Laman

Selasa, 22 Desember 2015

Generasi-Generasi

Akhir-akhir ini banyak yang prihatin dengan keadaan generasi yang akan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Saya jadi teringat saat berada di sebuah rumah makan di Purwokerto. Mendengarkan sebuah ceramah dari seorang aktifis IPNU kabupaten Banyumas yang namanya melintang ke segala penjuru. Sebagai mantan ketua IPNU cabang Banyumas seharusnya dan tentu punya trick tersendiri untuk memengaruhi manusia (minimal yang seusianya) khususnya NU. Ya, tentu dia yang mantan ketua periode peralihan itu tak seperti ketua-ketua di periode setelahnya. Bung Era bercerita bahwa saat dia menjadi ketua, adalah masa diaman terjadi peralihan nama Pemuda dan Atau Pemuda Putri menjadi Pelajar dan Pelajar putri pada IPNU-IPPNU. “Jelas banyak sekali teman-teman saya yang berpengalaman tetapi usianya sudah jauh dari usia pelajar meninggalkan dunia IPNU”, begitu keluhnya. Tetapi kemudian dengan kepergian atau absennya banyak sekali teman itu malah memancing semangat dalam pencarian teman-teman baru yang kualitasnya (minimal sama dengan orang-orang yang absen) lebih dari orang sebelumnya. Begitulah kekira, kemudian memunculkan gagasan demi gagasan untuk menciptakan ratusan manusia berkualitas dari sekolah-sekolah negeri non agamis menjadi manusia-manusia aswaja ala NU.

Salah satu gagasan yang menarik adalah membagi sasaran. IPNU yang beralih nama menjadi pelajar itu maka fokusnya hanya pada pelajar. Kemudian ketika mengajak pelajar perguruan tinggi tentu caranya tidak sama dengan mengajak pelajar yang masih SMP. Kemudian muncullah gagasan pengelompokan usia atau derajat pendidikan menjadi tiga kelompok. Yaitu usia dini, menengah dan atas. Usia dini itu usianya anak SD/MI dan SMP/MTs, lalu usia menengah itu SLTA sederajat. Dan yang paling tinggi itu usia mahasiswa. Gandeng kekuasaan sebagai ketua yang tidak begitu lama, maka Bung Era hanya memilih salah satu dari tiga generasi untuk menentukan laju IPNU kedepan. Dan disepakati oleh dirinya bahwa usia menengahlah yang jadi fokusnya. Begitu seterusnya dan seterusnya. Yang seharusnya jika hari ini saya kembali kepada IPNU, maka fokus sasaran doktrin idiologi sudah berada di kelompok pra dini. Artinya usia anak sebelum SD/MI. Tapi sayangnya fokus target itu tidak pernah diwariskan oleh Bung Era pada generasi selanjutnya. Atau sebenarnya sudah diwariskan, hanya warisan tugas bukanlah sesuatu yang dinanti. Tapi warisan jabatan masih bisa dinikmati. Dan kenikmatan itu kadang menggoda.

Dan pada akhirnya saya mengira bahwa, pengelompokan itu sebenarnya bersumber pada; “didiklah anak sesuai dengan jamannya, karena anak tidak hidup dijamanmu”. Kemudian ada lagi, jadiakan raja di tujuh pertama, budak ditujuh kedua dan jadikan sahabat ditujuh terakhir. Mangsudnya, jadiakan anak sebagai raja pada usia tujuh petama. Yaitu pada usia 0-7 tahun. Bukan berarti kita merelakan apapun atau menuruti apapun kemauan anaknya, tetapi dengan sangat hati-hati meperlakukannya. Caranya melarang, caranya bicara, caranya memberi, benar-benar seperti dengan raja. Kemudian umur tujuh berikutnya jadikanlah sebagai budak. Cara memperbudak pun tak seperti yang mungkin tergambar dalam cerita bar-bar atau film-film. Perbudakan dalam islam sangat santun. Mengerti hak-hak kemanusiaan dan kewajiban tuan kepada budaknya. Memperbudak anak yang artinya peraturan-peraturan dan dan hukum-hukum yang ketat. Kemudian pada tujuh terakhir jadikanlah anak sebagai sahabat. Yang artinya berikan yang terbaik yang dia mau, berikan masukan dan pengertian tentang bahaya hidup tapi berikan pula kebebasan dia memilih.

Dan kemudian saya berpikir bahwa IPNU-IPPNU sebagai organisasi pengkaderan yang tentu fokusnya di dunia anak dari mulai usia tujuh pertama hingga tujuh ke tiga ini seyogyanya memperhatikan pola pengelompokan. Dan saya masih terus beharap bahwa IPNU-IPPNU bisa menjadi organisasi kader yang sesunguhnya dengan membekali generasinya segudang keahlian baik material, konseptual dan bahkan sepiritual.