi". Aku menuruti. Pun sama halnya dengan toko yg tadi. Ramai sekali. Sampai pada gilirankuemyerahkan contoh undangan. Pun sama metodenya, diukur. Lalu mengambilkan se-pack pelastik ukuran 10.5 dan memasukkannya pada contoh undangan yg aku kasih. Pas sekali. Tepat nomer dan ukurannya, pikirku. Tanpa panjang lebar aku pun minta 5 pack. Dan menego bayarannya. Menjadi 50 ribu. Ok dan tugas selesai. Aku pun pulang.

Sesampainya di rumah dan aku pasangkan satu demi satu ternyata 2kali pelastik itu terlalu kecil. Aku tunjukan hasilnya ke orang yg menyuruhku. Dia minta ukuran pelastik yg 0.5 cm lebih besar. Aku pun kembali ke pasar Santa dengan penjual dan toko yg sama. Aku sampaikan maksud dan tujuanku. Beres dengan hanya penukaran saja. Dan kembali ke rumah.

Tapi beberapa langkah dari toko itu aku melihat puntung rokok yg masih menyala. Tergeletak di lantai keramik kering yg kanan kirinya ada toko barang-barang pelastik. Apa jadinya kalo puntung yg menyala itu memanasi kertas. Lalu menyala dan membakar pelastik. Kemudian pasar pun menghangus. Aku pun putuskan menginjak puntung itu sampai mati baranya.

Ayo lah bertanggungjawab mulai dari hal-hal kecil. Kalau masih sembarangan dalam hal kecil seperti puntung rokok itu bisa membahayakan orang lain. Bukan hanya gambar bibir rusak, paru-paru rusak dan segalanya yg kebenarannya belum teruji. Tapi berilah peringatan bahwa api bisa melahap apa saja di pasar. Pun bara api di pasar Santa.

Lalu sampah puntung itu, terutama rokok yg menggunakan filter. Filter itu berbahan seperti pelastik. Dan bahan yg tidak mudah hancur. Bisa memerlukan waktu nerpuluh tahun untuk mengurai sampah filter rokok itu. Alangkah baiknya sampah ini tidak dibuang sembarangan kalau tidak mau mencemari lingkungan. Berbeda dengan rokok kretek yg hanya kertas dan tembakau saja. Jadi mudah terurai menjadi zat alam yg bisa dimanfaatkan oleh tetumbuhan.

Mulailah mendetail dari hal-hal kecil yg ada di sekitar kita dan yg ada dalam diri kita.

Selasa, 09 Desember 2014

Malam Minggu

Malam-malam minggu itu menjadi sejarah. Pahit, getir, manis dan asin, gurinya ada disetiap sejarah. Entah bagi mereka yg telah mencatatkan namanya di KAU. Tapi malam minggu bagiku, kemarin, kini dan nanti, akan ku usahakan menjadi sejarah terbaik. Meski ada yg terburuk dari yg terbaik itu, semua tertuang dalam lontar modern abad ini. Kertas-kertas, halaman-halaman media sosial, halaman-halaman blog dan apa pun yg bisa aku manfaatkan untuk menulis sejarah.

Tentang sebuah malam minggu kelabu tempo dulu. Malam minggu tanpa tau apa yg akan menjadi tujuanku. Tentang malam minggu yg tak seorang pun tau, aku merindumu. Malam minggu yg setiap jengkal jarum jam aku nikmati sendiri. Di keramaian sembah mulia seribu puji nabi. Malam minggu yg gerimis, hujan atau terang bulan. Malam minggu yg dingin, gerah dan yg terasa biasa saja. Malam minggu yg dipersiapkan untuk memberontak kesewenangan kekuasaan. Malam minggu yg ditemani segudang judul film, animasi, drama, komedi, aksi dan family. Malam minggu yg hanya ada aku sendiri.

Atau tentang malam minggu saat menelan pil pengobat rindu. Malam minggu yg aku dan kamu bertemu. Malam mimggu yg mengumbar senyum diputaran waktu. Malam minggu yg hanya ada aku disisimu. Malam minggu yg merelakan waktu menguap bersama tatap. Malam minggu yg aku dan kamu berseteru. Malam minggu yg aku dan kamu tergugu. Malam minggu yg kita bersama menyusuri jalan raya. Malam minggu yg kita bersama berbelanja. Malam minggu yg kita menikmati seporsi sate. Malam minggu yg ditemani secangkir kopi.

Apa kabar kau yg kelabu? Apa kabar kalian para pemuja nabi? Apa kabar kalian yg memberontak kesewenangan kekuasaan? Apa kabar kalian yg menyediakan segudang judul film? Dan apa kabar rindu menggebu yg ditahan berminggu-minggu?

Kau masih baik saja pil pengobat rindu? Lalu bagaimana dengan mu Bertemu? Apakah baik kabarmu? Juga kamu Senyum, Sisi, dan Tatap. Apakah kalian juga baik? Dan, ah, jalan yg menjadi saksi seteru itu rusak. Apakah seteru juga baik saja, aku tak tahu. Yg menjadi saksi kunci, jalanan itu, sudah berubah. Apakah dia, jalanan, itu masih ingat dengan seteruku dengan rindu, dengan cinta, dengan gadis. Itulah Jakarta. Setiap detik bisa saja berubah. Jalanannya, gedung-gedungnya, terminal dan supirnya, gubernur dan DPRD-nya.

Tapi semoga cinta yg aku bawa ke Jakarta ini tak pernah berubah. Rindunya, sayangnya, cintanya, pil rindunya, secangkir kopinya dan banyak hal yg masih dianggap baik. Dan semoga segala apa yg baik di Jakarta ini bisa aku terima. Menjadi bagian hidupku untuk menikmati malam minggu yg kini dan akan datang.

Malam minggu yg akan datang, semoga, masih ada rindu, masih ada secangkir kopi, nasih ada pil rindu, masih ada pujian nabi, masih ada di sisiku, masih masih semua yg baik-baik dan menjadi hikmah. Semoga ada banyak cerita tentang malam minggu. Menikmatinya bersamamu.

Jumat, 05 Desember 2014

Dosa Selokan dan Masjid

Siang itu, layaknya seorang musafir, aku biarkan kaki ini terus menyusuri jalan. Jalan penuh debu bekas galian selokan yang telah mengering. Hilir mudik pengendara berbagai moda tranportasi. Sepeda kayuh, becak, sepeda motor, bajaj, angkutan kota, truk-truk sampah dan entah apa saja yg mendahului atau berpapasan denganku. Tak kupedulikan mereka. Dan anganku hanya pada kampung halamanku. Membayangkan seorang perempuan paruh baya itu terbaring disebuah bangsal rumah sakit.

Sampai depan sebuah toko susu aku berhenti sejenak. Barangkali temanku yg bekerja di toko itu hendak menitipkan sesuatu. Untuk sanak familinya di kampung. Ya, aku akan mudik sore ini. "Tidak ada yg akan aku titipkan", katanya dengan penuh keyakinan. Padahal dalam hatiku berharap dia memberiku sedikit pesangon sebagai belas kasih seorang yg sedang terkena musibah. Ah, biarlah jazad ini menemui perempuan paruh baya itu tanpa bekal. Kecuali badan yg sehat ini.

Kembali aku berjalan. Meninggalkan harapan yang menguap. Menyongsong sesiung buah pengobat kerinduan. Dan terus kubiarkan kaki ini melangkah. Menemu pijakannya sendiri. Sementara mata menahan kantuk akibat tak bisa tidur semalaman. Memikirkan yg jauh disana. Tapi kemudian jalan menjadi becek. Jalan kedepan itu selokannya baru sedang digali. Dan hasil galiannya itu dimuntahkan dipinggir jalan. Dan kulihat seorang muda sedang mengayunkan cangkul. Mengumpulkan bekas galian itu agar tak berserakan ke tengah jalan. Kuperhatikan dia berhenti sejenak saat melihatku hendak melewatinya. Kutengok dia mulai mengayunkan cangkulnya saat jarakku sekitar 2meter. Tak ku pedulikan lagi dan kembali menatap kedepan. Tapi kemudian kurasakan cairan kental hangat muncrat ke badan bagian bawahku. Ah, lumpur selokan itu menempel di celanaku. Kutengok kembali ke belakang. Pemuda itu minta maaf. Aku tersenyum dan menunduk. Meski dalam hatiku marah, tapi sebisa mungkin tak akan kubiarkan dendam membusukkanku.

Sembari jalan aku mencari-cari tempat untuk membersihkan diri. Tak lucu kan kalo duduk di sebuah metromini dengan celana penuh lumpur dan bau? Dan perjalananku sampailah pada sebuah pom bensin. Kulihat kode pom itu. Dan dibawahnya tertulis rest area, toilet kemudian mushola. Aku pun singgah. Mencari-cari dimana mushola atau toilet. Aku hendak membasuh dosa. Tapi tak kutemukan. Hanya bangunan megah bertuliskan Masjid berwarna emas. Dikelilingi pagar besi dan pintunya tertutup rapat. Kudekati pintu itu. Sistem dua pintu rupanya. Satu pintu lebar untuk mobil dan motor, terkunci. Dan pintu kecil untuk pejalan kaki. Pintu itu ada penghalang besi setinggi betis orang dewasa. Tertutup tapi tak di gembok. Aku membukanya dan masuk. Menuju tempat wudlu dan toilet. Kubasuh semua luka. Dan celanaku basah pada bagian belakangnya. Aku putuskan duduk istirahat sembari berjemur. Setengah kering celanaku dan adzan pun dikumandangkan. Dhuhur. Aku beranjak dari tempatku duduk.

Sembari berjalan. Masjid, sebagai tempat bersujud benar-benar hanya menjadi tempat bersujud. Sementara yg bersujud belum tentu terbebas dari penyakit su'udhon. Prasangka buruk. Mungkin orang-orang sepertiku, yg mampir tapi justru pergi saat adzan dikumandangkan adalah orang yg merugikan mereka. Atau ada banyak musafir-musafir lain yg memanfaatkan masjid sebagai tempat istirahat malam, tidur. Seperti aku dulu. Berjalan dan berjalan, dan berhenti saat malam datang. Beristirahatlah di masjid dan mushola.

Makna masjid dan mushola semakin menyempit saja. Dulu aku diceritai, entah oleh siapa, bahwa seorang pencuri yg sedang dikejar-kejar penduduk desa masuk ke sebuah masjid yg dalam posisi gelap. Lalu berdiri menghadap kiblat sembari bingung mencari jalan keluar. Tapi rombongan pengejar itu berlalu begitu saja. Mengira orang di dalam masjid itu sedang beribadah.

Masjid adalah tempat paling aman bagi siapa pun. Tak terkecuali jama'ah yg ada di sekitar masjid pun seharusnya merasa aman. Karena belum sempurna iman seseorang yg apabila kamu berada disekitarnya merasa tidak aman. Pun ketika masjid menjadi tempat yg tidak aman bagiku karena satu dan banyak hal, sebenarnya siapa yg imannya kurang sempurna?

Tak seharusnya masjid memiliki pagar keliling. Seolah-olah menghalangi orang-orang yg hendak menyambut hidayah. Seolah-olah masjid adalah tempat yg perlu diamankan dari orang-orang yg tak semestinya berada di masjid. Mungkin orang-orang sepertiku. Padahal penjagaan ALLAH lebih aman dari penjagaan apapun dan siapapun. Seharusnya pengurus masjid membuka lebar halamannya menyambut mereka yg datang. Dan menyerahkan penjagaan hanya pada ALLAH. Atau jangan-jangan mereka tidak tahu bahwa penjagaan Tuhan lebih dari apapun? Mari lebarkan pintu masjid.

Kamis, 20 November 2014

Manusia

Manusia adalah hal yang paling kompleks dari ribuan macam hal kompleks yang pernah ada. Kompleks mulai dari zat penyusunnya, pemikirannya, sampai output yang dihasilkannya. Pun in put-nya jelas kompleks. Dari zat-zat kimia alami yang sudah diketahui namanya sampai yang belum ternamai dengan sempurna. Komplek dari zat cair, padat dan gas. Kompleks dari bumi, air, udara dan api.

Menciptakan kesimpulan tentang manusia tak semudah mencipta sebait puisi atau selarik pantun. Pun tak akan habis dibahas dalam satu buku. Pun beribu-ribu buku yang ada di dunia hanya membahas tentang manusia. Dari sisi religi, keyakinan dan keimanan serta ketuhanan. Semua yang dibahas hanya manusia saja. Tak menyentuh keagungan Tuhan sedikitpun. Pun tersentuh keagungan Tuhan, hanya sebatas pancaran. Bukan keagungan Tuhan yang sesungguhnya.

Dari sisi ekonomi hanya manusia yang memiliki ilmu terapan tentang itu. Behubungan dengan perdagangan, keuangan, debit kredit, kemakmuran, kesejahteraan kenyamanan, kebahagiaan, dan seluruhnya yang di bahas dalam ilmu ekonomi hanya untuk manusia. Hewan-hewan tak pernah bertanya tentang ekonomi. Tetumbuhan pun tak. Tuhan pun tak. Manusia menciptakan untuk dirinya sendiri. Untuk kemakmuran sendiri, untuk egonya yang tak pernah mau mengalah.

Kemudian bermunculan ilmu-ilmu pertahanan, geografi, geologi, geopolitik, dan geo-geo yang lain. Semua dipelajari untuk kepentingan manusia, untuk kebahagiaan manusia, untuk kesejahteraan manusia. Lalu ilmu fisika terapan energi, perubahannya, pemanfaatannya sampai pada penggunaannya dalam keseharian dan perbaikannya. Semua untuk manusia hang berpikir dan berkemauan kompleks.

Manusia, selalu kompleks dalam segala hal. Karakter yang kompleks. Senin ceria, Selasa cemberut. Rabu dan Kamis seragam tapi tak sama, Jum'at dan Sabtu akhir pekan dan Minggu libur. Manusia komplek dari emosi. Diludahi diam saja, giliran diababi( dihina melalui kata-kata) marah tak henti-henti. Sama-sama keluar dari mulut, tapi karena zatnya berbeda respon pun berbeda. Pun perbedaan respon tercipta dari perbedaan karakter.

Manusia selalu kompleks dalam kehidupan sehari-harinya. Dibuatkan karakter yang angkuh ketika disekolah sebagai guru, tapi kemudian dirumah takut istri. Dibuatlah karakter yang lemah lembut, tapi dibalik meja telah membayar pembunuh bayaran. Dicitrakan karakter yang sopan, ceria, simpel dan sederhana, bisa jadi dibalik itu tersembunyi sesuatu yang tidak kita ketahui.

Itulah manusia yang selalu kompleks. Tak mudah menyimpulkan apa, siapa, kenapa, dimana, kapan, bagaimana dan berapa-nya manusia itu. Manusia selalu menarik untuk dipelajari. Kehidupannya, bukan kematiannya.

Minggu, 16 November 2014

Welcome to Banyumas Satria City

Beda Banyumas beda pula Jakarta. Begitu keluar dari hiruk pikuk kota, menembus jalan tol yang selalu hijau di pinggiran bahunya sudah terasa dinginnya ac bus. Memasuki kota-kota kecil seperti Subang, Indramayu dan Cirebon menjadi semakin dingin dan semakin dingin. Lebih dingin lagi memasuki kaki gunung Selamet, di lembah-lembah Bumiayu, Paguyangan dan Ajibarang.

Kalo di Jakarta, tidur malam pun masih harus di kipas-kipas. Padahal setelah sesiangan hujan-hujanan. Pun kadang masih belum cukup. Harus pula disertai lepas baju sampai telanjang untuk menjaga kualitas tidur. Bayangkan betapa panas dan sumpeknya Jakarta. Tapi ribuan orang tiap tahunnya selalu saja berdatangan yang baru.

Banyumas Satria City, pelataran kaki gunung Selamet. Yang konon dibawah tanah kabupaten ini berupa lahar. Tapi setiap malam selalu lebih dingin dibanding Jakarta. Kalo di Jakarta tidur musti telanjang. Tapi kalo di Banyumas, lari pagi cari keringat atau sekedar olahraga jalan kaki masih memerlukan pula jaket kulit tebal. Lengkap dengan masker, penutup kepala dan sarung tangan. Juga celana trening panjang beserta sepatu dan kaos kakinya.

Bayangkan bagaimana malam harinya! Kalau tidur, paling enak berselimut. Lebih enak lagi kalau selimutnya selimut kulit. Emang ada selimut kulit? Jaket kulit kali...

Selimut kulit. Ada kan selimut kulit? Dan lebih enak kalau selimut kulitnya terbuat dari kulit manusia. Wah parah nih. Masa kulit manusia dibuat selimut sih? Iya, bener. Apa lagi kulit manusia lengkap dengan daging tulangnya. Pasti mantap tuh dijadikan selimut malam menemani tidur. Bisa-bisa lupa kalau hari sudah pagi. Pun kalau tak ingat kewajiban makan mungkin kita akan tetap di kasur meski matahari telah menegur.

Kalian tahu selimut kulit manusia yang lengkap dengan daging tulangnya??? Itu adalah suami atau istri kalian.

Minggu, 17 Agustus 2014

Uyon-uyon 3

Kye cerita pas arep nguripna perjanjen generasi 09. 
Gondrong; Mbah Yai, nyong njaluk pandongane lan restune Si Mbah. InsyaALLAH nyong arep ngadegna sholawatan. 
Mbah Yai; ya apik kwe Ngger. Neng ndi? Karo sapa bae batire? Tp ganu wis tau gawe grup mbok? 
Gondrong; neng Muncu Mbah. Urung nemu batir, anu tembe arep ngawiti sekang nol maning. Nek ganu gawe grup nek siki ngadegna sholawatan. 
Mbah Yai; y, aku mudeng maksud atimu Ngger. Siji pesenku Ngger, kudu diemut-emut. Pecakeran biasane ora adoh-adoh sekang sumur Ngger. 
Gondrong; njih Mbah, kawulo tampi. 
Mbah Yai; halah, kowe kwe gelem kromo maring wong tua nek wis dil-dilan. 
Gondrong; he he he. 
Mbah Yai; wis nganah, lunga, gantian kaeh wis akeh sing ngantri. 
Gondrong; ok Mbah, makasih, dadaaah, cling.
Mbah Yai; bocah gendeng.

Hampir Sekali, Atau Jangan-Jangan Memang Sudah Menjangkiti.


Kisah aschabul kahfie, yang membela kebenaran Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam tercengang dengan sebuah agama baru yang muncul dari kebenaran Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam. Kebenaran itu adalah Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam sebagai nabi dan rosul. Tetapi 300 tahun setelah masa aschabul kahfie, seorang nabi dipuja menjadi Tuhan.
Dalam kalangan islam salaf (bukan salafi ya, beda loh), orang-orang mengagungkan begitu rupa terhadap Nabi Muhammad sholaLLOHU 'alaihi wabaroka was-salam. Tidak salah. Memang begitu terlalu Agung jika hanya dipuja (sholawat).
Dan sekian ratus tahun kemudin. Di masa kekianan, bermunculan icon-icon sholawat. Orang-orang memuja dan memuji icon-icon itu. Tetapi mereka lupa tentang Nabi Muhammad sholaLLOHU 'alaihi wabarik was-salim.
Bes-sholawat tidak harus bersama habib syeh, tidak harus bersama habaib manapun. Ber-sholawat tidak harus bersama Gondrong.
Ber-sholawat tidak harus di masjid, tidak harus di mushola, tidak harus di majlis sholawat. Ber-sholawat tidak harus digembor-gemborkan. Tidak harus dikeraskan. Tidak harus dan tidak harus. Termasuk tidak harus dengan suara merdu (jere mba Nar sing suarane ora merdu. Padahal lolos seleksi vokal dawamus-sholawat).
Esensi sholawat adalah bagaimana kita mengagungkan Sosok Agung tiada terkira. Bagaimana, dimana, kapan, berapa, apa, dan siapa keagungan itu muncul, ter-pujikan(ter-sholawat-kan). Kemudian menjadi bentuk tingkah laku manusia yang memanusiakan manusia. Menjadi manusia yg meng-ulamakan ulama. Menjadi manusia yg menabikan Nabi, merosulkan rosul dan menuhankan Tuhan. Bukan menuhankan akal, perasaan apalagi bentuk-bentuk kebendaan. Seperti uang, harta, kegantengan, kecantikan dan tentu kegagahan untuk menggagahi manusia lain.

Uyon-uyon 2

Gondrong   ; Lah belih, beyekan gari nganggo ikih, tugel ya ngonoh.
Si Mbah      ; Sih, dapurmu. Kue depawiti beyekan kon nggo ngempani anak bojo. Ora kon nggo tugel-tugelan. De rumat sing bener kue beyekane.
G                ; lah ngangsa temen. Anak urung due, bojo tembe arep depet wis mlayu. Ya anu ndeyan beyekane kon nggo tugel-tugelan.
SM              ; Kyeh bocah, derungokna nek wong tua lagi ngomong. Ora usah cokan kewanen arep urip dewek. Sepira dayamu? Sepira kuatmu?
G                ; Owala Mbah, Mbah. Ya wis ayuh urip bareng Mbah bae.
SM              ; Bebeh nyong kon urip karo ko. Ngedap. Urip kur dolanan dialektika tok. Udud ngopi ya nunut. Nyong mati ya mentakan ko teyeng ngubur? Duit be ora due.
G                ; Lah kueh. Mbaeh be ngedap urip karo nyong, apamaning wong lia?
SM              ; Alah ngedap nyong ngurusi ko. Cling(Mbaeh ngilang).
G                ; Owala Mbah Mbah,(maca donga). Cling(Mbaeh teka maning nggawa bentong).
SM              ; Ngapa maning nyeluki nyong?
G                ; he he he, ora Mbah, kur arep ngomong, . .
SM              ; Ngomong apa maniiing?
G                ; Assalamu'alaikum. Cling.
SM              ; Owalaaa bocah kurangajar.

Uyon-uyon 1


Guyon disit.
Ini jaman susah. Banyak bahan pokok yg harganya meninggi. Apalagi menjelang bulan puasa dan lebaran. Semua bahan pokok hampir tak terbeli.
Suatu hari seorang anak remaja mendekati ibunya. Dalam hati hendak minta uang.
"mah minta duit donk?" kata sang anak. Tp begini jawab ibunya;"duit, duit, . . Duit terus. Buat apa sih? Tau ngga sih kamu? Sekarang jaman susah, nyari uang seribu perak saja susah." sambil marah-marah.
Tp dasar anak jaman sekarang pada pinter. Jd bisaaa aja jawabnya. Begini katanya; "iya lah bu, sekarang emang nyari seribu susah, wong yg banyak kan duaribuan."

Awas Ada Kasta


Kasta (ora nganggo ma) atau tingkatan dalam masyarakat memetakan pergaulan. Ada brahmana, satria, waisya dan sudra. Brahmana atau dalam bahasa keislaman adalah alim ulama. Sedang satria adalah pemerintahan, baik kepala maupun prajuritnya. Waisya adalah kaum wirausahawan, pedagang dan petani, nelayan. Lalu sudra adalah pekerja kasar yang melayani 3 kasta seblumnya.
Urutan ketingian drajat atau kemuliaan sama persis seperti yang telah ditulis. Brahmana, satria, waisya, dan sudra. Kasta ini ada pada saat kerajaan Hindu Budha berkuasa di Nusantara.
Lalu kedatangan orang-orang eropa mengubah semuanya. Memanfaatkan apa yang sudah ada. Kemudian menanamkan pelajaran kasta ini ke seluruh Nusantara. Dengan design, fungsi dan pengertian yang berbeda.
Orang eropa, dengan kapal yang bisa mengarungi samudra, bersenjata senapan api dan meriam, menempatkan diri sebagai brahmana. Keilmuan, kecanggihan teknologi yang dibawanya, juga kerakusannya memaksa raja-raja Nusantara mengakui mereka sebagai brahmana berkulit putih kemerahan.
Kasta satria masih tetap di posisi ke dua. Disusul waisya yang berisi pedagang asing selain eropa. Kebanyakan adalah Cina dan orang-orang timur tengah. Dan sudra adalah abdi bagi semua kasta. Terdiri dari semua orang Nusantara asli. Khususnya Yawabhumi, atau Jawadwipa, atau jawa.
Hingga saat ini sistem kasta ini masih bercokol kuat didalam pikiran dan hati orang-orang Nusantara. Dalam benak kita, menggunakan product asing lebih "wah" ketimbang menggunakan product dalam negeri. Segala apa yang berbau asing ditiru demi membuat "wah" diri. Dan akhirnya semua yang berasal dari negeri sendiri adalah hina.
Mari bersama kita hapuskan nalar yang demikian. Sejatinya manusia dari manapun asalnya adalah sama. Kita pun bisa seperti eropa. Bahkan lebih. Kita pun bisa seperti Amerika, bahkan melampaui. Hanya dengan 1 jalan. Tanamkan pada diri bahwa manusia, adalah sama, kualitas maupun derajat kemuliaannya.

Palestina vs Israel


Konflik ini sudah dimulai jauh hari bulan tahun abad lalu. Israel, dalam sejarah adalah orang perantauan yang tidak punya tanah air. Dari nabi Ishak AS lalu nabi Ya'qub AS lalu Nabi Yusuf AS.
Nabi Yusuf AS yang dibuang saudara-saudaranya kemudian dipungut raja Mesir. Ceritanya ada dalam al-qur an surat yusuf. Dan berkembang-biaklah keturunan Nabi Ya'qub ini dan termafhum dengan nama anak2 isroil atau bani isroil.
Sepeninggal Nabi Yusuf orang2 asli mesir iri dengan kedudukan bani isroil. Lalu rada mesir menurunkan derajat mereka menjadi budak. Kemudian datanglah Nabi Musa AS dengan janji tanah perdamaian. Di daerah Yerusalem. Dan seterusnya seterusnya seterusnya.
Bani isroil yang enggan taat kepada Tuhan konon mendapat kutukan. Tidak akan mendapat tanah perdamaian yang telah dijanjikan. Dan setelah selesai masa Nabi Isa yg bukan dari bani isroil, kaum yahudi(bukan agama) atau bani isroil ini tersebar keseluruh dunia tanpa tanah air yang jelas.
Begitulah yang kemudian memunculkan keinginan untuk membentuk negara yahudi, Israel. Yang didukung kaum yahudi yang tersebar diseluruh penjuru dunia dan menempati posisi penting di negara2 hebat eropa dan amerika. Bahkan negara2 timur tengahpun disusupi kaum yahudi ini.
Siapa yang akan melawan israel kalau sudah demikian?
Siapa bilang tak ada tujuan tertentu yang kita tidak tahu, kalau israel dengan dukungan penuh bisa mengalahkan Palestina dengan mudah? Saya kira tidak sekedar politik, wilayah kekuasaan, agama. Ada yang lebih dari sekedar itu.

Tradisi


"Kali ilang kedunge, wong wadon ilang wirange, pasar ilang kumandange".
Suatu saat datang masa seperti yang telah digambarkan itu. Adalah sebuat masa kehancuran. Tahun-tahun yang kehilangan segala-galanya dari manusia.
Mungkin yang paling mudah dimengerti adalah "wong wadon ilang wirange". Perempuan tidak punya malu. Dimana-mana sudah banyak perempuan MBA(Meried by acident). Menikah karena hamil duluan. Dimana-mana perempuan tanpa malu mengumbar kewanitaannya dimuka panggung. Dengan demikian perempuan sebagai guru pertama anak bangsa telah mengajarkan hal-hal yang tak pantas. Menuai kehancuran masa depan anak bangsa.
"Kali ilang kedunge". Yaitu ketika manusia mengumbar ilmunya yang pas-pasan. Ilmu-ilmu yang dipelajari secara instan menciptakan guru-guru yang dangkal. Kedung, merupakan bagian sungai yang terdalam. Kemudian hilang oleh karena cara belajar instan. Aliran ilmu tak menciptakan kedung. Tapi ngaku-ngaku sebagai kedung. Sebagai sumber ilmu.
"Pasar ilang kumandange". Seperti tradisi lebaran pun sudah hilang. Orang yang obral maaf dimana-mana. Di jejaring sosial, dari sms, telephon dan semuanya. Tapi sebenarnya tak ada tegur sapa disana. Hanya tinggal tradisi saja.
Dulu sekali. Aku masih ingat ketika lebaran tiba maka setelah usai sholat riyaya semua manusia berkumpul di kuburan. Ziaroh, menyapa, memohon maaf, mendo'akan sesepuh, orang tua, sanak keluarga dan siapapun yang mereka kenal. Dan selesainya ziaroh itu, satu persatu mendatangi pintu demi pintu demi segepok maaf. Yang muda mendatangi yang tua. Yang tua menyayangi yang muda. Yang penting sekali, ketika belum ada sepeda motor dan mobil, kita seperti semut. Setiap ketemu sebuah rombongan keluarga, kita memerlukan untuk berjabat tangan. Dengan jalan kaki kita bisa ketemu dengan hampir semua penduduk desa. Kecuali sesepuh yang sudah tak bisa jalan.
Tapi sekarang pemandangan itu telah hilang lenyap. Motor tak mau berhenti ketika berpapasan. Mobil terus jalan ketika orang-orang menepi dari jalan. Tak ada lagi jabat tangan dijalan.
Dulu sekali, setiap pulang dari kuburan, selalu keliling sebanyak 40 rumah yang terdekat dengan rumah kita. Tapi sekarang yang demikian sudah hilang. Hanya menyambangi rumah orang tua dan sesepuh saja. Padahal dosa terbanyak ada pada tetangga.
Itulah "pasar ilang kumandange" di hari yang hanya punya fitri. Yang masih gundah gulana melihat 3 ramalan kehancuran.

Welas Asih

Melihat dengan mata hati yang welas asih menjadi ketentraman sekaligus kegundahan. Ketentraman karena kenikmatan dan keberuntungan yang dilihat tidak menimbulkan kedengkian. Kegundahan karena ternyata masih banyak manusia yang perlu kita welas-asih-i. Terutama sekali adalah manusia yang dalam hatinya tidak mengenal welas asih. Mencederai, menyakiti, pun meneror tanpa henti.

Berbuat baik dimana saja, kapan saja dan untuk siapa saja. Dimana saja tempat kita berada, tempat kita melihat orang yang tersakiti. Kapan saja bahkan saat kita merasa harus membalas kesakitan yang menimpa kita. Siapa saja, baik yang pantas maupun yang menurut sebagian orang tak pantas menerima kebaikan kita. Karena telah menyakiti kita.

Meskipun kadang kebaikan yang kita berikan tak menyelesaikan masalah. Tapi peraturannya memang berbuat baik tanpa syarat kan? Bukan harus berbuat baik yang menyelesaikan masalah. Seperti bantuan dana untuk Palestina. Itu tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi ketimbang tidak berbuat baik?

Termasuk Indonesia. Kita perlu berbuat baik minimal dengan hadiah fatihah sehari sekali. Sebelum itu tentu yang layak mendapatkan hadiah fatihah itu seperti Nabi, para shohabat, aulia, kyai dan guru kita, lalu orang tua dan sesepuh. Minimal mendo'akan yg baik-baik. Lahummul Fatihah!!!

Jumat, 03 Januari 2014

Sekelumit saja

Berawal dari sebuah setatus dalam media sosial seorang mantan, atau mungkin lebih terhormat jika alumni, PC IPNU Kab.Banyumas. Mungkin setatus itu terbentuk akibat momen tahun baru yang juga diwarnai dengan penggerebegan terduga teroris. Setatusnya demikian:

"Banyumas menjadi spot sarang teroris. Hari ini Kemranjen, besok mana lagi? Sumpiuh, Purwojati, Wangon, Baturaden, Banyumas, atau potensi lainnya kah? Mari bersama-sama menjaga wilayah masing-masing dari ancaman teroris yang merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. NKRI dan PAncasila harga mati."

Awalnya setatus tersebut aku tangapi sebagai candaan. Tapi kemudian muncul gagasan komentar menarik. jadi saya berkomentar begini:

"Teror adalah bentuk kejahatan yang tidak bisa dibuktikan. Apalagi dugaan teroris. Baru sekedar terduga tapi sudah dihukum mati karena baku tembak dengan Salep Kulit 88. Dengan diberitakan melawan ketika hendak diperiksa. Saya kira cacing pun akan ngulet ketika terinjak". Apalagi kalau digejug?

Kemudian komentar saya itu mendapat sambutan dari pihak lain yang kemudian menyebut nama saya dalam komentar tersebut. Begini komentarnya:

"Sejatinya ketika seseorang atau kelompok menganggap sistem demokrasi NKRI(yang sudah disepakati oleh mayoritas) sebagai haram, itu sudah kategori teror dan subversif".

Sebenarnya apa itu subversif saya tak tahu. Tapi kemudian saya berujar juga seperti ini:

"Teroris itu bukan mengancam NKRI. kan sudah dirulis diatas? NKRI harga mati. jd sudah tidak bisa ditawar lagi. yang jadi ajuan saya itu masalah su'udhon hati kita. itu yang pertama. lalu kemudian hak hidup yang dirampas cuma sekedar menjadi terduga teroris. 
Sekalian saja sebut merek disini biar nanti Salep Kulit 88 meng-dor satu demi satu setiap yang kita su'udhoni atau paling tidak mereka yang berpeluang ikut-ikutan mengusik NKRI. Kan kiranya ini seperti tragedi 65 kecil-kecilan. Cuma dengan bukti tercatat sebagai anggota sudah ikutan dikeruk dan dibuan gke kali. padahal sama sekali tidak tahu duduk perkaranya yang di atas. Masa iya mau mengulang tragedi itu lagi dengan musuh yang berbeda? Sementara Gus Dur pernah meminta maaf kepada korban tragedi 65 saat beliau masih menjabat sebagai presiden. Dan sekarang NU pula yang tebitkan buku putih tentang tragedi tersebut.
Dari pada meributkan NKRI mending membenahi pemerintah saja lah. untuk sementara ini apalah arti sebuah nama, termasuk NKRI. Urusin yang penting dulu lah. Rakyat damai, aman, nyaman, kerasan, Banyak pegaweyan, apapun bentuk dan namanya saya dukung. tak harus NKRI jika itu memang solusi."

Dan masih panjang lagi komentar itu bersambut. Tapi tak lagi cakap. Dan pula tulisan ini tak hanya untuk komentar-komentar tersebut saja. Lebih peting mengenai bagaimana menyikapi terorisme di Indonesia. Baru- baru ini saya membaca dalam sebuah Harian Kompas, kalau tidak salah, bahwa beberapa Ulama Sunni dari mancanegara datang ke indonesia untuk berdialog dengan aki-aki dari Ngeruki. Itu salah satu jalan terbaik. Kalau memang Sunni itu idiologi yang benar sesuai tihtah Baginda Rosul, maka bukalah dialog itu menjadi umum. Biar semua oran tahu bahwa tingkah teroris itu tidak dibenarkan oleh agama Islam. Bahkan agama manapun.

Jangan pula terburu-buru berhati kepada teroris yang extrim. Apapun itu, jalan mereka akan hampir selalu extrim. Cobalah dulu untuk menyelesaikan soal Sampang Madura dengan sikap Plural. Bahwa warga Syi'ah secepanya dipulangkan keasalnya tanpa memaksanya untuk keluar dari syi'ah.

Kan syi'ah islam pula? kenapa pula harus keluar dari islam? Tanpa peduli dengan semua justru petinggi memilih mempersiapkan utnuk Pileg-pilpres. Apa memang mau pileg sampe setres???