Laman

Selasa, 22 Desember 2015

Generasi-Generasi

Akhir-akhir ini banyak yang prihatin dengan keadaan generasi yang akan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Saya jadi teringat saat berada di sebuah rumah makan di Purwokerto. Mendengarkan sebuah ceramah dari seorang aktifis IPNU kabupaten Banyumas yang namanya melintang ke segala penjuru. Sebagai mantan ketua IPNU cabang Banyumas seharusnya dan tentu punya trick tersendiri untuk memengaruhi manusia (minimal yang seusianya) khususnya NU. Ya, tentu dia yang mantan ketua periode peralihan itu tak seperti ketua-ketua di periode setelahnya. Bung Era bercerita bahwa saat dia menjadi ketua, adalah masa diaman terjadi peralihan nama Pemuda dan Atau Pemuda Putri menjadi Pelajar dan Pelajar putri pada IPNU-IPPNU. “Jelas banyak sekali teman-teman saya yang berpengalaman tetapi usianya sudah jauh dari usia pelajar meninggalkan dunia IPNU”, begitu keluhnya. Tetapi kemudian dengan kepergian atau absennya banyak sekali teman itu malah memancing semangat dalam pencarian teman-teman baru yang kualitasnya (minimal sama dengan orang-orang yang absen) lebih dari orang sebelumnya. Begitulah kekira, kemudian memunculkan gagasan demi gagasan untuk menciptakan ratusan manusia berkualitas dari sekolah-sekolah negeri non agamis menjadi manusia-manusia aswaja ala NU.

Salah satu gagasan yang menarik adalah membagi sasaran. IPNU yang beralih nama menjadi pelajar itu maka fokusnya hanya pada pelajar. Kemudian ketika mengajak pelajar perguruan tinggi tentu caranya tidak sama dengan mengajak pelajar yang masih SMP. Kemudian muncullah gagasan pengelompokan usia atau derajat pendidikan menjadi tiga kelompok. Yaitu usia dini, menengah dan atas. Usia dini itu usianya anak SD/MI dan SMP/MTs, lalu usia menengah itu SLTA sederajat. Dan yang paling tinggi itu usia mahasiswa. Gandeng kekuasaan sebagai ketua yang tidak begitu lama, maka Bung Era hanya memilih salah satu dari tiga generasi untuk menentukan laju IPNU kedepan. Dan disepakati oleh dirinya bahwa usia menengahlah yang jadi fokusnya. Begitu seterusnya dan seterusnya. Yang seharusnya jika hari ini saya kembali kepada IPNU, maka fokus sasaran doktrin idiologi sudah berada di kelompok pra dini. Artinya usia anak sebelum SD/MI. Tapi sayangnya fokus target itu tidak pernah diwariskan oleh Bung Era pada generasi selanjutnya. Atau sebenarnya sudah diwariskan, hanya warisan tugas bukanlah sesuatu yang dinanti. Tapi warisan jabatan masih bisa dinikmati. Dan kenikmatan itu kadang menggoda.

Dan pada akhirnya saya mengira bahwa, pengelompokan itu sebenarnya bersumber pada; “didiklah anak sesuai dengan jamannya, karena anak tidak hidup dijamanmu”. Kemudian ada lagi, jadiakan raja di tujuh pertama, budak ditujuh kedua dan jadikan sahabat ditujuh terakhir. Mangsudnya, jadiakan anak sebagai raja pada usia tujuh petama. Yaitu pada usia 0-7 tahun. Bukan berarti kita merelakan apapun atau menuruti apapun kemauan anaknya, tetapi dengan sangat hati-hati meperlakukannya. Caranya melarang, caranya bicara, caranya memberi, benar-benar seperti dengan raja. Kemudian umur tujuh berikutnya jadikanlah sebagai budak. Cara memperbudak pun tak seperti yang mungkin tergambar dalam cerita bar-bar atau film-film. Perbudakan dalam islam sangat santun. Mengerti hak-hak kemanusiaan dan kewajiban tuan kepada budaknya. Memperbudak anak yang artinya peraturan-peraturan dan dan hukum-hukum yang ketat. Kemudian pada tujuh terakhir jadikanlah anak sebagai sahabat. Yang artinya berikan yang terbaik yang dia mau, berikan masukan dan pengertian tentang bahaya hidup tapi berikan pula kebebasan dia memilih.

Dan kemudian saya berpikir bahwa IPNU-IPPNU sebagai organisasi pengkaderan yang tentu fokusnya di dunia anak dari mulai usia tujuh pertama hingga tujuh ke tiga ini seyogyanya memperhatikan pola pengelompokan. Dan saya masih terus beharap bahwa IPNU-IPPNU bisa menjadi organisasi kader yang sesunguhnya dengan membekali generasinya segudang keahlian baik material, konseptual dan bahkan sepiritual.

Kamis, 03 September 2015

Toko Buku Online Kaji Wasroh

Orang-orang yang sudah biasa bergelut dengan tulisan akan sangat menderita jika jauh dari yang namanya buku. Dan semakin bertambahlah siksaan itu jika kamu adalah orang yang menganut aliran sekali baca. Maksudnya, setiap buku yang kamu beli atau kamu baca itu cuma sekali saja. Ada beberapa orang yang tak pernah bosan dengan satu judul buku. Seperti saya yang masih terkagum dengan tetralogi pulau Buru milik P.A.T. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah kaca. Dan tentu aku menjadi penggila karya-karyanya Mbah Pram. Banyak sekali karya prosa-nya. Dari yang berbentuk novelet sampai yang roman.

Tapi sayang sekali ketika karya-karya hebat-nya ternyata sangat susah dicari di toko-toko buku biasa. Bahkan tidak semua karya beliau itu ada secara lengkap di toko-toko buku di kawasan pasar Senen, Jakarta. Bahkan saya sering kali berkeliling pusat perbelanjaan buku. Tapi memang karya beliau itu sudah sangat jarang. Saya pernah mencari di Blok-M Plaza lantai bawah. Tapi saya belum beruntung untuk menemukan karya-karya beliau.

Hampir satu tahun aku mencari-cari tapi tak kunjung menemuinya. Dan akhirnya suatu kali aku bercerita tentang pencarianku itu pada seorang teman yang juga melayani jual beli buku online. Selain mereka juga telah membuka toko buku sendiri. Dan aku sering kali menyambanginya. Dan belum pernah aku jumpai buku karya Pram di sana. Teman itu menyarankan untuk mencari online. Dan ternyata aku temui bahwa www.kajiwasroh.com yang merupakan toko buku online temanku itu memajang salah satu buku yg sedang aku cari.

Selain banyak buku yang  menarik, mencarinya pun tergolong mudah. Tinggal search langsung ketemu. Itu kalau ada. Kalau ga ada ya ada keterangan tidak ditemukan. Dan disitu tercantum alamat lengkap dan nomer telephon yang bisa dihubungi. Anda bisa memesan melalui sms atau telephon. Kemudian jika telah deal, maka barang akan segera dikirim.

Buku yang menarik dan termasuk dalam daftar pencarianku adalah Tashwirul afkar Edisi 32-Tasawuf dan Perlawanan. Dan masih banyak buku-buku lain yang mereka sediakan. Silahkan kunjungi saja langsung......

Senin, 18 Mei 2015

Geger Orang Mengejar Macan

Oleh Ahmad Tohari
MASYARAKAT Nahdlatul Ulama (NU) yang diakui begitu rela menerima kearifan-kearifan lokal Jawa dalam kehidupannya tentu mengerti bahwa harimau atau macan adalah binatang lambang kekuasaan. Maka, bila seseorang mimpi bertemu seekor macan, dia percaya akan berhadapan dengan
penguasa atau malah bakal memperoleh jatah kekuasaan. Dan dalam sebuah tembang dandanggula berusia ratusan tahun, ada kosakata macan dalam sebuah pupuh yang bernada sindiran amat
tajam:
Semut ireng anak-anak sapi (Semut hitam beranak sapi)
Kebo bongkang anyabrang bengawan (Kecoak menyeberang sungai)
Keyong gondhang dawa sungute (Siput gondhang bermisai panjang)
Timun wungkuk ginotong wolu (Timun bungkuk digotong berdelapan)
Surabaya geger kepati (Surabaya geger bertaruh nyawa)
Gegere wong ngoyak macan (Geger orang mengejar macan)
Den wadhahi bumbung (Diwadahi seruas bambu)
Gajah meta cinancang wit sidaguri (Gajah besar terikat di pohon sidaguri)
Matine cinakar ayam (Matinya dicakar ayam)

Pupuh dandanggula di atas diciptakan pujangga zaman dulu agaknya untuk menyindir munculnya gejala yang aeng-aeng, aneh dan menyimpang. Maka, sang pujangga menggunakan susunan kalimah
yang logikanya juga aneh: semut hitam beranak sapi, kecoak menyeberangi sungai, siput berkumis panjang, dan seterusnya. Dan di mata sang pujangga, munculnya gejala yang aeng-aeng dan
menyimpang itu disebabkan nafsu yang berkecamuk ketika banyak manusia berusaha mengejar macan lambang kekuasaan. Celakanya, setelah ada di tangan, lambang kekuasaan itu hanya ditempatkan di ruang sempit, sesempit lubang seruas bambu. Tentu sang pujangga sudah waskita bahwa para pengejar macan akan menggunakan kekuasaan yang berhasil diraih hanya untuk memenuhi kepentingan yang sempit atau bahkan pribadi.
***
Ketika sedang kuliah di Universitas Hokkaido, Jepang, anak saya mengirim e-mail untuk mengajukan pertanyaan, ”Pak, apakah NU punya masa depan?” Entah mengapa anak itu bertanya demikian. mungkin karena anak saya sudah berkenalan dengan Prof Maksum, orang NU yang mengabdikan diri kepada kaum tani miskin. Ahli pertanian pangan tersebut menyadari, kebanyakan petani miskin itu adalah kaum nahdliyin. Prof Maksum dan anak saya sama-sama dosen di UGM. Karena merasa sulit menjawab, maka dilain waktu pertanyaan tersebut saya teruskan ke saudara saya Masdar Farid Mas’udi, cendekiawan di PB NU. Jawaban Masdar F.M. cukup mengesankan. Katanya, dari sekian banyak organisasi sosial, malah NU yang paling punya masa depan. Menurut dia, karena massa NU besar jumlahnya dan mudah dikumpulkan, jaringan organisasi NU sampai ke semua pelosok, serta warganya punya kesetiaan yang tinggi kepada pemimpin. ”Saat ini NU tidak tertandingi oleh organisasi mana pun dalam hal kemampuan mengumpulkan warganya,” kata Masdar.
Jawaban itu benar, tapi terlalu sederhana, tentu karena diberikan hanya secara lisan dalam pembicaraan yang singkat. Bila Masdar menjawabnya dalam bentuk sebuah artikel, tentu akan lebih lengkap dan mendasar sehingga inti jawabannya bisa bernuansa lain. Saya sendiri berpendapat, dalam keadaan seperti saat ini, sulit mengatakan bahwa NU punya masa depan yang baik. Pendapat saya tersebut senada dengan pikiran seorang tokoh NU yang mengatakan bahwa kondisi NU itu ajek,
tidak kunjung hidup meskipun juga tak kunjung mati. Tokoh itu juga sering mengatakan, seharusnya NU sejak awal berkembang menjadi suatu jamiyah (jam’iyyah) karena NU adalah sebuah badan organik yang lengkap dengan AD dan ART. Dengan demikian, yang namanya NU adalah organisasi struktural dan tidak bisa diberi sebutan kultural. Lahirnya istilah NU kultural mengakibatkan dualisme kepemimpinan yang amat merugikan. Karena istilah itu, peran seorang tokoh ”kultural” yang sesungguhnya hanya berstatus simpatisan (bila punya KTA statusnya anggota)
sering melampaui struktural sehingga kepengurusan resmi NU bisa lumpuh.
Saya kira hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa NU yang seharusnya
maujud hanya sebagai jam’iyyah malah lebih hadir sebagai jamaah (jama’ah), dan entah sampai kapan.

Lalu apa yang dimaksudkan secara salah kaprah dengan ”NU kultural”? Itu adalah basis, simpatisan, dan pendukung NU, yakni masyarakat yang berkultur aswaja. Maka, sebenarnya ada dua entitas yang
harus dibedakan, yakni NU dan aswaja. NU itu terstruktur, jam’iyyah, dan aswaja adalah kultur yang tidak berstruktur, jama’ah. Pengurus NU terstruktur dan tentu pengikut aswaja. Di luar struktur seharusnya disebut anggota atau simpatisan NU. Mereka juga berkultur aswaja dan sebaiknya tidak disebut NU kultural. Karena sekali disebut NU, dia bersifat struktural saja.

Saya sendiri menambahkan, dan ini merupakan pendapat umum, sebuah organisasi modern yang sehat harus punya program yang terarah, istiqamah, dan rasional-aplikatif. Selain itu harus mampu menghimpun dan mengelola keuangan secara profesional dan amanah. Nah, sepertinya NU belum mampu menciptakan kondisi seperti itu. Keputusan-keputusan muktamar terasa kurang efektif, bahkan sering dipelintir di tingkat bawah. Misalnya, ada pengurus anak cabang yang bilang, ”Itu kan
keputusan di muktamar. Di sini ya saya sesuaikan.” Selain itu, di semua tingkat, keuangan organisasi NU, dananya ada atau tidak, mungkin tak pernah diaudit. Sering terjadi keuangan organisasi berada dalam rekening atau saku pribadi ketua pengurusnya. Kondisi seperti itu jelas tidak akan menjadikan NU punya masa depan.

NU Berubah Arah?
Akhirnya, kepada anak yang sedang menempuh studi S-3 bidang konstruksi baja di Hokkaido tadi, saya memberikan jawaban dengan sedih. ”Nak, masa depan NU suram.” Selain hal-hal tidak menguntungkan yang sudah disebut, bahkan ada masalah yang lebih mendasar, yaitu arah gerak dan perkhidmatan atau orientasi NU. Mau kemana NU?

Pada awal berdirinya, NU sangat jelas berorientasi keumatan, populis. Dengan sarana organisasi struktural NU, para pemimpin bertekad membangun masyarakat aswaja agar menjadi kaum yang berkembang pemikirannya, maju perdagangan dan ekonominya, serta menjadi patriot Indonesia. Saya yakin para pemimpin NU masa lalu amat menyadari bahwa orientasi keumatan adalah bentuk perkhidmatan di jalan Ilahi. Dan sekaligus merupakan amanat atas kepentingan umat yang harus ditunaikan dengan ikhlas. Ya, karena faktor keikhlasan itu, banyak terdengar cerita bahwa tokoh dan ulama masa itu saling menghindar dari jabatan struktural, apalagi untuk posisi rais am yang merupakan amanat tertinggi dan pada hakikatnya amat berat. ”Amanat jangan dicari-cari. Tetapi, bila dia benar-benar datang, jangan menghindar.” Demikian nalar para pendahulu NU. Orientasi keumatan mereka sangat kukuh. Namun, sejak meningkatnya dinamika politik dan merasuknya kekuatan kepentingan ekonomi beberapa dekade terakhir, NU seperti perahu besar yang terombang-ambing dan kehilangan mercusuar. Orientasi keumatan yang merupakan roh utamanya tertinggal di buritan. Kekuatan tak tampak yang mewakili kepentingan politik dan ekonomi selalu berusaha merebut kendali dan menjadi nakhoda perahu besar NU. Maka, senyatanya saat ini NU telah beralih ke orientasi kekuasaan. Kebanyakan pengurus NU di semua tingkat sudah punya hobi bermain politik dalam arti ingin ikut menjadi agen kekuasaan.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tentu ”bisa dimaklumi” lahirnya ungkapan Surabaya geger kepati, gegere wong ngoyak macan. Di dalam tubuh NU terjadi euforia persaingan berebut jadi pengurus karena posisi itu mudah mendatangkan jatah kekuasaan. Sedangkan kepengurusan yang
hakikatnya adalah amanat keumatan banyak diabaikan. Syahdan, apabila sebuah perahu besar telah galau dengan arah sejatinya, penumpang mau dibawa ke mana? Dan seperti apakah masa depan NU? Jawabnya bergantung apakah para pengurus NU hasil muktamar nanti bisa mengarahkan organisasi tersebut kembali ke orientasi keumatan atau tetap ingin menjadi pengejar-pengejar kekuasaan.
Wallahu a’lam.
AHMAD TOHARI
14/05/2015

Minggu, 26 April 2015

Mengingat Pecahnya Suluk Syafa’at

Suluk Syafa’at bukanlah nama yang asal muncul begitu saja. Bahkan prosesnya berlangsung dari generasi ke generasi. Memang perubahan nama itu hanya terjadi tiga kali. Tapi generasi anggota grup genjringan ini mencapai lima atau enam generasi. Lebih lengkapnya mengenai generasi Suluk Syafa’at ada disini.

Pada September tahun 2013, aku merantau ke kota untuk mengadu nasib. Mencari jati diri tentang kehidupan. Betapa teka-teki itu perlu diungkap. Tapi sebelum itu Suluk Syafa’at telah terbelah. Pada suatu malam, setelah pujian Suluk Syafa’at rampung didendangkan, seseorang yang kemudian didukung beberapa orang mengajukan interupsi.

Bagaimana kalau perjanjenan-nya, Suluk Syafa’at pindah ke masjid Jami’ Birul Walidain? Mendengar pertanyaan itu sebenarnya aku hendak menangis. Betapa sendiri itu sepi. Betapa terasing diantara yang berbeda itu sengsara. Aku coba galih dan terus galih alasan sebenarnya dari kemauan mereka untuk pindah.

Satu alasan adalah; kita punya masjid dan besar, kenapa malah meramaikan mushola yang kecil. Dan alasan berikutnya; kita lebih dekat ke masjid ketimbang harus berjalan menuju musola al-Barokah yang ada di ujung desa. Selanjutnya untuk menimbang waktu yang dibutuhkan baik untuk berangkat menuju maupun pulang dari tempat ber-Suluk-Syafa’at-an itu menjadi terlalu panjang dan tentu menjadi terlalu malam.

Aku harus terus menahan kesedihan ini di pedalaman hati. Betapa mereka yang mengajukan interupsi itu tidak pernah tahu betapa sepi sendiri. Aku jawab sekenanya saja. Sedih sudah terlalu menguasaiku saat itu.

Bahwa keberadaanku di mushola al-Barokah ini pertama adalah untuk ber-Suluk-Syafa’at. Kemudian untuk menemani para sepuh nahdliyin yang keberadaannya terasingkan dirumah sendiri. Karena disekeliling mushola itu hanya ada satu dua orang saja yang nahdliyin, sementara yang lain boleh dikatakan sangat berseberangan. Lalu jauh itu bagiku adalah bonus pahala. Karena al-ajru biqodri ta’ab, pahala itu tergantung pada kemampuannya. Semakin jauh langkah kaki yang aku korbankan untuk ber-Suluk-Syafa’at-an semakin mahal pula pahalanya. Begitu sebaliknya, semakin kecil pengorbanannya semakin tak berpahala. Maka semakin jauh semakin baik. Masalah masjid besar yang sepi itu, aku dulu pernah meramaikan. Dan sekarang pula sudah ada jadwal ibu-ibu yasinan di masjid itu dan mushola-mushola lain kecuali al-Barokah ini. Jadi aku pikir inilah keadilan. Keadilan untuk meramaikan semua yang milik nahdliyin. Perkara ada yang mau melepaskan diri dari Suluk-Syafa’at yang ada di mushola al-Barokah ini dan berhijrah menuju masjid akan aku lepaskan dengan kerelaan hati. Sementara aku akan tetap berada di tempat ini sampai waktunya tiba aku harus berpisah. Biar pun semua pindah dan tinggal aku seorang, itu tidak jadi soal. Dan aku sudah biasa melantun sholawat meski sendiri.

Dan tahun 2015 ini aku mumgkin merasakan apa yang Mbah-Mbah di mushola al-Barokah itu rasakan. Terasing di rumah sendiri. Merasa tersisihkan dirumah sendiri. Merasa sendiri dalam perpedaan keramaian. Di tahun ini aku mulai hidup di komunitas Muhammadiyah yang kebanyakan mengikuti madzhab hambaliyah. Sementara aku bermadzhab syafi’iyah. Betapa aku sendiri saat ini.

Siapa saja yang membaca tulisan ini dan masih sempat untuk menemani orang-orang yang merasa sepi karena lingkungan, kesepian seperti apa yang saya rasakan, mumpung masih ada kesempatan untuk menemani. Temanilah! Mudah-mudahan kalian tidak mengalami sepi seperti apa yang aku rasakan. Selamat berjuang sisa-sisa Suluk Syafa’at.

Sabtu, 04 April 2015

Menikah dan Api

Orang-orang bilang menikah itu pusing, bingung, sedih, tapi juga seneng dan bahagia. Tahun 2009 meski sedikit, aku merasakan sedih. Kebanyakan yg ibu-ibu biasanya terkenang dengan almarhum. Kemudian menjadi sedih. Sebenarnya aku sangat tidak suka dengan kesedihan yg berawal dari kemarahan yg dipendam. Tapi kesedihan karena mengingat mati itu aku masih suka, bahkan mengusahakannya. Dan dua tahun berikutnya aku mengulangi kesedihan bersama amarah. Lalu, semoga saja, yg terakhir di tahun 2015 ini.

Entah mengapa aku tercipta oleh sunyi. Seakan-akan ramai adalah musuh. Meskipun aku senang dengan konser musik, terutama musik cadas, tapi sendiri dalam sepi di dalam konser tersebut adalah kenikmatan tiada tara. Sepi diantara hilir mudik pejalan kaki, teriakan kondektur metro mini, bus dan pengamen di terminal kota pun serasa menyanjung pedalamanku. Dan terkadang duduk bergumul diantara sepi itu sendiri jadi pilihan.

Suatu kejadian yg tidak bisa kita tolak kadang datang dari sekitar kita. 2009 itu ada pesta pernikahan Mba-ku. Dimana-mana pesta selalu ramai. Dari persiapan sampai usainnya. Dan aku yg belum bisa menikmati sepi diantara ramai tetangga yg kukenal dan saudara selalu tersiksa.  Dan amarah nongol entah dari mana datangnya. Menikam pedalaman hati yg kemudian memunculkan janji. Aku, ketika menikah nanti, tak akan mengadakan pesta apapun.

Dua tahun kemudian giliran kakak,ku yg menikah. Awalnya berencana tak akan rame-rame. Sekedar begadang semalaman. Biasa kita sebut dg lek-lekan. Berasal dari kata melek. Tapi kemudian ketika tratag atau layos atau apalah namanya dipasang dan lampu-lampu dinyalakan tanpa sound sistem, berasa sedang berduka. Biasanya dirumah orang yg meninggal dipasang juga tratag dan lampu tanpa rengeng musik. Maka untuk menghindari serasa duka itu kemudian datanglah seperangkat sound sistem. Jadilah tetap sebuah pesta. Pun persiapannya, entah mengapa selalu muncul percik amarah yg menusuk pedalaman hati. Dan lagi selalu aku yg tertusuk. Entah karena terlalu ceroboh atau memang akulah sasaran empuk. Disela persiapan itu aku kembali mengulang janji sebagaimana telah aku janjikan dulu.

Pun saat aku sendiri yg menjalani hajat itu. Saat aku menjadi pengantinnya, masih terus berharap tanpa perayaan apa pun. Kemudian kecewa datang saat melihat persiapan tratag itu ada di depan rumah. Melihat karungan beras dan tumpukan sayur. Dan rencana dua hari hajatan. Aku hanya bisa berdo'a, semoga tidak terjadi apa yg telah terjadi disetiap perayaan dirumah ini. Aku nistakan diri dg lapar. Aku payahkan diri tanpa tidur. Hanya untuk segepok senyum tulus tanpa paksaan. Senyum tanpa menyembunyikan rasa dongkol di dada.

Tapi do'a tetap tinggal-lah do'a. Rencana tetap tinggallah rencana. Ketika ego mulai meng-ingini yg tak pantas, yg tak seharusnya diingini, yg seharusnya dilepas dg ikhlas, kemudian dipaksa dikuasai ego. Dan masing-masing amarah membuncah menjadi lahar memuntah. Kemudian aku pasrah. Demikian selalu ada keributan, amarah, emosi, yg menyertai untuk mengundang tangis. Entah mengapa kebencianku untuk pesta menjadi semakin jadi.

Senin, 23 Maret 2015

Pengantar Senyap

Senyap. Adalah sepi yg sesepi-sepinya. Mungkin bila dibayangkan seperti sedang berada di ruang hampa. Tanpa kawan, tanpa hewan tanpa tetumbuhan. Bahkan desis suara nafaspun tertahan. Benar-benar tanpa sesuatu kecuali dirinya sendiri. Itu yg mungkin akan disampaikan oleh Joshua Oppenheimer melalui "Senyap"-nya. Dan dari "Senyap" itu kemudian muncullah harapan untuk meriangkan. Bukan malah semakin hanyut dalam senyap.

The look of silence merupakan film dokumenter seorang adik yg sedang mencari kebenaran. Tentang kakaknya yg dibunuh karena dituduh terlibat Gestapu. Mula-mula dari ibunya sendiri. Sedang ayahnya sudah terlalu tua dan pikun. Kemudian dia menemui para pelaku pembunuhan. Mengorek bagaimana cara kakaknya dibunuh. Bagaimana korban-korban fitnah dianiaya.

Dalam "Senyap" kita bisa melihat perbandingan antara pelaku pembunuhan tertuduh pki dan anggota keluarga pki. Bagaimana congkaknya seorang ketua DPRD mencoba "mengamankan" pki yg sedang mencari kebenaran. Bagaimana anak pembunuh merasa bangga karena ayahnya seorang penyelamat pancasila. Dan bagaimana seorang paman bersembunyi dari kesalahan membunuh kemenakannya sendiri.

Dari "Senyap" ini kita diharapkan belajar mengnai sejarah yg otentik. Sejarah yg dikorek dari pelakunya itu sendiri. Bukan sejarah yg direka-reka untuk menaikkan wibawa penguasa. Selama ini yg kita kenal sebagai sejarah adalah kejadian masa silam yg tertulis dibuku-buku. Sementara para pelaku atau keluarga korban, bahkan korban itu sendiri tidak pernah dimintai keterangan untuk meng-otentikkan kebenaran sejarah. Maka tinggallah sejarah kita hanya isapan jempol seorang pengarang, penyair, nobelis, cerpenis dan penuli-penulis fiksi. Bahwa sejarah yg hari ini beredar hanya cerita belaka. Bukan cerita sebenarnya, tapi seperti cerita novel karangan Pramoedya Ananta Toer yg banyak berkisah mengenai sejarah. Seperti tetralogi buru yg diambil dari kisah hidup seorang pejuang tanah air. Tapi, kisah itu tidak bisa disebut sejarah, karena memang bukan sejarah.

Begitulah. Bahwa pada generasi yg kesekian, kita masih menanggung sejarah gelap. Sejarah yg masih sulit dibuktikan kebenarannya. Dan ribuan atau bahkan jutaan nyawa melayang menuntut kebenaran itu segera diungkap. Dan semongga film-film dokumenter bertajuk "Senyap" bisa segera mngudara. Tidak hanya di Sumatra utara saja. Semoga di Banyumas-pun akan mengeluarkan kebenaran sejarah melalui versinya sendiri.

Kang Mahbub Wibowo, Kang Susanto, Kang Doni, dan kawan-kawan lainnya yg pernah mengimpikan film dokumenter tentang pendidikan politik dikalangan akar rumput. Meski belum terwujud, tapi dengan semangat kebenaran, semoga suatu saat film-film dokumenter dari akar rumput bisa bergandengan dg "Senyap".

Mari bicarakan apa yg ada dibenak kita tentang sejarah Indonesia.

Minggu, 22 Maret 2015

IPNU Gila

Maret 2015 aku mudik ke Banyumas. Hapir 2 tahun aku absen dari organisasi yg namanya IPNU secara struktural. Namun demikian, secara kultural trilogi IPNU masih melekat di hati. Selalu belajar untuk berjuang agar senantiasa bertaqwa. Pun masih terus mengikuti perkembangan berita-beritanya dari media online. Baik yg di pusat maupun di daerah. Seperti Banyumas. Dan melalui media komunikasi yg bersifat privat, baik sms atau yg lainnya.

Kabar kepulanganku aku sebar melalui media sosial. Dan teman-teman menganggap itu sebuah cerpen. Ah, begitulah aku. Selalu disangka si pembuat cerita. Dan mungkin itu lebih baik bagiku. Paling tidak aku bisa menikmati waktu berliburku.

Aku berangkat dari agen bus di terminal Lebak Bulus. Kurang lebih pukul 5 sore sopir bubus mulai mnginjakkan kakinya di pedal gas. Waktu bergulir begitu cepat seiring kecepatan bus menembus malam. Samapi di Ajibarang pukul setengah dua dini hari. Dan seorang IPNU bertanya kebenaran kabar aku pulang. Kebetulan dia anak Cilongok dan aku berencana turun di Cilongok. Jadi kusuruh dia untuk melihat aku turun dari bus. Aku turun di depan pas Cilongok. Dan ternyata dia sesang berada di kantor kecamatan Cilongok. Masih IPNU-an. Di malam menjelang pagi masih IPNU-an?

Begini Rekan, Gus Dur pernah berkelakar tentang NU gila. Katanya, kalau dari jam 8 sampai jam 10 malam masih ngurusin NU, itu NU militan. Kalau dari jam 10 sampai jam 12 malam masih ngurusin NU, itu gila NU. Dan kalau dari jam 12 sampai dini hari masih ngurusin NU juga, itu namanya NU gila. Wong wayahnya istirahat kok masih ngurusin NU. Dan aku pikir IPNU pun demikian.

Sehubungan dengan itu, aku kutipkan juga kelakar seorang mantan ketua IPNU PAC Ajibarang. "Nggo ngapa ngurusi IPNU? IPNU tah ko pra melu ngurusi nana ndeyan tetep ana sing ngurusi koh". Buat apa ngurusi IPNU? IPNU itu, biar kamu tidak ikut ngurusin juga tetap ada yg ngurusin kok. Dan yg tak kalah pentinya adalah wejangan mantan ketua PC IPNU kabupaten Banyumas. Pikirkan tentang IPNU minimal satu kali dalam sehari.

Menafsiri kelakar dan petuah yg saling menyambung itu aku kira begini. Bagus sekali ber-IPNU setotal mungkin. Jika sudah total, tidak boleh meninggalkan urusan yg bukan IPNU. Maksudnya yg sekolah ya urusin sekolahnya, yg kerja ya urusin kerjaannya. Bagilah waktu sebaik mungkin. Saya yakin kalau setiap hari isinya ngomongin IPNU, berkumpul dg orang yg itu-itu saja, pasti ada rasa bosan. Kalau sudah berada pada taraf bosan ini menjadi bahaya. Maka sisihkanlah banyak waktu untuk tidak memikirkan IPNU. Dan cukupkanlah sehari sekali mikir tentang IPNU. Kalau tidak mau disebut IPNU gila.

Kalau masih ada yg berani berkelakar, lebih baik jadi IPNU gila ketimbang jadi gila yg lain, ya itu urusan rekan ya. Aku tak mau menanggung akibatnya. Seperti di Purwojati, ada kalanya anak-anak tak diijinkan menginap meski untuk tujuan dan kepentingan IPNU. Meski sudah ada surat tembusan, meski kegiatan itu jelas, meski dan seribu meski yg lain. Tolong, sisihkan waktu yg tanpa IPNU.

Sabtu, 21 Maret 2015

Terimakasih PTT Family

April 30, 2014 aku interview di jalan Brawijaya IX no 58. Dengan perjanjian gaji pokok 1 juta, uang makan 25 ribu sehari dan uang lembur 2500 satu jam. Sebagai office boy. Aku pikir ini hanya sementara. Suatu hari harus ada ganti. Karena dalam pikiranku, suatu hari aku harus punya usaha sendiri. Apapun bentuk dan jenis usahanya, itu milikku sendiri.

Aku pernah menjadi petani jamir tiram. Tapi semuanya kandas. Dan suatu hari yang kandas itu harus kembali aku angkat. Waktu aku masih di kampung halaman, sering kali aku dimintai tolong untuk membetulkan komputer. Tak penrnah bongkar lapto. Dan suatu hari aku harus membuat usaha tentang itu.

Pengalaman bongkar pasang laptop sudah aku kantongi setalah 3 bulan nangkring di cv. Kayatek Taman Harapan Baru, Bekasi. Aku tak bisa bertahan lebih lama di Bekasi dengan kasus kerusakan komputer dan laptop yg itu-itu saja. Blue screen, lemot, blank, selalu restart. Solusinya instal ulang, ganti harddisk, ganti atau upgrade RAM. Aku tidak mau berhenti sampai di situ. Aku harus mencari pengalaman yg lain. Aku harus mencari kasus-kasus kerusakan yg lain.

Di Brawijaya itu, sebagai office boy, aku harus menyusup. Kantor itu perusahaan yg tidak bisa dikatakan kecil. Aku lihat satu, dua, tiga dan terus semakin banyak orang asing(WNA) bekerja di sini. Aku menyadari bahwa bahasa inggris adalah bahasa internasional. Dan kalau mau go internasional, minimal harus fluent in english writen and spoken. Dan aku sangat kekurang dengan bahasa ini. Aku harus memanfaatkan keberadaanku disini untuk belajar bahasa inggris.

Dan aku harus menyusup tentang, ternyata big bos memiliki galeri lukisan. Aku menyukai segala bentuk seni. Lukisan, berkunjung ke cafe-nya dan melihat design-nya. Luarbiasa. Murah menjadi mewah. Dikatakan murah karena dinding-dindingnya tertutup ratusan jendela jeruji lama dengan berbagai ukuran dan model. Aku belajar design dan tata letak ruang. Melihat miniatur restaurant, aku berpikir, suatu hari temanku yg sedang menekuni miniatur kapal layar harus bisa membuat miniatur seperti yg dipajang dikantor Brawijaya ini. Dan terakhir aku melihat terarium. Tanaman yg dimasukkan kedalam kotak kaca. Dan tentu suatu hari aku harus bisa membuat itu.

Brawijaya tempat yg sangat tepat untuk belajar. Manajemen perusahaannya. Fungsi dan tugas serta bagian-bagian. Struktur perusahaan. Belajar proses kreatif sebuah tulisan, sebuah design, sebuah tata letak ruang. Belajar tentang berbagai manusia. Di Brawijaya ada banyak orang yg berasal dari berbagai daerah. Belajar tentang psikologi dan sosial budayanya. Belajar tentang hati dan jalan pikirannya. Dan pengendalian emosinya.

Terakhir kali aku menuliskan. Sebagai wujud terimakasih atas segala pembelajaran. Terimakasih atas segala dukungan. Dan, yah segala terimakasih. Bahwa tak sepantasnya Brawijaya itu dilupakan. Orang-orangnya, lukisannya, miniaturnya, design restaurannya, dan terariumnya. Tak pantas dilupakan kasih sayangnya, omelannya, marahnya, printah tak masuk akalnya. Karena bukan manusia yg lupa sejarahnya sendiri.

Terimakasih PTT Family.....

Selasa, 10 Maret 2015

Presiden Harapanku

Cleaning service bukanlah pekerjaan yg hina. Seperti juga pemulung, atau jenis pekerjaan bersih-bersih. Apa lagi di Indonesia, katanya sedang menjadi negara yg kotor. Jadi perlu pembersihan. Tanpa terkecuali yg bisa melakukan hal tersebut hanya mereka yg berpengalaman dg dunia kebersihan. Ya pemulung, ya cleaning service, ya tukang sapu dan semua yg membersihkan. Atau bisa juga pembasmi hama dan gulma. Tp kata membasmi seolah terkesan kejam.

Tehnik membersihkan tidak sembarang orang bisa. Pun tahu tehniknya tp tidak mau melakukan tindak pembersihan. Ternyata yg mau jd petugas kebersihan tak banyak. Bahkan orang-orang yg sama sekali tak menyukai kotor pun enggan bebersih. Mending menyewa tenaga orang lain meski hanya sekedar untuk membersihkan sempaknya sendiri.

Ada berbagai alasan kenapa sesuatu itu menjadi kotor. Seperti tempat-tempat di kolong pohon akan mudah terlihat sampah berserak ketimbang di kolong meja atau kursi. Itulah kenyataan di bawah lindungan rindang pepohonan. Seperti rindang di bawah kekuasaan negara, organisasi atau apapun yg memiliki hirarki kepengurusan. Pun di bawah rindang pengurus tempat ibadah, pendidikan, pun di organ tubuh pebersih itu sendiri. Tak heran jika Indonesia semakin kotor saja. Yg mungkin ditubuk KPK itu sendiri juga merindangi, kemudian mengotori dg rindangnya.

Dalam pembersihan ada cara-cara yg efektif dan efisien dan menjadi proses yg tepat. Sepagi kita menyapu kolong pepohonan. Jenis sampahnya dedaunan. Jenis ini bisa dikompos menjadi pupuk. Tp dikolong meja dan kursi ada banyak kertas dan plastik. Untuk jenis kertas masih mungkin di daur ulang. Tetapi plastik, pun bisa didaur ulang, tp prosesnya lama. Dibakar pun tak benar-benar lenyap. Dan belum tentu hancur dalam tempo puluhan tahun. Jika siang kita mendapati kolong pepohonan kembali terisi daun yg hanya satu dua, kita bisa memungutnya. Tidak harus menyapu keseluruhannya. Untuk menjaganya tetap bersih.

Dan saya memilih presiden yg pernah bekerja dibidang kebersihan. Untuk Indonesia yg bersih.

Minggu, 08 Maret 2015

Ngebut

Dalam sebuah buku(kitab kuning), kalau tidak salah judulnya 'ushfuriyah. Memuat sebuah cerita yg--bila itu benar-benar terjadi dan semua orang menyadari--sangat menggemparkan. Orang jawa akan berpikir jagad ini sudah tak seimbang.

Ceritanya; suatu pagi Sayyidina 'Ali kw. terlambat bangun dan bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Dalam keterburuannya, ditengah jalan ada seorang kakek yg telah renta berjalan searah dengan jalan yg dilalui Sayyidina 'Ali. Demi menghormati orang tua tersebut Sayyidina 'Ali tidak mau mendahului. Maka berjalan terus di belakang sang kakek.

Dalam keseimbangan tentunya Sayyidina 'Ali seharusnya terlambat sampai di masjid. Namun kekuatan ghoib berkata lain. Kekuatan yg berada diluar mainstream kebanyakan manusia. Sayyidina 'ali masih bisa ikut berjama'ah dan matahari masih belum terbit. Kemudian malaikat jibril memberitahukan rahasia di hari yg luar biasa itu. Bahwa malaikat jibril menahan posisi ruku' nabi dengan sayapnya, nabi Muhammad saw. yg menjadi imam sholat. Dan malaikat mikail menahan matahari agar tak terlalu cepat terbit. Maka sholat subuh menjadi lebih lama. Begitu pun matahari tertahan untuk terbit. Dengan demikian sang waktu berhenti sejenak. Berhenti untuk menghormati orang tua yg ternyata nasrani. Dalam hal ini, orang tua itu bukan dari pengikut nabi Muhammad saw. maupun Sayyidina 'Ali.

Perkembangan teknologi semakin canggih. Orang-orang pada berebut menjadi yg tercepat. Mulanya sepeda, lalu sepeda bermotor lalu mobil. Begitulah galibnya manusia yg serba ingin cepat. Atau hanya karena aku seorang indonesia hingga berpikiran demikian? Belum merasa puas jika belum memiliki kendaraan yg lebih cepat. Kemudian kebut-kebutan dijalan.

Kadang-kadang, saat aku menyusuri jalan dengan sepeda motor, aku terbayang dengan cerita Sayyidina 'Ali itu. Rela ketinggalan sholat berjama'ah hanya karena menghormati seorang kakek. Karena dijalan yg aku susuri pun pasti tak sepi dari seorang yg sudah tua usianya. Bagaimana aku menghormatinya? Jika seorang tua itu sama menaiki sepeda motor mungkin aku bisa terus mengendarai sepeda motorku di belakangnya. Tapi kalau seorang tua itu ternyata bersepeda ontel atau bahkan jalan kaki, bagaimana aku akan menghormatinya dengan berjalan di belakangnya? Sementara aku mengendarai sepeda motor.

Barangkali adab sopan santun di dunia ini benar-benar telah terkikis sedemikian ruapa. Sudah menjadi jamannya yg muda lebih cepat. Tanpa permisi menyalip yg lebih tua. Bahkan di jalanan kadang yg muda membentak yg tua gara-gara yg tua memghalangi jalannya.

Barangkali, sebulan yg serasa sehari itu karena kutukan sang waktu. Kutukan pada generasi sekarang yg menyalip orang tua di jalanan. Barangkali, kecepatan waktu yg aku rasakan belakangan ini berkait-tautan dengan kisah Sayyidina 'Ali. Meski orang tua itu bukan dari golongan kita. Bahkan cenderung musuh. Karena selalu ada jeda antara generasi muda dan tua. Dan selalu ada ketegangan antara keduanya.

Semoga kesalahan menyalip para orang tua di jalanan diampuni. Semoga sang kala waktu tak cepat menuju pembaringan terakhir.

Sabtu, 07 Maret 2015

Makan Siang, Bunda dan Seorang Atasan

Malam itu mataku berkaca-kaca. Aku teringat Bunda. Kata Mely, oooh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatikuuu.

Aku sedari kecil memang terkenal susah makan. Terutama nasi. Semua orang sekampung sudah mafhum. Setiap pagi sarapanku sekedar pisang bakar atau goreng. Cukup untuk bekal ngudi (mencari) ilmu sampai siang. Kadang siang pun aku menjauh dari yg namanya nasi. Pulang sekolah, ganti baju dan memanjat pohon jambu biji. Makan jambu biji barang dua biji dan mengantongi barang 5 biji sebagai bekal bermain.

Entah bagaimana caranya, mamah selalu tahu apakah sepulang sekolah aku makan atau tidak. Kalau mamah tahu siang aku tak makan, siap-siap kuping merah kena marah. Kadang, untuk menghindari murkanya aku kotori piring dg nasi sesendok dan lauk. Entah itu yg mereka sebut sebagai makan atau hanya menghindari murka, tapi kadang cara itu berhasil.

Buah favoritku saat kecil adalah apel. Suatu kali aku "disuap" dg buah apel saat jam makan siang tiba. Maksudnya mamah mengiming-iming akan dikasih buah apel, dg syarat mau makan siang.

Orang tuaku mulai berpikir tentang aku yg tak doyan makan. Mula-mula mereka pikir aku cacingan. Suatu siang, mamah mencariku dan menyuruh makan siang lalu minum obat cacing. Lagi-lagi dg "suap" buah. Kai ini buah rambutan. Kali yg lain, tanpa "suap", aku tak mau minum obat. Akhirnya aku mengalah dg minta gendong. Iya, hanya dg berada digendongan aku jadi mau minum obat. Dan tak ada perubahan pada nafsu makanku. Suatu kali dibelikan obat penambah nafsu makan. Sampai obat habis pun tak ada perubahan. Dan biarlah aku jadi orang yg susah makan.

Suatu hari tiba-tiba perutku terasa teramat lapar. Karena berada di pinggir kali dari pagi sampai matahari di atas kepala sendiri. Memancing. Kebetulan mamah masak kecambah dioseng kering. Dan aku makan siang sampai nambah. Dan menu itu jadi sering disuguhkan kembali. Suatu kali, ada banyak lauk yg terhidang dimeja makan. Tapi aku memilih serundeng kelapa. Dan dikali yg lain aku bikin sambal sendiri ditemani kerupuk putih bulat. Di tempatku namanya krupuk plembang.
Aku, selalu jauh dari sayuran. Sayur kesukaanku hanya satu. Kangkung. Pun kalau yg masak bukan mamah, belum tentu aku suka. Lalu timun dan kacang panjang buat lalab. Kacang panjang di oseng aku lari. Semur terong aku makan kuahnya saja. Kalau urusan daging--ayam, kambing, sapi-- aku jagonya. Ikan, selama masih ikan air tawar, apalagi yg hidup di sungai, itu aku suka. Tapi ikan laut, terutama ikan laut yg dibikin ikan asin, aku lari.

Aku selalu memilih menu saat makan. Pun kadang menunya cocok, tapi selera makan hilang entah kemana. Aku pilih mie instan dg telur dan sawi hijau. Aku masih saja susah makan. Betapapun berat kerjaku, porsi makan tak kemudian bertambah. Malah bisa berkurang. Tapi kalau urusan buah, aku jagonya. Kecuali jeruk. Aku tak suka karena kulitnya. Dan pepaya yg kadang suka menjebak dg warnanya. Warna menarik tapi rasanya jungkir balik. Favoritku masih apel dan pisang. Rambutan juga kadang-kadang. dan jambu biji tentu saja. Hingga suatu kali, di Pemalang, di meja makan selalu tersedia sesisir pisang masak khusus buatku saat selera makanku menurun.

Dan baru-baru ini, saat aku sudah bekerja, ada seorang atasan yg menegangkan otot emosinya hanya gara-gara aku telat makan. Mataku berkaca-kaca. Bukan karena marahnya yg membuatku menangis. Tapi kepduliannya. Dia mengingatkanku pada ibunda yg jauh dimata. Dan lagi caranya memarahinya elegan. Tak seperti orang marah pada umumnya yg bersuara keras. Suaranya pelan, tapi tegas.

Kamu Bu, iya kamu. Bu Erika. Yg tak tahu siapa, tapi berani mengorbankan menegangkan otot hanya karena soal telat makan. Terimakasih aku ucapkan setulus hatiku. Beriring do'a yg terbaik bagimu.

Kamis, 05 Maret 2015

Aku Titipkan PKL

Ini catatan tertanggal 4 Maret 2015. Aku bekerja pada sebuah kantor yg menempati perumahan di daerah Dharmawangsa, Kebayoran Baru. Rumah disini tergolong perumahan elite. Setiap rumah pasti memiliki team scurity sendiri. Dan tentu masing-masing punya houskeeping, supir dan bisa jadi tukang kebun sepertiku. Di tengah perumahan super besar itu ada hotel, pusat perbelanjaan, dan perniagaan. Juga ada bangunan apartement yg biasanya ada orang-orang bekerja didalamnya.

Hal fital yg pasti setiap orang butuh adalah makanan. Maka di pinggiran jalan perumahan yg super besar dg segala aktifitasnya berjejerlah pedagang kaki lima. Baik yg semi permanen atau yg sekedar mangkal. Yg semi permanen biasanya ada beberapa alat atau bangunan yg musti ditinggal saat penjual libur atau tutup. Dan yg mangkal tinggalllah menyisakan kenangan dan rasa saja. Awal April 2014 lalu masih begitu banyak dan bebasnya pedagang makanan ini. Hampir seluruhnya semi permanen. Meski hanya sekedar meninggalkan gerobag dorongnya saja.

Awal perubahan terjadi saat Jokowi dan JK resmi menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Mula-mula mereka yg berada di sekitar apartement Brawijaya. Memang semua bangunan semi permanen. Aku sering berjalan kesana untuk mencari taksi atau membelikan makanan. Memang saat jam-jam makan siang sangat ramai sekali. Kemudian tempat itu menjadi sepi. Tak ada warung, tak ada pengunjung, tak ada taksi mangkal. Yg tersisa hanya pot besar berisi tanaman. Pedagang semi permanen hilang.

Aku masih ingat sekali sabda dari Gubernur DKI Jakarta pengganti Jokowi. Bahwa yg ditertibkan adalah mereka yg keberadaannya merusak fasilitas umum. Merusak taman sebagai lahan hijau kota atau yg mengganggu pengguna jalan. Maka masih selamatlah beberapa pedagang kaki lima dideretan itu. Karena tak merasa melanggar sabda, maka ketika ditertibkan berani menolak. Pun beberapa yg melanggar masih bisa selamat dari amukan satpol pp. Konon karena ada pajak bulanannya. Sementara yg melanggar sabda mendapat surat peringatan dan denda. Juga akan direlokasi. Atau silahkan untuk tidak melanggar sabda. Aku kelimpungan ketika waktu makan siang. Tak ada pedagang, tak ada makanan, tak ada yg dimakan. Kelaparan.

Sekian hari berselang, pedagang pun berdatangan kembali. Hampir semua pedagang menjadi menggunakan gerobag dorong. Atau ada juga yg menggunakan mobil bak terbuka. Kompor pun dipaksa tersusun di gerobag agar mudah dibawa saat datang penertiban. Aku bersyukur dengan kembalinya pedanggang yg dihantui penertiban. Bersyukur bisa kembali makan siang tanpa harus berjuang berat.
Peringatan dan denda tinggallah menjadi peringatan dan denda. Denda bisa dibayar dengan mudah karena pemasukan yg sangat lebih dari cukup. Bahkan kalau musti membayar upeti pun pasti para pedagang itu rela. Betapa tidak, keuntungannya bisa sangat besar. Daerah ini ramai sekali dengan apartement, hotel, sekolahan, dan beberapa kantor siluman.

Siang tertanggal diatas, tengah hari hujan. Orang dikantorku bekerja bakalan malas keluar mencari makan. Aku-lah yg mereka sebut pahlawan penyelamat perut lapar mereka. Setelah mengambil makanan untuk bos besar, telah menunggu tugas selanjutnya. Bos besar biasa makan makanan sehat dan higienis. Pesanan diordder melalui telephon. Untuk karyawan bisa dan biasa makan apa saja. Dan hujan ini para karyawan menghendaki soto betawi Bang Jali. Biasa mangkal di sebrang apartement Brawijaya, di sebelah masjid. Aku meluncur.

Ada hal aneh yg kurasai. Tapi entah apa. Setelah memesan 3 soto daging dan 1 soto daging paru. Lama baru aku menyadari, Bang Jali tiada. Iya, penjual yg menyebut diri Bang Jali itu tak kelihatan. Hanya tinggal istrinya. Biasanya yg berjualan memang Bang Jali sendiri bersama istri. Sekarang yg membantu istri Bang Jali itu seorang muda. Mungkin anaknya. Aku hendak bertanya, tapi ragu. Aku takut menumbuhkan kesedihan bila; Bang Jali telah meninggal misalnya, atau sedang sakit dirumah, atau hal lain yg menyedihkan pula ujungnya.

Tapi Ibu itu mencurahkan gelisahnya pula. Mungkin Si Ibu bisa melihat segudang tanda tanya di mataku prihal keabsenan Bang Jali. "Tadi pagi nggak boleh jualan, lurahnya datang kemari. Ember dan beberapa alat dibawa ke kelurahan. Sekarang Bapak lagi ngambil di kelurahan. Iya, bareng sama tukang nasi goreng pos, warung taman juga." Begitu keluhnya. Aku tak tega melihat kesedihannya.

Entah berapa banyak lagi pedagang yg mengalami nasib serupa. Entah dimana lagi tempat-tempat yg mengalami penertiban. Inilah wajah kehidupan kota. Inilah wajah kehidupan Indonesia. Yg tak pro pemerintah adalah teroris. Sedang mereka, orang-orang itu, selalu memelas dukungan saat kampanye pemilu. Sedang mereka mengaku-aku jasanya saat pemilu kembali. Mereka itu selalu melupakan pemilihnya sendiri.

Koh Ahok, aku titipkan jiwa-jiwa kelaparan para perantau ini padamu. Aku titipkan seluruh penghuni Jakarta ini padamu. Aku titipkan tetumbuhan, bebatuan, pasar-pasar, terminal, jalan dan rerumputan. Aku titipkan kakek, nenek, ayah dan ibu. Kakak, adik, teman, saudara dan semua orang terkasihku. Aku titipkan para pedagang kaki lima ini padamu. Karena kau Gubernur DKI.

Selasa, 03 Maret 2015

Keputusan Sebuah Cita-cita

Setiap nafas dirasainya sebagai deru kehidupan. Cobalah sesekali nikmati, dengar dan rasakan hembusan itu. Lalu tahankan sejenak. Kiranya seberapa lama kita bisa bertahan tanpa nafas? Kita bisa menahannya, tapi tidak bisa mengontrolnya. Nafas, detak jantung, aliran darah, proses perubahan enegi dalam tubuh kita dari makanan, semua tidak bisa kita kontrol. Kita sedang tidur pun semua itu masih bekerja memenuhi tugas dan fungsinya. Sekali lagi tanpa kita kontrol.

Lebih kecil ada susunan jaringan, kemudian ada sel-sel. Dalam sel itu ada unit-unit, unit itu terdiri dari zat-zat yg bisa dipelajari semakin kecil-mengecil. Dan aku terlalu besar untuk mengamati yg kecil itu. Aku tidak bisa teliti. Menjadi sebuah keyakinan bahwa semua bukan ada karena proses alam saja. Kesempurnaan yg demikian hanya bisa diciptakan oleh Yang Maha Sempurna.

Organ-organ bersambung menjadi sistem organ yg berhubungan pula dan membentuk tetumbuhan, hewan-hewan dan tentu manusia yg kompleks. ربنا ماخلقت هذا باتلا . Tuhan tidak menciptakan sesuatu itu kecuali didalamnya ada sebuah pelajaran. Bahkan dari kotoranmu itu, jika kamu mau, pasti bisa kamu petik sebuah atau beberapa buah pelajaran.

Organ manusia diciptakan sempurna, dan terbiasa bekerja semuprna. Bahkan ketika kita menghina tangan melalui mulut, tak kemudian tangan menampar sang mulut. Telinga yg tau setiap rahasia, baik yg diucapkan keras-keras maupun yg berbisik, masih terus bersetia menjaga rahasia itu. Dan menjadi seperti organ yg sempurna itu bukan perkara gampang dalam kehidupan manusia.

Dalam satu manusia yg berhubungan dengan ekosistem menjadi memiliki berbagai fungsi. Ketika berada di rumah berfungsi menjadi suami atau istri atau anak. Ketika di tempat kerja akan berfungsi lain. Begitu di lingkungan bersama teman-teman, lain lagi fungsinya. Dan kemudian ketika bermasyarakat, bernegara tapi tetap sebagai manusia dimapun kita berada.

Suatu kali, aku sendiri, sebagai buruh tidak bisa serta merta meninggalkan sebuah perusahaan. Jantung, meskipun setiap detik memompa darah, dia tak akan pernah merasa bosan dan lelah atau menginginkan sejenak untuk rehat. Ada mekanisme untuk melepaskan itu semua. Nafas kehidupan harus berhenti.

Sebagai buruh yg juga manusia, aku berperasaan, untuk perlu membicarakan perasaan. Semua organ tubuh perlu tahu mengapa mata tak pernah bisa melihat telinga. Seperti semua rekan kerja perlu mengerti sebuah alasan aku berhenti. Dan aku sampaikan alasan itu. Tak lain dan tak bukan adalah karena usia yg menua memaksa mengejar cita-cita. Cita-cita sebagai anak, sebagai kepala keluarga, sebagai teman, sebagai anak desa, sebagai warga negara, sebagai orang beragama dan tentu saja cita-cita sebagai manusia. Sementara cita-cita sebagai karyawan, jika aku termasuk karyawan, di perusahaan itu aku cukupkan. Aku lakukan sebisaku segala fungsi dan tugasku sebagai pelayan. Paru-paru seorang perenang bisa menahan nafas lebih lama dan lebih banyak ketimbang paru-paru seorang perokok. Dan aku sebagai manusia pasti ada banyak kekurangan dalam bekerja. Dan kesalahan adalah manusiawi. Tapi hanya manusialah yg seharunya belajar dari kesalahan itu.

Aku tunjukan, bahwa tulisan ini adalah cita-citaku. Aku memimpikan ini dari 6 atau 7 tahun belakangan. Sebagai manusia yg komplek aku ingin menyumbang. Dan sebaik-baik manusia yg berperadaban adalah manusia yg hidup pada zaman baca tulis. Dan manusia sebelum itu disebut pra sejarah. Dan maka aku ingin sumbangkan tulisan sebgai bacaan manusia beradab.

Adapun sebagai sesama manusia engkau, kamu, kalian dan Anda semua hendak membantu ya silahkan. Aku tak berhak melarang suatu apa kepada makhluk merdeka. Dan ketika acuh pun, lah itu hak kalian, dan yg pura-pura peduli pun itu sudah sangat baik. Setidaknya mereka sudah tau apa yg aku inginkan sebagai manusia, sebagai anak, sebagai suami dan kepala keluarga, sebagai buruh yg bekerja melayanimu.

Tulisan ini akan abadi, sebagai bukti aku pernah berkerja melayanimu. Sebagai bukti bahwa aku terus berusaha memanusiakanmu. Kata sebuah lagu Iwan Fals, aku menyayangimu karena kau manusia. Tapi kataku, bukan manusia pun aku menyayangimu, karena setiap apa yg tercipta ada untuk dipelajari, untuk dimengerti, untuk manusia itu sendiri.

Untuk orang-orang yg berat melepasku pergi.

Sabtu, 28 Februari 2015

Masih Anti Komunis

"Seminar nasional kebangsaan, Mewaspadai berkembangnya paham neo-komunisme di masyarakat."

Melihat poster pengumuman yg demikian sebenarnya aku ingin menangis. Komunisme di Indonesia masih menjadi bulan-bulanan. Sebenarnya aku juga tidak akan membela komunis jika memang ia adalah sebuah kesalahan. Dan tentu aku pun bisa menyalahkan jika memang bukti-bukti mengatakan demikian. Sayangnya orang-orang Indonesia telah termakan isu dan sikap pemerintah(penguasa) terhadap komunis. Saya yakin, semua sejarahwan Indonesia tidak bisa menyalahkan PKI dalam tragedi 65 secara obyektif. Beberapa guru sejarah yg pernah mengajar ilmu sejarah semasa disekolah bahkan masih bingung dengan pengangkatan Soeharto sebagai presiden. Beberapa malah mengajak aku untuk menemu kemungkinan-kemungkinan yg berbalik untuk membenarkan PKI dan menyalahkan oknum.

Memang aku terkesan membela PKI. Dan kemudian hari orang-orang akan menuduh dan mendudukkan aku sebagai komunis. Masa bodo dengan orang-orang. Aku tak pernah merisaukan tentang pandangan orang terhadapku. Karena aku bebas menilai orang lain, maka mereka pun bebas menilaiku. Pun ketika mereka menilaiku sebagai komunis.

Suatu hari aku meng-copy e-book dari seorang teman komunitas menulis. Dari koleksinya itu aku menemu sebuah judul yg menarik perhatian. Arok-Dedes. Meski sebuah novel, tapi paling tidak buku itu memberikan gambaran baru tentang sejarah kerajaan di bumi Jawa. Awalnya aku beranggapan bahwa koop terhadap Tunggul Ametung oleh Ken Arok merupakan sindiran bagi sejarah kelam 65. Bagaimana seorang yg tidak memiliki kasta satria kemudian menduduki puncak kepemimpinan. Begitulah Ken Arok dan begitu pula orde paska 65. Tapi kemidian aku menemu tulisan-tulisan sejarah lain yang memang begitu adanya. Bahwa Ken Arok lah raja yg bukan berasal dari kasta satria. Dan sekian abad berselang sejarah pun berulang. Dan sekian dekade, meski bukan dengan cara koop, tapi Presiden saat ini tidak berasal dari kasta satria.

Komunisme tidak selamanya koop dan pemberontakaan. Sebut saja Tan Malaka, yg dari awal perjuangan kemerdekaan, tahun1920-an, sangat tidak setuju dengan pemberontakan untuk melawan penjajahan waktu itu. Tan Malaka tak diragukan lagi ke-komunisan-nya. Bahkan menjabat sebagai perwakilan komunis, beliau rela hidup dipembuangan dan pelarian selama hidupnya. Tan Malaka pun tak setuju dg pemberontakan di Madiun 1948. Bahkan pun tentu tak mungkin setuju dg koop 65. Dan komunisme tidak selamanya buruk. Bukalah mata kalian semua umat beragama. Bahwa apa yg ada di setiap agama mengajarkan kemanusiaan yg juga menjadi pakem komunis.

Memang aku belum mempelajari semua unsur-unsur komunis. Belum lagi mencari tahu maksud buruk kapitalisme, liberal dan segudang isme lain. Secara islam yg aku pelajari, bahwa islam adalah pertemuan antara komunis dan kapitalis. Bukan mempertentangkan keduaya. Dalam islam mencari untung juga diwajibkan. Itu bentuk kapitalnya. Tapi kalau sampai membuat buntung itu keterlaluan. Sekalipun kekayaan melimpah, tapi islam mewajibkan zakat. Itu komunisnya.

Orang bilang komunis berarti anti Tuhan. Itu salah kaprah bener ora lumrah. Anti Tuhan itu atheis, bukan komunis. Dan dalam komunis tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah agama dan keyakinan. Tapi agama-agama sekarang memang tinggal lah menjadi dagangan belaka. Belum aku temukan penjaja agama yg tanpa pamrih. Itu sebuah pertanda kan? Bahwa setiap manusia lebih mencintai dunia dari Tuhannya.

Di Indonesia telah terbit 3 buku putih, buku sikap resmi negara, instansi atau organisasi, terhadap peristiwa koop 65. Dua buku pertama yg dikeluarkan oleh pemerintah RI dengan gamblang menyalahkan PKI. Sementara buku terkhir oleh NU, mengatakan baik PKI maupun NU adalah korban. Kalau PKI dan NU sama-sama korban, lantas pelakunya siapa? Berpikir kritislah sedikit dalam bersikapn apalagi sikap yg mewakili sekian banyak manusia dg latar belakang yg berbeda.

Temu dulu kesalahan-kesalahan komunis, baik komunis masa lampau maupun yg kalian sebut sebagai neo-komunis. Belajar, berjuang dan bertaqwa tak sekedar menjadi slogan belaka. Belajar segala hal. Pelajari sampai tuntas meskipun itu hal yg tidak kian senangi. Katakan yg sebenarnya adalah buah dari taqwa. Dan bejuang itu untuk kembali belajar dan kembali bertaqwa dalam arti yg sebenarnya.

Kamis, 26 Februari 2015

Gus Nuril Di Paksa Turun II

Berikutnya ada yg kembali meminta komentarku tentang perkara Gus Nuril di Jatinegara. Aku masih menjawab dengan ragu. Belum sempat aku menonton kejadian yg sebenarnya seperti apa. Aku tidak bisa mengambil kesimpulan siapa yg salah tanpa tahu duduk perkaranya. Yg bertanya itu menimpali bahwa dia sudah men-download videonya. Aku pun turut mencari. Dan ketemu. Sudah ada di youtube. https://www.youtube.com/watch?v=cz5nZHTEYpo.

Aku mulai menonton. Menikmati kebesaran dan ketegasan. Tak jauh berbeda dengan Kyai panggung lainnya. Berwibawa. Mulai membahas masalah sekterian dan madzhabnya. Geopolitiknya dan tokoh-tokoh yg terlibat serta latar belakang dan tujuannya. Mula-mula tentang nasrani qibthi. Merembet ke kolonial Inggris dan Prancis. Muncullah apa yg menurut beliau menjadi sekte wahabi. Dampak kemunculan sekte wahabi itu bergandengan dengan pembentukan komite hijaz. Komite yg menentang sepak terjang sekte wahabi ini. Kemudian komite hijaz di kemudian hari menempa diri menjadi organisasi. Dan Gus Nuril ada di dalam organisasi tersebut.

Setelah sekte wahabi kemudian dibahaslah ikhwanul-muslimin dan gerakannya. Dan beliau pun menyebutkan bahwa semua sekte itu ada di Indonesia. Bahkan subur bertumbuh merongrong NKRI. Berujung pada penyebutan HTI. Lalu muncullah teriakan takbir dari arah samping panggung.

Kalau mengamati video yg berdurasi hampir 30 menit itu, aku tak menemu dibagian mana Gus Nuril menghina Habaib dan memuji Ahok. Kalau ada yg bisa menemu lebih detail tolong aku dikasih tahu ya!  Bagi saya sih seorang da'i membuli pemerintah atau memuji pemerintah sudah biasa. Pun membuli atau memuji tokoh sekitar juga sudah biasa. Apalagi kyai jawa. Lihat saja dalang. Pasti ketika manggung membahas pula problem yg sedang hangat di masyarakat sekitar. Entah dari mana sumbernya tapi sang dalang tahu duduk perkaranya dan menceritakan bagaimana baiknya. Itulah mistisnya seorang dalang. Begitu juga kyai jawa.

Halnya dengan Gus Nuril yg sedang bercerita bahwa di Arab sana ada larangan solawatan. Kemudian merembet membahas geopolitik islam kan wajar kan? Yg bebas bersolawat kan di Indonesia saja kan? Meskipun gubernurnya cina kan?

Menurut pandangan saya ini adalah provokasi. Beberapa kali aku mendengar Habib Ali menyebut "pemuda-fpi" untuk memanggil masa yg bertakbir di samping panggung. Boleh jadi akarnya begini. Habib Riziq, pemimpin fpi, kan kayaknya benci banget tuh sama Gus Dur. Beberapa kali aku lihat polahnya di youtube. Gambaran kebenciannya nyata sekali. Lah mungkin mendengar datangnya Gus Nuril yg notabene pengikut setia Gus Dur. Lah kalo dilihat demikian ini bukan masalah antara habaib dengan Gus Nuril semata. Bukan pula antara Habib Ali dan Gus Nuril semata. Gus Nuril tidak menyalahi etika. Habib Ali memaksa turun untuk menyetabilkan suasana gaduh yg dibuat pemuda fpi.

Jadi yg memaksa turun sebenarnya bukan habib Alin tapi pemuda fpi. Gitu kan yah? Coba deh tonton atau download dan tonton videonya. Ini jawabannya. Memang antara Gus Nuril dan habib Ali tidak ada apa-apa. Dua-duanya tidak ada yg salah. Dan penurunan itu bukan karena ceramah Gus Nuril di panggung itu. Tapi lebih merupakan dendam kesumat. Begitu kan yah?

Rabu, 25 Februari 2015

Gus Nuril Dipaksa Turun I

Baru-baru ini Gus Nuril kembali muncul ke media. Hebohnya karena dipaksa turun dari panggung. Entah beliau itu sedang memberikan ceramah atau sedang memimpin pembacaan maulid, aku tak tahu. Dan tentu tak mau tahu. Karena inti beritanya memang penurunan secara paksa oleh seorang "habib".

Ditempat aku tinggal, dulu pernah aku mendengar istilah "kyai keclethot". Entah siapa yg memulai, tapi istilah itu sudah memukul nama kyai dimanapun. Untungnya bukan kyai nasional, yg ke-keclethot-annya menjadi sensasional. Yg digelari "kyai keclethot" itu mungkin memmang menasional. Tapi tidak semua orang tahu. Pun saat itu --saat pemilihan bupati secara langsung yg pertama di Banyumas(2008)-- masih banyak orang mempertanyakan, siapa gerangan kyai yg menjadi orang pertama didatangi oleh bupati terpilih saat itu. Siapa kyai itu ya silahkan tebak sendiri lah. Karena kalau saya yg sebut, selain mempopulerkan beliau dalam hal politik juga melabelinya dengan "kyai keclethot".

Keclethot istilah tergelincir untuk lidah. Kalau kaki tergelincir itu kepleset, sedang lidah tergelincir itu keclethot. Kyai yg lidahnya tergelincir, atau ucapannya bisa menjatuhkan dirinya. Atau bisa jadi ucapannya bukan sepantasnya keluar dari mulut seorang da'i. Di Purwojati itu beliau tidak mengasuh pondok pesantren, pun tidak manggung secara berlebihan. Jadi itungan santrinya tidak jelas. Dan bukti ke-keclethot-annya susah ditelusuri. Aplagi kalau sumbernya berasal dari ibu-ibu muslimat yg setiap Jum'at sore mengaji di rumah beliau. Lah wong ibu-ibu kan memang biang gosip. Tapi masalah keclethot ini jelas manusiawi. Menunjuka bahwa kyai juga manusia. Atau dengan keclethot demikian, Kyai mempunyai maksud tertentu yg sebernarnya jauh dari apa yg dikatakannya. Atau mungkin kebalikan dari yg dikatakannya. Pun semua demi beberapa buah kebaikan. Aku yakin itu. Dan keyakinan itu tidak bisa ditawar.

Seseorang meminta pendapatku tentang hal yg menimpa Gus Nuril. Dan di tahun 2007 seseorang meminta pandapatku tentang Gus Dur. Tentang Gus Dur teman yg bertanya bahkan membawakan sebuah buku yg mencatat kesalahan-kesalahan Gus Dur. Yg mencium medali lah, membela Inul lah, yg ini lah yg itu lah. Dan satu yg jadi perhatianku kawan, kalau tidak salah buku itu bergambar partai yg bersebrangan dengan Gus Dur. Jika iya berarti itu buku politik. Kalau njenengan mencari kebenaran jangan pakai buku itu sebagai acuan.

Belakangan kemudian muncul Gus Nuril. Panglima Pasukan Berani Mati. Yg sebenarnya orang-orang macam ini seperti kebal senjata. Jadog. Itu diperolah melalui tirakat. Gus Nuril nyleneh dengan manggung di gereja. Mengusung idiologi pluralisme warisan Gus Dur untuk Indonesian. Dan belakangan lagi muncul berita sebagaimana awal tulisan ini. Aku tidak akan mengomentari. Tapi suatu kali harus menyikapi. Karena dunia Gus Nuril berkaitan dengan duniaku. Sesama islam, sesama NU, sesama Indonesia.

Nylenehnya berdakwah digereja bagi saya biasa saja. Saya pikir beliau manggung di gereja juga bukan kemauan sendiri. Tetapi haya sekedar memenuhi undangan. Sekarang coba bayangkan andai Panjenengan jadi ta'mir masjid! Kemudian kedatanga seorang pastur yg tiba-tiba masuk masjid dan khotbah di masjin Panjenengan pas dihari 'iedul fitr. Sama Panjenengan itu pastus disuruh turun apa dibiarkan sampai selesai? Lalu pada suatu ketika dalam majelis kyai-kyai atau santri-santri membutuhkan keterangan yg mendalam tentang sebuah ilmu. Dan kebetulan yg memahami tentang ilmu itu hanya seorang saja dan kebetulan pastur. Dan pastur pun diundang dalam majelis kyai atau santri. Saya pikir pastur akan bebas berbicara sampai selesai tanpa penuruna secara paksa. Chusnudhon saja lah. Kita tidak tahu apa beliau rencanakan dan apayg Tuhan rencanakan dengan memunculkan beliau di bumi Indonesia.

Mana yg benar antara habib kontra Gus Nuril? Menurut saya dua-duanya tidak ada yg salah. Meskipun secara pribadi saya belum menemu habib yg cocok dihati saya kecuali Chabib Makky, pengasuh saya saat di pesantren. Dan banyak orang mengagumi habib Lutfi Pekalongan. Dan dari cerita pengagumnya itu pun saya jelas ikut kagum. Tapi pertemuan secara pribadi dan pertukaran ilmu dan sikap belum pernah terjadi. Jadi kekaguman itu hanya tinggal cerita pengaagum. Bila datang cerita yg melunturkan kekaguman mungkin kekaguman saya akan sirna juga. Karena kebanyakan habib yg saya jumpai itu menikmati hidup dengan gelar habibnya. Dalam istilah jawa, kakudung welulang macan. Berkerodong kulit macan biar disangka macan. Padahal anak kucing.

Rabu, 11 Februari 2015

Hujan Dan Mengingat Tuhan

Hari ke 10 bulan Februari, pagi itu hujan semakin menderas. Padahal hari sebelumnya sudah hujan seharian tanpa henti. Meskipun hujan tak besar, tapi Jakarta sudah banjir. Banjir tahun lalu orang menyalahkan kiriman dari Bogor. Sementara sekarang Bogor terang benderang pun tetap banjir. Apa yg salah? Kata Gubernur DKI, pompa letoy. Menyalahkan PLN yg memadamkan listrik sebagai sumber energi pompa. Katanya banjir belum gede kenapa sudah dipadamin? Lah dihari itu juga ada korban yg tersengat aliran listrik akibat banjir. Lah Jakarta kan semua kabel listrik lewat tanah kan? Iya kan? Kok saya tidak pernah lihat ada tiang listrik. Tapi sudah lah. Saya tidak hendak menyalahkan siapa-siapa. Sebenarnya saya juga tidak hendak menyampaikan tentang itu. Biar yg punya kewajiban yg mengurusi. Saya tidak mau ikut mencampuri.

Hujan dua hari itu ternyata menggenangkan air dimanapun. Termasuk jalan yg biasa aku lalui berangkat kerja. Jalan itu legok. Landai barang sedalam setengah meter, sepanjang 3 sampai 4 meter. Pada hari pertama aku melewati itu belum begitu banyak air menggenang. Mungkin baru sekitar 3-10 centi meter. Tapi pada hari kedua saya lihat air menggenang sapanjang hampir 2 meter panjang jalan. Mungkin kedalamannya sampai 15-20 centi meter. Dari jauh aku melihat banyak motor yg berjalan melambat ketika hendak melewati genangan itu. Pasti air bakal muncrat jika dilewati dengan kecepatan tinggi. Mobil pun sama. Melambat pula melewati genangan itu. Ah, pagi itu aku lupa gak membawa payungku. Padahal hujan menderas, kan? Maka dengan terburu-buru aku lewat saja jalan satu-satunya itu. Dan, ah selalu saja mobil yg lewat saat aku berada di puncak genangan terdalam itu terlalu kencang. Dan tentu saja cipratan air yg muncrat dari genangan itu menganai tubuhku. Dan bertambah basah saja pakaian dan tentu tas punggungku. Aku selalu tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengucapkan kata yg tak selesai aku ucapkan. Tinggallah menjadi frasa tak bermakna. Tapi hati ini tau maknanya. Frasa itu adalah "as". Cepat-cepat aku beristighfar. Semoga Si Pembawa mobil selamat sampai tujuan.

Aku pulang sudah terlalu larut dan cape. Cepat-cepat aku pulang kerumah hendak rehat. Tak banyak kejadian di jalan. Hujan itu sudah reda dari sore. Bahkan matari sempat menampakkan diri. Aku pikir kubangan air itu telah kering. Tapi untuk berjaga aku melwati jalan memutar dan menjadi jauh sekali. Ya sudah lah. Cape ini jelas menjadi bertambah cape.

Kopaja pun datang. Aku menaikinya. Mendapat tempat duduk yg aku ingin. Karena masih banyak kursi kosong. Ah paling nanti dioper. Begitu pikirku. Tapi ternyata tidak. Seperti biasa penumpang pasti akan habis ketika melewati AB(aneka buana) Pondok Labu. Tapi jalan tempat aku turun masih jauh di depan sana. Tinggal aku seorang yg tinggal. Tapi tepat saat aku turun kopaja masih berjalan super ngebut. Sudah aku ketok-ketok kaca  pintunya pun dia masih terus jalan. Akhirnya aku teriak kencang baru dia berhenti. Dan jalan pulangku yerlewat barang 50 meter. Ah hampir saja aku mengulangi kata yg tak sempurna dan tinggallah menjadi frasa saja.

Terimakasih Tuhan masih terus mengingatkanku untuk terus mengingat-Mu.

Jumat, 30 Januari 2015

Sumberan

"Kok kamu setiap hari beli makanan kecil buat kita-kita sih?" Tanya seorang teman. "Duit kamu banyak yah? Kan gaji gedean saya, masa kamu bisa saya ga bisa, rahasianya gimana sih ngatur keuangan sendiri?" Tambahnya lagi. Ini uang bukan uang saya kok. Uang ini kan uang titipan. Merasa dititipi ya kasih ke yg punya hak dong? "Tapi kan kita-kita nggak pernah merasa titip duit ke kamu". Ya nggak perlu dirasa lah. Dinikmati saja gorengannya, kopinya, rokoknya dan tentu titipan yang bukan dari kalian ini. Hahahaha....

Begitulah. Hidup kadang aneh. Dikasih setiap hari nggak mau. Giliran nggak dikasih minta jatah. Manusiawi. Jadi ceritanya setiap hari saya memberikan makan pada orang-orang yang hidup dekat--jarak--dengan saya. Itu kalo lagi punya uang. Lah kalo nggak punya ya maaf, masa mau bele-belain ngutang? Ya namanya "nulung menthung", kan? Loh kok bisa? Padahal gaji-mu kan kecil? Kenapa nggak kamu tabung saja buat modal nikah? Kan kamu sebentar lagi mau nikah? Begini asal-usulnya;

Pekerjaan saya itu melayani. Menyadari itu maka dari pertama kali masuk kerja saya tanamkan dalam diri bahwa saya itu pelayan. Setiap orang yang minta untuk dilayani, entah itu orang baik atau sekedar orang-orangan tetap saya layani dengan sebaik yg saya bisa. Entah kenapa orang-orang yang saya layani kok kadang ngasih uang tip. Besarannya sangat bervariasi. Dari yang ngasih 2ribu sampai ngasih terimakasih. Bagi saya terimakasih itu tip yang paling besar. Ingat buku "the power of water"? Apa yang terjadi dengan kristal air berlabel terimakasih? Dan uang tak berharga bagi terimakasih itu.

Dan karena saya merasa tugas saya adalah melayani, maka uang tip itu saya anggap sebagai titipan. Titipan dari siapa untuk siapa? Dari orang yg memberika tip untuk orang-orang yg merasa kurang. Jadi uang tip itu malah menambah masalah dalam mengatur keuangan saya pribadi. Bagaimana memisahkan antara uang titipan dengan uang pribadi. Karena uang titipan itu harus saya serahkan pada orang yang berhak menerima. Meskipun mungkin termasuk saya.

Itulah uang yang ada disaku saya. Bagaiman uang yg ada di saku kalian? Kepemilikan atas apa yg di klaim milik kita itu sebenarnya milik siapa? Benar-benar milikmu kah? Atau sebenarnya itu titipan banyak orang? Kalau saya sudah punya anak istri, hasil dari kerja saya itu ada hak anak dan hak istri. Bahkan bisa jadi keseluruhannya adalah hak keduanya. Jika saya makan hak orang lain maka saya pasti "keloloden". Seperti tulisan yg menempel pada sebuah motor, "uang haram biar sedikit bawa penyakit".

Uang tip itu dihasilkan dari mana sih? Jangan-jangan orang yang ngasih tip itu suka korupsi atau mencuri. Atau mungkin yang nvasih tip itu berusaha menyogok saya biar tambah rajin melayani mereka. Lah itu uang-uang panas. Uang panas jangan disimpan disaku. Nanti bokongmu kebakar loh.

Kalau uang itu benilai shodaqoh, misalnya, apa kamu pantas dishodaqohi? Penghasilan kamu sebulan lebih dari satu juta. Sementara masih banyak orang yang tak berpenghasilan. Masih banyak anak yatim dan jompo. Yakin kah kamu berhak dishodaqohi?

Banyak kran uang yang menetes ke saku. Tapi lihat dari mana sumber airnya. Kalau sumbernya bersih bisa lah kita manfaatkan. Lah kalau dari 10 kran hanya satu yang bersih? Apa yg kotor itu tidak akan merusak air bersihnya? Nggak bisa kamu berpura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu air itu bersih atau kotor. Karena air itu yg menjadi sumber makananmu nantinya. Teliti dulu lah sumbernya.

Kamis, 29 Januari 2015

Resapan

Dering kali orang-orang yang mengisi hari-hari kita tiba-tiba hilang atau sengaja dihilangkan hanya karena jarak dan berlalunya waktu. Teman, sahabat, saudara, keluarga, orang tua, pacar, suami atau istri. Tegakah menghapus mereka dari ingatan? Maka suatu kali giliran kamu yg dilupakan oleh mereka.

Mereka, manusia-manusia itu seperti laron yg selalu berebut cahaya. Kalau kita adalah cahaya mereka tak mungkin meninggalkan kita. Tapi sayangnya kita juga manusia. Bukan cahaya. Yang terkadang manusia dapat memancarkan cahaya ilahi. Memaksa manusia-manusia berebut mendekat bermandi cahaya.

Hidup tidak melulu tentang hari-hari. Mengisi hari dengan senyum bahagia. Bukan hanya resapan cinta, suguhan ceria atau apa saja. Bukan melulu hitam dan putih atau baik dan buruk. Karena tanpa detik tak mungkin menjadi hari. Tanpa manyun bibir tak mungkin menjadi senyum. Tanpa hitam tak ada putih. Tanpa buruk tak mungkin ada baik. Tanpa dan tanpa tanpa.

Bayangkan bila dunia ini tanpa bibir manyun! Apakah senyum itu sebuah bahagia? Bayangkan bila dunia ini tanpa buruk! Apakah baik itu menentramkan hatimu? Memang harus selalu ada dua hal yg bertolak belakang. Agar dunia semarak dan seimbang. Tanpa buruk dunia berat sebelah. Maka goncanglah.

Kadang orang-orang yg telah mengisi hari-hari terpaksa harus dibuang dari ingatan. Karena jeleknya-kah? Buruk perangainya-kah? Hitamnya-kah? Atau karena apapun. Adilkah jika mereka tercerabut dari ingatanmu? Atau sebaliknya jika kamu yg dihapus dari ingatan seseorang. Adilkah itu? Padahal kamu bukan orang jelek atau jahat atau buruk atau hitam atau tidak membahagiakan.

Ingat-ingat lah mereka yg pernah mengisi hari-harimu. Seberapa pun dia mengisi harimu. Dia juga sepertimu yg pernah mengisi hari orang lain dg hanya sedikit sekali. Do'akan manusia-manusia yg pernah mengisi harimu. Seberapa pun jelek dia mengisi. Pandangan orang selalu berbeda dengan segala sesuatu. Bisa jadi yg jelek itu dipandang baik dan sebaliknya. Dan hargailah itu.

Maafkan aku kawan yang telah aku lupakan. Maafkan aku teman yg terpaksa aku kesampingkan karena kesibukanku. Maafkan aku sahabat yg tak bisa aku kawanin setiap hari. Maafkan manusia-manusia karena aku tak selalu mengisi harimu.

Kamis, 22 Januari 2015

Jakarta dan Sosialnya

Rabu, 21 Januari 2015 menemukan cerita sosial dimana-mana. Gara-gara nonton on the street di Trans7. Memang sebuah sandiwara, tapi sandiwara ini untuk mengetes rasa solidaritas dan sosial masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Adegan pertama menggunakan seorang anak perempuan berusia sekitar 9 tahun. Gadis itu bersandiwara sebagai anak yang ditinggal orang tuanya atau anak hilang. Lalu gadis itu menangis. Dan dengan penarik perhatian itu masih banyak orang yg mau peduli. Lalu pemeran diganti dengan orang tua lanjut usia yang telah pikun mengenakan kaos yang memajang tulisan bahwa orang tersebut telah pikun dan bila melihatnya tolong hubungi nomer berikut. Tak banyak yang menyadari adanya tulisan tersebut. Hanya seorang saja yg peduli.

Sebelumnya, saya mendengar seorang hrd dalam percakapan telepon seluler. Dari yang saya tangkap, ceritanya begini. Hrd tersebut diberi tugas untuk mencari orang untuk mengerjakan rumah dinas salah satu karyawannya. Ketemulah hrd tersebut dengan seorang kontraktor dan dibuatlah perjanjian kerjanya. Lalu saat tukang yg diambil kontraktor itu bekerja, hrd mengutus orangnya untuk memandori. Sebenarnya mengawasi. Karena rumah itu bukan milik karyawan biasa. Jadi musti sempurna pengerjaannya. Saat mengawasi itu sang mandor mengatakan ke hrd-nya melalui telepon. "Bu barang-baranya dipindahkan saja, takut kalau kena debu atau hilang". Dan kata terakhir itu ternyata menusuk perasaan tukang yg sedang bekerja. Lalu hari berikutnya tukang tersebut ngambek tidak mau bekerja. Serasa dituduh maling. Hanya sebuah kata-kata bisa mengalahkan segalanya. Pun uang dibiarkan hangus bagi tukang. Tukang mungkin tak butuh uang ketika harga diri diinjak.

Kemudian malam saya pulang naik kopaja. Tranportasi jakarta yg tentu bercampur dengan segala lapisan masyarakat. Kopaja itu memiliki tempat duduk 2-2. Dan siapa saja boleh duduk dimana saja selama tempat itu kosong. Kadang saya terpaksa memlih tempat duduk yang kurang nyaman. Seperti malam ini. Disamping seorang ibu paruh baya. Keringetnya menguap menusuk hidung. Begitu aku duduk disana sang ibu langsung menyapaku. Ngobrol sana sini tentang cuaca, tentang kerja dan tentang susahnya mencari uang. Lalu di gang yang ke sekian, banyak penumpang yg turun dan meninggalkan tempat duduk yang kosong keduanya. Perasaanku terbayang dengan perasaan ibu yang ada di sampingku. Jika aku pindah mungkin ibu itu merasa rendah dan tak pantas duduk bersamaku. Tapi posisiku duduk bersebelahan dengan ibu itu sangat tidak nyaman. Dan jarak tempuhku masih cukup jauh.

Bagiku biarlah aku mencium bau keringatnya. Biarlah aku tak nyaman. Yang utama adalah aku tak merusak perasaan hati seseorang. Pun seorang ibu yang tak ku kenal. Lalu bagaimana dengan anda???

Selasa, 20 Januari 2015

Free Man

Free man, dalam bahasa inggris atau yg di Indonesia biasa kita sebut dengan preman. Free artinya bebas sedangkan man artinya manusia. Jadi free man atau preman adalah manusia bebas. Bebas dari apa sih? Tentu bebas dari hukum. Tapi bebas ini bukan maksudnya hukum memberi keistimewaan kepada orang tersebut menjadi bebas dari hukum atau maksum. Maksum itu dijaga dari dosa. Maksudnya meskipun seseorang bersalah tetap saja orang itu tidak berdosa. Seperti anak-anak yang melakukan pidana tapi kemudian bebas karena usia.

Belakangan kata preman menandai orang-orang brutal, tak kenal aturan dan susah diatur. Yang demikian adalah makna preman yang sudah mengalami perluasan. Padahal awalnya preman itu orang yang kebal hukum yang diciptakan oleh penguasa lalim. Seperti pendekar betawi Pitung yg selalu menentang kekuasaan Hindia-Belanda. Yang oleh kita disebut pahlawan.

Itulah preman atau free man. Adapun perluasan makna terjadi karena kepentingan politik dan kekuasaan. Dimana-mana preman menjadi tokoh antagonis. Selalu digambarkan sebagai jahat. Yang di Indonesia pernah ada razia rambut gondrong dan tatoo oleh angkatan darat. Karena gondrong dan tatoo sangat akrab dengan preman. Maka bertambah buruklah citra preman dimasyarakat.

Kehidupan menjadi semakin bengis ketika manusia mulai mendewakan harta benda. Preman kelimpungan tak bisa makan. Mencari penghidupan dengan merampas, memeras. Yang tadinya hanya pada penguasa kemudian menjadi membabi-buta. Demi hidup, makan dan uang preman merampas tak pandang bulu. Inilah kehidupan. Siapa yang hendak memperbaiki nasib mereka yg ingin bebas?

Preman kini menjadi antagonis yg melenyapkannya memerlukan uang lebih dari 2miliyar. Sebesar itu dana yang disiapkan oleh Ahok, gubernur DKI Jakarta untuk menghilangkan para preman. Tapi laku preman tidak mungkin hilang dari Jakarta. Karena laku preman itu panggilan jiwa, bukan hanya soal dunia.

Membebaskan diri dari hukum adalah panggilan jiwa seorang pertapa. Panggilan jiwa bahwa preman bukanlah budak. Pun bukan budak pemerintah yg dengan adanya manusia pemerintah memanfaatkannya untuk mengeruk harta. Sejatinya pemerintahlah yang antagonis. Hukum pun tunduk padanya. Inilah hidup manusia di Jakarta dalam lindungan preman melawan satpol pp. Semoga saja preman yang melindungi kaki lima tetap berjaya bersama gulingnya kekkuaasaan kapitalis.

Juara para preman.

Jumat, 16 Januari 2015

TUHAN

Sutu kali orang yg bertuhan, meng-iman-i kebenaran adanya Tuhan, sangat membutuhkan keduniaan. Karena kehidupan di dunia tidak mungkin lepas dari hal itu. Pun untuk menyiapkan surga yg lebih baik memerlukan itu. Meyakini adanya Tuhan kadang hanya sebuah pilihan dan kadang merupakan kebenaran. Manusia memilih salah satu agama yg mengajarkan tentang ketuhanan. Dan pilihan itu jatuh bukan karena dasar keimanan. Ada kalanya memilih agama karena keturunan yg kemudian menjadi kebiasaan dan kemudian menjadi kebiasaan. Dikali yg lain pilihan itu jatuh hanya untuk menyamakan dengan pasangan yg akan menikahinya atau dinikahinya. Karena peraturan negara melarang menikah neda agama. Dan dikali yg lain memilih agama hanya untuk memenuhi kolom form ktp dan form-form yg lain.

Kurang mendalamnya manusia dalam hal bertuhan bukan karena manusia yg enggan mendalami. Tapi memang karena Tuhan yg ghoib itu sulit dicerna manusia melalui panca indra. Meskipun dari firman-firman menunjukan kebenaran sain jauh sebelum manusia menemukan sain. Justeru dari kebenaran firman itu semakin sulit menemu hakikat Tuhan. Tetapi temu kebenaran agama. Lalu orang-orang berbondong-bondong menuju agama tapi tak temu Tuhan. Dan yg menemu tuhan malah abaikan agama. Menjadi semakin kaburlah ketuhanan itu.

Agama-agama menggunakan dalil-dalil. Peraturan-peraturan diputar-balikkan untuk mendulang recehan. Tuhan-tuhan baru diciptakan melalui pakaian. Melaui recehan, amal duit dan kekayaan. Lalu hakikat Tuhan diabaikan. Tinggallah agama sebagai peraturan-peraturan. Dan semakin hari semakin jauh dari Tuhan. Mengabaikan perasaan.

Tuhan tinggallah simbol-simbol. Tanpa simbol tuhan tak kelihatan. Kalau tak kelihatan tuhan hanya nyanyian. Tuhan pun katanya tetap mulia bahkan bila tak seorang pun beriman.

Rabu, 07 Januari 2015

Syair Jawa

Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, sugih tanpo bondo.
(Menggempur tanpa pasukan, menang tanpa mengalahkan, kaya tanpa harta).

Nglurug tanpo bolo. Menggempur tanpa pasukan. Ibarat sebuah benteng diserbu tapi penyerbunya hanya seorang. Bagaimana bisa? Itulah kekuatan yang sejatinya kekuatan. Tanpa membawa pasukan bisa meluluh-lantakkan benteng seperti membawa banyak pasukan. Tapi sejatinya bukan demikian. Kalau menurut saya menggempur tanpa pasukan itu maksudnya mengalahkan tanpa bertarung. Bagaimana caranya? Silahkan itu ditafsirkan sendiri. Kan bisa dengan dialog?

Menang tanpo ngasorake. Menang tanpa mengalahkan. Sebenarnya bukan menang tanpa mengalahkan. Teks ngasorake sebenarnya bermakna menghina. Setiap kemenangan kadang membawa kesombongan. Dan kesombongan itu pasti menyakiti yang dikalahkan. Itu berarti tidak menaati menang tanpa ngasorake. Makna dari menang tanpa ngasorake itu banyak. Yang jelas menang tanpa mengalahkan. Maksudnya diatas kertas kita memang sudah unggul. Dan secara logika sudah menang. Bukan menang dengan kecurangan. Bukan menang yg menghina yg dikalahkan.

Sugih tanpo bondo. Kaya tanpa harta. Katanya kaya tapi ternyata tidak punya apa-apa berarti tidak kaya dong? Kaya atau miskin bukan dari penilaian orang lain atau dari harta yg kelihatan. Tapi bagaimana kita menikmati kekurangan menjadi sebuah kelebihan. Seribu pun bisa serasa semiliar kalau men-syukuri. Dan menerima bahwa itu adalah uang dan rejeki kita. Lalu menikmati. Bahkan semiliar pun bisa serasa seribu kalau terus merasa kurang tanpa bersyukur. Kaya tanpa harta benda adalah kaya dari batinmu.

Itulah mantra jawa yang sangat luar biasa. Betapa tidak? Jika semua itu dipraktekkan orang jawa bisa merajai dunia. Bisa mengungguli seluruh bangsa. Bisa membawa persemakmuran, kesejahteraan dalam kesederhanaan. Sebuah syair mantra yg luar biasa. Syair yang bisa menggerakkan manusia seluruhnya.

Nglurug tanpo bolo.
Menang tanpo ngasorake.
Sugih tanpo bondo.