Laman

Jumat, 05 Desember 2014

Dosa Selokan dan Masjid

Siang itu, layaknya seorang musafir, aku biarkan kaki ini terus menyusuri jalan. Jalan penuh debu bekas galian selokan yang telah mengering. Hilir mudik pengendara berbagai moda tranportasi. Sepeda kayuh, becak, sepeda motor, bajaj, angkutan kota, truk-truk sampah dan entah apa saja yg mendahului atau berpapasan denganku. Tak kupedulikan mereka. Dan anganku hanya pada kampung halamanku. Membayangkan seorang perempuan paruh baya itu terbaring disebuah bangsal rumah sakit.

Sampai depan sebuah toko susu aku berhenti sejenak. Barangkali temanku yg bekerja di toko itu hendak menitipkan sesuatu. Untuk sanak familinya di kampung. Ya, aku akan mudik sore ini. "Tidak ada yg akan aku titipkan", katanya dengan penuh keyakinan. Padahal dalam hatiku berharap dia memberiku sedikit pesangon sebagai belas kasih seorang yg sedang terkena musibah. Ah, biarlah jazad ini menemui perempuan paruh baya itu tanpa bekal. Kecuali badan yg sehat ini.

Kembali aku berjalan. Meninggalkan harapan yang menguap. Menyongsong sesiung buah pengobat kerinduan. Dan terus kubiarkan kaki ini melangkah. Menemu pijakannya sendiri. Sementara mata menahan kantuk akibat tak bisa tidur semalaman. Memikirkan yg jauh disana. Tapi kemudian jalan menjadi becek. Jalan kedepan itu selokannya baru sedang digali. Dan hasil galiannya itu dimuntahkan dipinggir jalan. Dan kulihat seorang muda sedang mengayunkan cangkul. Mengumpulkan bekas galian itu agar tak berserakan ke tengah jalan. Kuperhatikan dia berhenti sejenak saat melihatku hendak melewatinya. Kutengok dia mulai mengayunkan cangkulnya saat jarakku sekitar 2meter. Tak ku pedulikan lagi dan kembali menatap kedepan. Tapi kemudian kurasakan cairan kental hangat muncrat ke badan bagian bawahku. Ah, lumpur selokan itu menempel di celanaku. Kutengok kembali ke belakang. Pemuda itu minta maaf. Aku tersenyum dan menunduk. Meski dalam hatiku marah, tapi sebisa mungkin tak akan kubiarkan dendam membusukkanku.

Sembari jalan aku mencari-cari tempat untuk membersihkan diri. Tak lucu kan kalo duduk di sebuah metromini dengan celana penuh lumpur dan bau? Dan perjalananku sampailah pada sebuah pom bensin. Kulihat kode pom itu. Dan dibawahnya tertulis rest area, toilet kemudian mushola. Aku pun singgah. Mencari-cari dimana mushola atau toilet. Aku hendak membasuh dosa. Tapi tak kutemukan. Hanya bangunan megah bertuliskan Masjid berwarna emas. Dikelilingi pagar besi dan pintunya tertutup rapat. Kudekati pintu itu. Sistem dua pintu rupanya. Satu pintu lebar untuk mobil dan motor, terkunci. Dan pintu kecil untuk pejalan kaki. Pintu itu ada penghalang besi setinggi betis orang dewasa. Tertutup tapi tak di gembok. Aku membukanya dan masuk. Menuju tempat wudlu dan toilet. Kubasuh semua luka. Dan celanaku basah pada bagian belakangnya. Aku putuskan duduk istirahat sembari berjemur. Setengah kering celanaku dan adzan pun dikumandangkan. Dhuhur. Aku beranjak dari tempatku duduk.

Sembari berjalan. Masjid, sebagai tempat bersujud benar-benar hanya menjadi tempat bersujud. Sementara yg bersujud belum tentu terbebas dari penyakit su'udhon. Prasangka buruk. Mungkin orang-orang sepertiku, yg mampir tapi justru pergi saat adzan dikumandangkan adalah orang yg merugikan mereka. Atau ada banyak musafir-musafir lain yg memanfaatkan masjid sebagai tempat istirahat malam, tidur. Seperti aku dulu. Berjalan dan berjalan, dan berhenti saat malam datang. Beristirahatlah di masjid dan mushola.

Makna masjid dan mushola semakin menyempit saja. Dulu aku diceritai, entah oleh siapa, bahwa seorang pencuri yg sedang dikejar-kejar penduduk desa masuk ke sebuah masjid yg dalam posisi gelap. Lalu berdiri menghadap kiblat sembari bingung mencari jalan keluar. Tapi rombongan pengejar itu berlalu begitu saja. Mengira orang di dalam masjid itu sedang beribadah.

Masjid adalah tempat paling aman bagi siapa pun. Tak terkecuali jama'ah yg ada di sekitar masjid pun seharusnya merasa aman. Karena belum sempurna iman seseorang yg apabila kamu berada disekitarnya merasa tidak aman. Pun ketika masjid menjadi tempat yg tidak aman bagiku karena satu dan banyak hal, sebenarnya siapa yg imannya kurang sempurna?

Tak seharusnya masjid memiliki pagar keliling. Seolah-olah menghalangi orang-orang yg hendak menyambut hidayah. Seolah-olah masjid adalah tempat yg perlu diamankan dari orang-orang yg tak semestinya berada di masjid. Mungkin orang-orang sepertiku. Padahal penjagaan ALLAH lebih aman dari penjagaan apapun dan siapapun. Seharusnya pengurus masjid membuka lebar halamannya menyambut mereka yg datang. Dan menyerahkan penjagaan hanya pada ALLAH. Atau jangan-jangan mereka tidak tahu bahwa penjagaan Tuhan lebih dari apapun? Mari lebarkan pintu masjid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar