Laman

Minggu, 26 April 2015

Mengingat Pecahnya Suluk Syafa’at

Suluk Syafa’at bukanlah nama yang asal muncul begitu saja. Bahkan prosesnya berlangsung dari generasi ke generasi. Memang perubahan nama itu hanya terjadi tiga kali. Tapi generasi anggota grup genjringan ini mencapai lima atau enam generasi. Lebih lengkapnya mengenai generasi Suluk Syafa’at ada disini.

Pada September tahun 2013, aku merantau ke kota untuk mengadu nasib. Mencari jati diri tentang kehidupan. Betapa teka-teki itu perlu diungkap. Tapi sebelum itu Suluk Syafa’at telah terbelah. Pada suatu malam, setelah pujian Suluk Syafa’at rampung didendangkan, seseorang yang kemudian didukung beberapa orang mengajukan interupsi.

Bagaimana kalau perjanjenan-nya, Suluk Syafa’at pindah ke masjid Jami’ Birul Walidain? Mendengar pertanyaan itu sebenarnya aku hendak menangis. Betapa sendiri itu sepi. Betapa terasing diantara yang berbeda itu sengsara. Aku coba galih dan terus galih alasan sebenarnya dari kemauan mereka untuk pindah.

Satu alasan adalah; kita punya masjid dan besar, kenapa malah meramaikan mushola yang kecil. Dan alasan berikutnya; kita lebih dekat ke masjid ketimbang harus berjalan menuju musola al-Barokah yang ada di ujung desa. Selanjutnya untuk menimbang waktu yang dibutuhkan baik untuk berangkat menuju maupun pulang dari tempat ber-Suluk-Syafa’at-an itu menjadi terlalu panjang dan tentu menjadi terlalu malam.

Aku harus terus menahan kesedihan ini di pedalaman hati. Betapa mereka yang mengajukan interupsi itu tidak pernah tahu betapa sepi sendiri. Aku jawab sekenanya saja. Sedih sudah terlalu menguasaiku saat itu.

Bahwa keberadaanku di mushola al-Barokah ini pertama adalah untuk ber-Suluk-Syafa’at. Kemudian untuk menemani para sepuh nahdliyin yang keberadaannya terasingkan dirumah sendiri. Karena disekeliling mushola itu hanya ada satu dua orang saja yang nahdliyin, sementara yang lain boleh dikatakan sangat berseberangan. Lalu jauh itu bagiku adalah bonus pahala. Karena al-ajru biqodri ta’ab, pahala itu tergantung pada kemampuannya. Semakin jauh langkah kaki yang aku korbankan untuk ber-Suluk-Syafa’at-an semakin mahal pula pahalanya. Begitu sebaliknya, semakin kecil pengorbanannya semakin tak berpahala. Maka semakin jauh semakin baik. Masalah masjid besar yang sepi itu, aku dulu pernah meramaikan. Dan sekarang pula sudah ada jadwal ibu-ibu yasinan di masjid itu dan mushola-mushola lain kecuali al-Barokah ini. Jadi aku pikir inilah keadilan. Keadilan untuk meramaikan semua yang milik nahdliyin. Perkara ada yang mau melepaskan diri dari Suluk-Syafa’at yang ada di mushola al-Barokah ini dan berhijrah menuju masjid akan aku lepaskan dengan kerelaan hati. Sementara aku akan tetap berada di tempat ini sampai waktunya tiba aku harus berpisah. Biar pun semua pindah dan tinggal aku seorang, itu tidak jadi soal. Dan aku sudah biasa melantun sholawat meski sendiri.

Dan tahun 2015 ini aku mumgkin merasakan apa yang Mbah-Mbah di mushola al-Barokah itu rasakan. Terasing di rumah sendiri. Merasa tersisihkan dirumah sendiri. Merasa sendiri dalam perpedaan keramaian. Di tahun ini aku mulai hidup di komunitas Muhammadiyah yang kebanyakan mengikuti madzhab hambaliyah. Sementara aku bermadzhab syafi’iyah. Betapa aku sendiri saat ini.

Siapa saja yang membaca tulisan ini dan masih sempat untuk menemani orang-orang yang merasa sepi karena lingkungan, kesepian seperti apa yang saya rasakan, mumpung masih ada kesempatan untuk menemani. Temanilah! Mudah-mudahan kalian tidak mengalami sepi seperti apa yang aku rasakan. Selamat berjuang sisa-sisa Suluk Syafa’at.

Sabtu, 04 April 2015

Menikah dan Api

Orang-orang bilang menikah itu pusing, bingung, sedih, tapi juga seneng dan bahagia. Tahun 2009 meski sedikit, aku merasakan sedih. Kebanyakan yg ibu-ibu biasanya terkenang dengan almarhum. Kemudian menjadi sedih. Sebenarnya aku sangat tidak suka dengan kesedihan yg berawal dari kemarahan yg dipendam. Tapi kesedihan karena mengingat mati itu aku masih suka, bahkan mengusahakannya. Dan dua tahun berikutnya aku mengulangi kesedihan bersama amarah. Lalu, semoga saja, yg terakhir di tahun 2015 ini.

Entah mengapa aku tercipta oleh sunyi. Seakan-akan ramai adalah musuh. Meskipun aku senang dengan konser musik, terutama musik cadas, tapi sendiri dalam sepi di dalam konser tersebut adalah kenikmatan tiada tara. Sepi diantara hilir mudik pejalan kaki, teriakan kondektur metro mini, bus dan pengamen di terminal kota pun serasa menyanjung pedalamanku. Dan terkadang duduk bergumul diantara sepi itu sendiri jadi pilihan.

Suatu kejadian yg tidak bisa kita tolak kadang datang dari sekitar kita. 2009 itu ada pesta pernikahan Mba-ku. Dimana-mana pesta selalu ramai. Dari persiapan sampai usainnya. Dan aku yg belum bisa menikmati sepi diantara ramai tetangga yg kukenal dan saudara selalu tersiksa.  Dan amarah nongol entah dari mana datangnya. Menikam pedalaman hati yg kemudian memunculkan janji. Aku, ketika menikah nanti, tak akan mengadakan pesta apapun.

Dua tahun kemudian giliran kakak,ku yg menikah. Awalnya berencana tak akan rame-rame. Sekedar begadang semalaman. Biasa kita sebut dg lek-lekan. Berasal dari kata melek. Tapi kemudian ketika tratag atau layos atau apalah namanya dipasang dan lampu-lampu dinyalakan tanpa sound sistem, berasa sedang berduka. Biasanya dirumah orang yg meninggal dipasang juga tratag dan lampu tanpa rengeng musik. Maka untuk menghindari serasa duka itu kemudian datanglah seperangkat sound sistem. Jadilah tetap sebuah pesta. Pun persiapannya, entah mengapa selalu muncul percik amarah yg menusuk pedalaman hati. Dan lagi selalu aku yg tertusuk. Entah karena terlalu ceroboh atau memang akulah sasaran empuk. Disela persiapan itu aku kembali mengulang janji sebagaimana telah aku janjikan dulu.

Pun saat aku sendiri yg menjalani hajat itu. Saat aku menjadi pengantinnya, masih terus berharap tanpa perayaan apa pun. Kemudian kecewa datang saat melihat persiapan tratag itu ada di depan rumah. Melihat karungan beras dan tumpukan sayur. Dan rencana dua hari hajatan. Aku hanya bisa berdo'a, semoga tidak terjadi apa yg telah terjadi disetiap perayaan dirumah ini. Aku nistakan diri dg lapar. Aku payahkan diri tanpa tidur. Hanya untuk segepok senyum tulus tanpa paksaan. Senyum tanpa menyembunyikan rasa dongkol di dada.

Tapi do'a tetap tinggal-lah do'a. Rencana tetap tinggallah rencana. Ketika ego mulai meng-ingini yg tak pantas, yg tak seharusnya diingini, yg seharusnya dilepas dg ikhlas, kemudian dipaksa dikuasai ego. Dan masing-masing amarah membuncah menjadi lahar memuntah. Kemudian aku pasrah. Demikian selalu ada keributan, amarah, emosi, yg menyertai untuk mengundang tangis. Entah mengapa kebencianku untuk pesta menjadi semakin jadi.