Laman

Senin, 22 Agustus 2016

Jangan Panik Rokok Naik

Mungkin dalam benak orang-orang rokok bukan pokok. Iyah, sembako atau sembilan bahan pokok itu tidak ada rokok atau tembakau. Memang bukan pokok, tapi pelengkap. Kalau ahli gizi bilang 4 sehat 5 sempurna dengan susu. Maka perokok belum pernah sempurna tanpa rokok setelh makan.

Lebih dari 75% laki-laki indonesia adalah perokok berat. Ini hitungan ngawur. Kemungkinannya adalah lebih besar. Bisa mencapai angka 80%. Dan kalau harga rokok naik maka apa yang akan terjadi? Mari kita prediksi bersama kemungkinan yang bisa terjadi.

Pertama, mayoritas supir distribusi, baik truk besar sampai motor kebanyakan adalah perokok berat. Dengan demikian maka dengan naiknya harga rokok akan mengakibatkan permintaan kenaikan gaji yang harus dipenuhi agar daya beli roko juga naik. Dengan naiknya gaji supir-supir distribusi maka barang distribusi menjadi majal untuk memenuhi kebutuhan supir akan rokok. Maka ketika harga rokok naik, dampaknya akan ada tuntutan kenaikan gaji, lalu kenaikan harga barang distribusi menjadi keharusan.

Kedua, barang-barang prodiuksi yang dibuat secara masal seperti yang tergabung dalam sembako itu pekerjanya kebanyakan laki-laki dan perokok berat. Dengan hal sama pada point pertama maka jelas akhirnya harga sembako pun naik. Dan maka jarus dimbangi dengan daya beli masyarakat. Kalau orang kampung seperti saya ini masih enak saja. Untuk beras bisa nanem sendiri. Sayur bisa tanam dibelakang rumah. Protein dari daging bisa pelihara ayam sendiri. Bagaimana dengan mereka yang ada di kota-kota besar?

Ketiga, dengan naiknya harga rokok bungkusan, bisa jadi masyarakat akan beralih pada rokok LA(Lintingan Asli). Yang artinya perokok akan kembali pada rokok tradisional. Dengan demikian bisa menaikkan taraf hidup petani tembakau lokal. Tapi kemungkinan ini sangan kecil sekali. Karena menurut teman saya, pemerintah masih impor tembakau sebanyak 60% untuk memenuhi komoditi rokok.

Tenang saja, tidak usah panik dengan rencana harga rokok naik. Gusti Allah sudah mengatur semuanya. Kita tinggal menjalani dan memilih jalan mana yang harus dilalui. Mau terus lanjut merokok dengan beralih pada alternatif-alternatif yang lebih terjangkau atau menaikkan penghasilan untuk memenuhi daya beli. Atau mau minum kopi tanpa teman, rokok. Artinya berhenti merokok.

Selamat menikmati rokok sebelum harganya naik.

Selasa, 24 Mei 2016

Selamat Belajar Menulis Kawan

Menulislah maka kamu akan hidup abadi. Kata Pramoedya, seorang sastrawan indonesia yang ditapolkan oleh orde baru. Atau ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Kata Sayyidina ‘Ali bin Abi Tholib kw. Dua kalimat itulah yang menggugah kepenulisan. Kedua-duanya mengajak untuk menulis dengan latar yang berbeda. Yang satu untuk kehidupan yang abadi sedang yang lain untuk ilmu.
Dalam kalimat pertama menawarkan kehidupan abadi yang jelas mustahil terjadi. Tapi dengan menulis nama kita tidak akan lekang oleh waktu. Kata pepatah macan mati meninggalkan belangnya. Maka manusia yang belangnya berupa tulisan yang bisa dibaca oleh manusia dari zaman ke zaman namanya akan terus hidup. Namanya akan terus disebut sebagai penlis ini atau itu.
Kalimat berikutnya menawarkan sesuatu yang lain. Menawarkan untuk tetap berilmu dengan menulis. Maksudnya manusia yang mudah lupa itu akan diingatkan melaului tulisannya sendiri. Pelajaran-pelajaran yang diperoleh saat berada di sekolah dasar akan mudah teringat dengan membuka kembali tulisan-tulisan lama.
Selain dari itu adalah bahwa musti ada sistem dokumentasi yang canggih. Apabila tulisan-tulisan berserakan tanpa dokumentasi maka mustahillah mendapatkan keabadian atau kembali mengulangi pelajaran. Keabadian itu musnah dengan sekejap oleh pendokumentasian yang amburadul. Atau ilmu akan menguap dengan hilangnya tulisan-tulisan.
Untuk menjadi penulis, baik itu berupa ilmu sebagai ilmuwan atau cerita sebagai sastrawan, kedua-duanya membutuhkan kedisiplinan. Kalau dilihat dari penampilan memang kedua-duanya seperti mengabaikan hal-hal yang kecil. Seperti bangun siang, jarang mandi, rambut gondrong yang kumal atau pakaian yang seadanya. Dan semua itu sangat masuk akal dalam penjelasannya. Tapi dalam penampilan yang demikian itu tersimpan rapi kedisiplinan dan pendokumentasian yang orang banyak tidak mengetahui. Dan para penulis ini jarang yang mau berbagi tentang rahasia ini. Dan biarlah penulis-penulis menemukan caranya sendiri untuk menelurkan apa-apa yang ada dalam pikirannya.
Bangun siang memang seperti kebiasaan buruk. Tapi apa salahnya kita menelisik lebih jauh tentang ini. Jika benar bahwa malam adalah kegelapan surga yang diturunkan ke bumi maka menemani malam adalah persiapan untuk menjadi penghuni surga. Dengan berkah-berkah surga maka apa-apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Pemikir-pemikir menemukan pemikiran yang menakjubkan melalui perenungan dimalam hari. Dan hingga malam beranjak pemikir itu baru menyadari bahwa pagi hampir tiba dan baru memejamkan mata. Maka wajarlah mereka, para pemikir itu hampir selalu bagun siang. Tentu dengan hasil-hasil yang mengejutkan. Bukan untuk bersenang-senang atau semacamnya.
Jarang mandi. Siapa bilang penulis jarang mandi? Atau ilmuwan dan sastrawan jarang mandi? Bahkan mandi itu menyegarkan tubuh dan pikiran yang selalu bisa menyelesaikan masalah ketika tulisannya mengalami kebuntuan. Pasti para penulis itu bisa saja mandi sehari lima kali atau lebih untuk mendulang pikiran yang lebih jernih dan lebih segar. Tapi perlu diingat bahwa pekerjaan menulis bukan pekerjaan mudah. Kadang penulis sampai tertidur dalam menyelesaikan naskah tulisananya. Atau sesekali mereka tak pernah beranjak dari tulisannya hanya untuk menjaga ritme tulisan yang memang sudah tertulis diotaknya. Apabiala ditinggalkan untuk mandi maka bisa saja semua sirna tersiram air. Digantikan dengan ide baru yang sepertinya lebih memukau dan tulisan sebelumnya belum selesai. Maka sebaiknya tulisan diselesaikan selagi alur di kepala masih terus berjalan.
Rambut gondrong. Yang katanya semakin rambut perempuan itu pendek maka semakin pendek pula pikirannya. Bisa jadi inilah alasanya para penulis berambut gondrong. Tapi penulis-penulis jaman ini telah berubah. Bahkan Pram pun rambutnya plontos. Jadi bukan setandart kalau penulis harus berambut panjang.
Seorang penulis yang tentunya memiliki kemampuan lebih bukan memandang sesuatu dari pakainya. Untuk apa pakaian mewah yang hanya menutupi tubuhnya ketika otak dungu? Atau jangan menilai buku dengan melihat sampulnya.
Terakhir lagi pernah kudapatkan sesuatu yang berkaitan dengan tulisan. Tulis apa yang kamu lakukan dan lakukan apa yang kamu tulis. Ini adalah hal yang luar biasa ketika dipraktekkan. Sebisa mungkin akan mudah menilai sebuah hari dengan membaca tulisan. Kemudian apa-apa yang perlu diperbaiki maka perbaikilah. Sedang apa yang sudah baik maka lakukanlah kembali. Dan tulisan tentang apa yang telah dilakukan waktu kemarin bisa menjadi acuan pada langkah berikutnya.

Mari menulis entah untuk alasan apapun. Tapi membiasakan menulis bukan sesuatu yang merugikan. Selamat belajar menulis kawan.

Rabu, 24 Februari 2016

Desa percontohan "Majasto"

Saya pernah mengimajinasikan bahwa suatu saat saya akan membuat identitas baru untuk dusunku. Itu terjadi sudah lama sekali. Kira-kira tahun 2009-an. Waktu itu, saya salah seorang yang bersedia menetap dengan bekal ijazah SMA dan hobi baca serta mancing.
Sebelumnya saya pernah merantau ke kota untuk mengadu nasib. Salah satu pemicunya adalah maqolah Imam Syafi’i ‘merantaulah’ dan bla bla bla... selain alasan itu juga kebanyakan pemuda di kampung itu akan merantau setelah lulus sekolah. Perantauan itu mengajakku untuk berfikir bagaimana caranya untuk kembali dan menetap dikampung dengan penghasilan tetap. Sesekali memikirkan, bagaimana caranya agar semua penduduk sejahtera tanpa harus mengandalkan sawah tadah hujan atau hijrah ke kota. Maka keluarlah imajinasi untuk membuat identitas dusun Muncu yang mampu menyedot pengunjung tanpa henti dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pikiran saya yang waktu itu masih teramat dangkal berimaji hendak mengeksploitasi perbukitan yang tak jauh dari pemukman di dusun tersebut.  Bagamana jika kawasan perbukitan milik pemerintah itu menjadi tempat wisata? Tapi wisata apa? Dan bagaimana cara mengelolanya? Yang pada kenyataannya perbukitan itu milik Pemda kecamatan Jatilawang, bukan milik kecamatan purwojati. Dan tentu yang lebih penting adalah bagaimana agar kelestarian hutan serta satwanya tetap terjaga.
Kecamatan Purwojati adalah salah satu kecamatan di kabupaten Banyumas yang tidak setiap orang Banyumas mengetahui. Bahkan suatu ketika orang rawalo menanyakan Purwojati itu mana sih? Padahal secara administrasi, wilayah kedua kecamatan tersebut saling berbagi batas.
Belakangan mulai muncul tema-tema lokalitas wisata seperti desa wisata di Kedung Banteng. Yang mengelola perbukitan di kaki gunung Selamet. Kalau terlalu kasar bila disebut eksploitasi. Dan teman saya dari Kali Tapen pernah juga mewacanakan itu. Bahkan Kaliwangi sendiri telah memiliki. Ya, Gunung Laos. Sudah banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Yang paling sering dari intstansi pendidikan. Terutama pramuka-nya. Tapi bagi saya itu belum cukup untuk menyejahterakan masyarakat sekitar. Apalagi untuk wilayah Purwojati. Terutama karena lokasi tersebut merupakan properti pribadi. Bukan untuk umum. Meskipun diperbolehkan mengunakan dengan ijin dari pemilik tentunya. Dan setahu saya belum ada lembaga yang mengelola. Semuanya serba pribadi.
Kemudian sekitar tahun 2012-an teman saya mencoba membuat berbagai macam alat rumah tangga dari limbah tali plastik menjadi cething, cangkingan dengan berbagai ukuran. Saya kembali berfikir tentang pengembangannya dan menjadikannya sebagai komoditi khas. Namun dalam sekali renungan tumpas sudah. Ketika saya percaya bahwa ada 5 bidang usaha yang tidak akan mati jika kamu geluti. Pendidikan, kesehatan, sandang, pangan dan jasa. Sedang alat rumah tangga itu bisa mati kapan saja. Apalagi ketika melihat berbagai potensi dari berbagai bahan yang berbeda untuk membuat benda yang berfungsi sama. Seperti tas belanja dari bungkus sashet kopi sebagai pesangnya lebih banyak diminati. Dan tentunya jika tidak cepat berinovasi tentu akan tertinggal dan gagal.
Dan pada waktu yang sama saya juga telah membuat usaha mandiri sebagai awal untuk mengajak masyarakat luas agar tidak tergantung pada dengan hasil panen atau merantau dengan pekerjaan yang tidak pasti. Saya mencoba mengembangkan jamur tiram. Dan semua itu kandas karena kebutuhan tenaga yang lumayan banyak dan tidak bisa dilakukan seorang diri. Dan kegagalannya bermula ketika dua teman saya yang saya ajak untuk pengembangan tersebut menyerah ditengah jalan lalu pergi merantau.
Masih dalam proses pencarian itu saya kembali merantau id tahun 2013. Dan kembali ke kampung halaman pada tahun 2015 hanya untuk menikah dan kembali merantau dengan jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Dulu saya di Jakarta sekarang saya di Sukoharjo.
Sudah hampir satu tahun saya berada di Sukoharjo. Yang menurut saya tidak jauh berbeda dengan banyumas disektor ekonominya. Malah disini jauh lebih maju dengan banyaknya pabrik-pabrik. Terutama pabrik disektor tekstil. Saya pun bekerja disalah satu pabrik tekstil tersebut. Dan banyak teman-teman pabrik yang sering kali mengucapkan nama tempat “Majasto” setiap kali mereka membahas membeli pakaian. Dan akhirnya pada suatu ketika, kurang lebih 2 minggu sebelum tulisan ini dibuat, saya berkesempatan berkunjung ke “Majasto”.
Dalam benak saya sejak semuala mendengar berbagai cerita teman, kemudian saya menggambarkan bahwa Majasto mirip-miriplah seperti pasar Tanah abang di Jakarta. Sekian banyak lantai dan blok hanya khusus memajang pakaian. Dari jenis yang paling mahal hingga yang 10.000 dapat tiga potong.
Saya berkendara dengan sepeda motor untuk mencapai “Majasto”. Yang kemudian saya ketahui bahwa itu merupakan nama desa. Karena saya disambut dengan gapura bertuliskan, “selamat datang di desa percontohan Majasto”. Kemudian imaji saya menjadi semakin kuat bahwa tempat yang akan saya kunjungi adalah pasar pakaian-pakaian di desa Majasto.
Tak berselang lama Si penunjuk jalan memasuki parkiran sebuah butik. Saya katakan butik karena design bangunannya yang lebih mirip dengan rumah orang-orang kota dengan jendela kaca dimana-mana. Lalu kami sedikit berbincang. Iya, butik itu yang biasa dikunjungi Si penunjuk jalan ketika berburu pakaian.
Dalam hatiku meringkuk agak kecewa. Ini bukan Tanah abang-nya jawa seperti yang saya bayangkan. Tapi sekedar butik. Benar-benar hanya memanfaatkan bangunan rumah dua lantai saja. Tak lebih. Setelah istri saya puas memilih dan menemuakan apa yang dia cari, kami, saya, istri dan penunjuk jalan kembali menyusuri jalanan di desa itu. Hampir setiap rumah dipinggir jalan itu adalah butik. Hampir setiap rrumah memajang barang dagangan berupa pakaian dan hampir setiap rumah ada sepeda motor yang diparkir disana. Minimal 10 sepeda motor.
Artinya, Majasto adalah nama sebuah desa percontohan. Desa yang mengembangkan sekill penduduk untuk merangkai pakaian dan menjualnya dirumah sendiri. Dan cita-cita saya membuat identitas Muncu seperti Majasto bukanlah hal yang mustahil. Apalagi didukung dengan adanya SMK di Purwojati yang membuka jurusan tata busana. Menjadi Tanah abang-nya Banyumas, Tanah abang-nya republik ngapak. Salam wira usaha salan desa percontohan.
Sukoharjo, 20/02

2016

Rabu, 17 Februari 2016

AKU MENOLAK

Belakangan ini muncul dan berkembang banyak sekali barisan sakit hati. Itu penilaian saya. Sebagian lagi menilai sebagai pengadu domba. Berarti kamu dombanya dong. Dilain bagian menilai bahwa itu adalah jalan yang lurus dan bagian terakhir menilai “kita harus ikut membesarkan gerakan itu”. Mbah-mu sih.
Dimata saya, sempalan atau sparatis atau pecahan dari bineka yang banyak sekali di Indonesia itu lumrah kan? Gamblangnya, di Jawa yang satu pulau saja sudah tak terbilang banyaknya perbedaan bahasa dan budaya. Mulai dari Anyer sampai Panarukan.
Tapi kemudian dengan kemerdekaan Indonesia, air dan minyak tetap tidak bisa bersatu. Maka jangan dipersatukan kecuali memang resepnya begitu. Misalnya; dalam semangkuk mie ayam tentu ada bagian minyak dan air. Dan kurang salah satu dari dua itu jelas tidak enak. Kelebihan salah satu pun kurang nikmat. Itulah yang seharusnya disadari dari setiap perbedaan. Pasti ada komposisi yang menjadikan semua perbedaan itu bersatu tapi tetap enak dinikmati.
Bahwa yang mengaku agama rahmatan lil ‘alamin justeru semakin hari semakin gaduh. Ditempat asal lahir dan berkembangnya agama ini sudah sejak lama terjadi perang yang tentu entah sampai kapan akan berakhir. Dan kini negara dengan penduduk muslim terbesar didunia sedang diguncangkan dengan berbagai isu anarkisme seperti teroris ala Abu Bakar Ba’asyir, atau premanisme ala Habib Riziq atau mungkin NUGL yang ngaku-ngaku jadi orang NU.
Lah sore tadi saya baca berita yang bersumber dari media on line bahwa akan ada deklarasi dan pelantikan pengurus cabang FPI di kab. Banyumas. Wuih, itu kabupaten kelahiranku. Masa iya saya tak ikut komentar?
Begini!!! Dalam ingatan saya, FPI yang kalian sebut sebagai laskar penthung itu adalah kelompok islam yang benar-benar anti maksiat. Atau mungkin pura-pura anti maksiat untuk sebuah jargon, sebuah image, sebuah pangkat bahwa ‘kami laskar islam anti maksiat’. Lalu apa FPI menurut kalian? Ahli kekerasan kah? Anti toleran kah? Atau --saya kasih pilihan yang baru—mereka adalah barisan orang-orang yang benar-benar benci kemungkaran dan sudah tak sabar menunggu usaha dakwah para kyai dan lulusan pesantren NU. Yang nyatanya, tahun demi tahun tak semakin surut malah justeru semakin parah.
Kebesaran NU dibanding FPI atau NUGL saya yakin bukan apa-apa. Jika NU itu adalah organisasi yang sehat. Sekarang aku bertanya pada kalian yang masih aktif di dalam NU, apakan NU organisasi yang sehat? Sekarang ini bagiku cukup tahu sejarah dan perkembangannya saja.
Kemudian seorang teman yang kecamatannya akan menjadi tuan rumah bagi pemimpin pusat FPI sekaligus tempat deklarasi dan pelantikan pengurus cabang Kab. Banyumas itu meminta saya menulis sesuatu. Maka pendapat saya demikian.
Pemerintah pusat saja tak bereaksi apa pun atas aksi yang dilakukan FPI, apa daya dengan pengurus daerah?
Sementara jika IPNI-IPPNU cilongok menerima kehadiaran organisasi baru itu di Banyumas dengan syarat mengedepankan dialog dibanding tindak anarkis, mungkinkah? Kalau latar belakang pengajuan anggota FPI di Banyumas untuk dideklarasikan karena lelednya agama NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar, menanggulangi, mengurangi, malah menambah daftar kemaksiatan.
Tentu sebuah kontrofersi jika IPNU-IPPNU mendukung kehadiaran FPI.  Tapi sebuah kontrofersi yang terburu-buru dan amat konyol. Karena menurut saya FPI tidak akan memenuhi tuntutan IPNU-IPPNU. Wong Gubernur, Walikota, Bupati saja mereka lawan, apa lagi PAC IPNU-IPPNU.
Saya pribadi menolak sikap siapapun yang berbuat anarkis. Bahkan jika itu dibawah kyai NU sekali pun. “Karena tidak ada paksaan dalam beragama”. Yang artinya tidak ada paksaan untuk berhenti bermaksiat. Kecuali mereka yang bertanggung jawab terhadap individu yang melakukan maksiat. Seperti suami memaksa istri, ayah terhadap anaknya, guru terhadap murid atau wali terhadap muwali. Jadi no anarkisme, no paksa-paksa, no premanisme berkedo nahi mungkar.

Sukoharjo, 17 Februari 2016