Laman

Selasa, 26 November 2013

Terlambat Datang Bukan Berarti Kalah


Kajian NU, jika dipaami secara etimologi pun masih megandung ambiguitas. Kajian NU itu maksudnya kajian yang sesui kaidah NU atau kajian yang membahas tentang NU? Tapi kemudian justru keduanya pun menjadi penting bagi NU sendiri. Baik kajian yang berjalan sesuai kaidah NU maupun kajian yang membahas lebih dalam tentang NU.

Berbicara tentang NU, tak lengkap rasanya jika tak menyinggung Muhmmadiyah. Bahwa antara berdirinya Muhammadiyah dan NU ada jeda yang lumayan lama. Ada selang antara Muhammadiyah sebagai organisasi dan NU sebagai organisasi. Yang jelas NU kalah dalam dalam hal waktu ketimbang Muhammadiyah. Padahal  Muhammadiyah hanya memiliki 1 icon saja. Sedangkn icon bagi NU ya para Kyai yang jumlahnya tidak hanya hitungan jari. NU dating belakangan dan boleh dikatakan terlambat atau tertinggal.

Dan pada masa kekinian, generasi muda NU, baik yang terjaring dalam IPNU-IPPNU, Anshor, Fatayat, maupun PMII, semua sedang gencar menggemborkan Pers dan Jurnalistik sebagai lahan atau cara untuk mengembangkan oraganisasi atau untuk tujuan yang lebih mulia lainnya. Seperti membumikan ajaran Aswaja ala NU.

Padahal disana-sini sedang marak berkembang isu tentang kelicikan-kelicikan media masa. Baik cetak, audio, maupun audio visual. Media masahanya penyebar gossip isapan jempol saja yang kemudian membentuk opini public yang nantinya hanya akan menguntungkan segelintir oknum saja.

Yang marak terjadi adalah saat adanya pesta demokrasi. Satu media mengatakan Pak A yang elektabilitasnya tertinggi. Sementara media lainnya mengatakan Pak B-lah yang elektabilitasnya tertinggi. Dan apalagi kalau bukan untuk membentuk pandangan umum yang nantinya akan menguntungkan Pak A atau Pak B. maka bukan hanya Part-Tai saja yang barmain curan. Tapi media masa pun sebenarnya sama busuknya.

Dan sekali lagi, dengan keterlambatannya, NU mulai memunculkan diri dengan media masanya sendiri. Dengan harapan mampu membendung simpang-siur dalam media masa yang hanya mencari keuntungan golongan atau pribadi. Membendung informasi-informasi yang tidak akurat yang nantinya hanya menguntungkan segelintir orang dan menewaskan banyak manusia lainnya.

Serta perlu dukungan dari berbagai elemen yang terdapat dalam barisan NU guna mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Bukan hanya golongan muda saja. Tapi baiknya di semua golonga, baik tua maupun muda, perempuan maupun lelaki. Bersama membangun transparasi NU dan Indonesia melalui media masa. Meski dalam keterlambatan, dan selalu dalam keterlambatan.

Senin, 18 November 2013

Enaknya Menulis


Menulis memang bukan suatu kewajiban. Tapi bagi orang-orang tertentu, menulis kadang menjadi obat yang mujarab. Terutama untuk tumbuh kembang jiwa dan pikirannya. Sesekali kita mengalami hal yang sangat mengecewakan. Dan saat itu kita kadang memilih teman untuk berbagi. Kadang pula ada yang memilih orang tua. Dan beberapa justru memilih buku hariannya untuk mencurahkan segala bentuk masalah dalam bentuk tulisan.

Orang-orang yang memilih tulisan sebagai wadah dari sejarah hidupnya bisa terus membuka halaman demi halaman hidupnya yang telah terlalui. Apabila buku-buku hariannya masih tersimpan dengan rapih. Karena kadang memori manusia yang mudah lupa itu meninggalkan hal-hal yang kurang. Maksudnya yang biasa-biasa saja. Dan apabila seluruh hidup kita biasa-biasa saja, maka seluruhnya pula akan hilang ditelan usia.

Berbeda dengan orang yang menuliskannya. Meskipun itu sebuah hal biasa, tetapi kemudian disaat anak cucu kita telah lahir akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Apalagi ketika hidup yang kita hadapi memang penuh lika-liku. Tentu akan lebih menarik untuk dibaca ulang. Dan satu keuntungan adalah kita bisa memberikan bukti kepada anak cucu kita bahwa kita pernah mengalami hal yang paling buruk atau sebaliknya. Bahkan hal-hal kecil seperti makanan favorit saat tinggal dalam sebuah kamar kost atau makanan yang pertama kali disantap bersama dengan sang kekasih bisa menjadi kenangan tersendiri saat kita tua nanti.

Jika lembaran-lembaran hidup itu kita kumpulkan, dan menjadi sebuah buku, maka kita seperti sedang membaca roman hidup kita sendiri. Seperti sedang melakoni menjadi bintang dalam sebuah novel hidup kita sendiri, atau sedang menjalani sebagai tokoh utama dalam sebuah cerpen.

Kemudian saat sebuah rahasia atau suatu masalah yang kita tak ingin agar orang lain mengetahuinya, maka tempat yang paling aman adalah tulisan yang selalu tersimpan. Ketika hal yang saat ini menjadi sebuah masalah besar tetapi tidak tertulis, bisa jadi dalam hitungan windu kita akan melupakan hal yang sebenarnya sangat mendebarkan. Atau sebaliknya, hal yang sangat menyenangkan.

Itulah semboyan menulis. Bukan untuk menjadi penulis, tetapi untuk memetik hari yang suatu saat tidak bisa kita petik kecuali dengan tulisan tersebut. Yaitu hari saat penyakit tua telah menjangkiti tubuh kita. Karena menulis adalah hidup. Maka yang tidak menulis tidak benar-benar hidup. Dan menulis merupakan kenikmatan tersendiri bagi pekerja apapun. Penjual nasi yang menulis, guru yang menulis, tukang becak yang menulis, penjaga toko service yang menulis, santri yang menulis, pelajar yang menulis, petani yang menulis dan semuanya menulis untuk menoreh sejarah hidupnya sendiri. Untuk mengetahui gambaran dirinya melalui sebuah tulisan.

Minggu, 11 Agustus 2013

Kenapa Menulis???


Berkelbat di Malam Ke-II
            Salah satu tanda bahwa manusia itu hidup adalah berpikir. Setiap nafas yang terhembus ini selalu saja terasa berat. Karena selalu saja mengandung pikiran di setiap hembusnya. Saking benyaknya dan saking berbedanya pikiran disetiap hembusan itu sering kali tak terabadikan. Atau sering kali menguap sia-sia seperti nafa itu sendiri. Entah pikiran yang muncul karena dipikirkan secara serius maupun jenaka. Pemikiran itu tentu memerlukan energi lebih ketimbang mencangkul sebidang tanah.
Di malam ke-II ramadhan 1434 H ini muncul kembali keinginan untuk terus menulis. Tugasnya menulis apa saja yang terlintas. Menulis tentang awal mula menyenangi tulis menulis. Tentang kenapa harus menulis atau tujuan menulis. Menulis rutinitas, dari yang paling pribadi hingga yang bernilai budi pekerti paling tinggi.
Awal mula menulis, jelas ketika pertama kali aku memasuki ruang kelas. Sekolah. Langsung SD waktu itu. Tapi aku tak ingat barang sedikitpun tentang itu. Sisa-sisa dokumentasinya pun entah kemana. Yang aku ingat, kelas 1 SD aku tidak hafal huruf “j”.
Memasuki MTs kelas I Cawu pertama, nilai Bahasa Indonesiaku tertinggi seantero kelas I. Yang masih aku ingat guru dan pelajarannya. Pak Darsi dan pelajaran tentang majas. Hiperbola, personifikasi, ironi dan lain-lain. Itu belum mulai menulis karya. Menulisnya masih bentuk-bentuk tuntutan pelajaran sekolah dan mengaji semata. Mengaji di TPQ, enulis ilmu tajwid, fiqih, akhlaq, tauhid. Ya yang ringan-ringan lah.
Berawal dari tugas membuat puisi di kelas II. Masih pelajaran Bahasa Indonesia. Gurunya Pak Napan. Itu karya pertama. Tapi entah kemana dokumentasinya. Semasa MTs hanya itu saja karyaku, sekali saja. Ya karena tugas itu juga. Dan karya-karya yang lain menyusul saat MAN. Jauh dari orang tua, tidak punya teman, merasa sepi dikeramaian. Dan suasana itu yang kemudian menculkan puisi-puisi. Temanya berkisar pada kerinduan. Hampir setiap istirahat menoreh satu judul puisi. Pada mulanya. Tapi setelah punya teman dan saling kenal, menjadi jarang menulis puisi. Meski masih terus berkarya.
Kelas II tema dan tata bahasa beralih. Menjadi ke-islam-islaman. Ya, mulai meresapi kehidupan pesantren. Tentang kelaparan, pasang surut iman, kehidupan alam ghoib. Ya yang begitu-begitu lah. Dan mulai banyak membaca. Karya-karya Ahmad tohari bayak yang terbaca, Trilogi ronggeng dukuh paruk, bekisar merah, kubah, orang-orang proyek juga bagus itu. Juga novel-novel remaja. Tapi tidak tahu kenapa ketika disuguhi Dealova kok tidak tertarik. Malah milih koran dan ensiklopedi sains. Sumbernya ya perpustakaan sekolah.
Kelas III tidak lulus ujian. Pindah ke Pemalang. Dan tulisan-tulisannya menjadi seikit bermuatan kerikil. Punya visi misi hidup yang jelas. Mulai punya tujuan hidup yang wajar, tidak sekarepe dewak. Tapi sudah mulai menyenangi novel-novel berat seperti Dunia sophie. Ketika disodori KCB melah emoh. Dan setelah dunia sophie itu jadi kepengin nulis novel juga. Dan seketika itu lasung dimulai juga. Garis-garis besarnya, dan sempat menulis beberapa lembar tapi gagal juga. Entah karena tidak baka, atau karena malas mungkin. Tapi mulai punya cita-cita ngumpulin buku sendiri.
Meski nulis novel gagal, tapi menulis puisi jalan terus. Lulus MAN Pemalang ke Jakarta, tepi kemudian berdiam di Bekasi. Sama juga, curahannya ya ke puisi. Setiap event, setiap moment, yang sedih yang bahagia. Larinya ke buku. Puisi. 2009 kuliah, pun sama terus menulis puisi.puisi-puisi yang tercipta banyak sekali yang hilang ya pada masa kuliah ini. Malam hari, mau tidur, nulis di HP, siemens yang doraemon. Kalau sudah jadi kirim ke banyak. Selesai, hapus, tidur.
Lah pas kuliah itu ketemu temen, IPNU kedung banteng. Ditantang ikut jambore pelajar IPNU-IPPNU. Ikut. Kesengsem sama ketua IPPNU komsat SMK ma’arif Cilongok. Ketemu nomer Hpnya, menjadi salah satu target sms ke banyak. Terus dikenalin sama Doni. Dini Rahmat aziz. Ajibarang.
Lah dari perkenalan itu kemudian kembali menggali lebih dalam tentang tulisan. Didukung dengan tanggung jawab terbitnya majalah Pewejete News. Karya PAC Purwojati. Kemudian ketemu juga sama Aminurrohman, Susanto, Mahbub dan orang-orang ajibarang yang gemar menulis pula. Semakin banyak baca dan koleksi buku-buku. Mulai mendokumentasikan tulisan pribadi. Kalau yang dari Man masih banyak yang terselamatkan. Kebanyakan masalah remaja. Cinta monyet lah.
Dan terkhir, ketika tulisan ini di buat, tiba-tiba teringat pertanyaan; kenapa Nur Salis Sahid itu menulis? Yang nanya Pak Guru Tarno. Nama lengkapnya aku tidak tahu. Dari kecamatan ajibarang juga. Tepatnya Jingkang. Plosok sekali, tapi Pak Tarno ini suka mikir. Jadi tidak mudah menerima jawaban. Apalagi jawaban asal-asalan.
Setelah ingat pertanyaan itu, seketika itu pula aku pula kau langsung bisa menjawab. “Untuk menyuarakan pikiran dan perasaan yang tidak bisa dan tidak biasa disampaikan secara lisan”. Itu saja yag membuat aku masih bertahan menulis hingga sekarang. Perkara suara itu tersampaikan atau didengar apa tidak, itu urusan belakangan. Yang penting isi otak dan perasaan sudah tertuang kelahan lain. Minimal mengurangi beban pikiran dan perasaan. Mencegah stres. Jadi tidak pernah mikir, mau terbit apa tidak. Ini bagus apa tidak, ini mengena apa tidak. Semua itu tidak penting. Yang penting apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan apa yang ingin aku sampaikan sudah di tuliskan. Ditulis, minimal untuk diri sendiri. Barang kali kalau besok aku mati, tulisan itu bisa dibaca orang banyak. Jadi mereka tahu pikiran dan perasaanku.
Kalau dipikir-pikir, setiap orang ketika menulis ya punya tujuannya sendiri-sendiri. Apalagi menulis yang niatan dan tujuannya tdak pernah diajarkan. Wong sholat yang diajari niatnya suruh Lillahi ta’ala saja dimasing-masing orang menjadi berbeda tujuan. Ada yang sholat karena takut neraka. Ada yang karena kepengin surga. Ada yang karena “ora kepenak tangga”. Dan lain-lain lah. Menulis juga begitu. Menulis untuk yang baik-baik, untuk Lillahi ta’ala juga bisa.
Misalnya menulis sebagai ganti dakwah mimbar. Menulis untuk agama itu katanya Lillahi ta’ala, kan?  Menulis sebagai ganti ngaji juga bisa. Misalnya ngaji di TPQ atau Madin direkam. Terus ditulis, lengkap dengan guyonannya juga bisa, kan? Tapi ya menulis untuk yang jelek-jelek juga bisa. Misalnya menulis berita bohong di koran-koran. Menulis kejelekan-kejelekan orang, lalu sebar luaskan.menulis, ya pokoknya yang tujuannya jelek lah. Bukan tulisannya yang jelek. Ata bisa juga menulis untuk mendongkrak pemasukan ekonomi atau barang kali numpang exis di media masa juga bisa.
Jadi tinggal kita mau pilih yang mana. Pilih yang biasa apa yang luar biasa. Atau tidak milih pun termasuk pilihan, kan? Ya meskipun ada yang bilang; “Menulis untuk hidup abadi”, “Menulis sebagai bentuk manusia beradab”, atau “Menulis untuk membangun peradaban” dan lain-lain, tapi kenapa aku menulis ya karena aku ingin menulis. Dan kenapa kalian menulis, ya terserah kalian.

Minggu, 14 April 2013

Cerita Sang Kyai


Berawal dari jum'at yang membingungkan. Titipan legalisir Mba memaksa aku berkeliaran setelah hujan. Bahkan saat hujan kembali menderas. Menemui seorang teman yang masih tersisa di pesantren yang juga bersekolah di STAIN. Meskipun masih banyak yang aku kenal disana, tapi hanya satu itulah lah yang masih tetap mau membantu. Maka aku titipkan semua itu pada teman itu. Legalisir STAIN dan MAN. Dan senin menjadi hari pertemuan kembali setelah semua urusan selesai.

Aku menunggu diwarung langganankku saat aku masih di MAN dulu. Menyedu kopi Good Day Capucino ditemani Gudang garam merah kesukaanku. Setelah Memberi tahu SangTeman bahwa aku menunggu di warung tersebut tentunya. Lalu pemilik warung itu menceritakan sejarah yang teramat pahit menurutku. Sayang sekali, itu keburukan para penghuni pesantren.

Bagaimana mencari dan mempegaruhi Massa(Orang banyak). Apakah dengan kesabaran, rasa peduli atau dengan kepedulian yang berlebihan hingga warna cat rumah pun dipilihkannya. Sang Kyai memaki Bu Warung hanya karena mengikuti jalan sehat yang di adakan Rukah Sakit Kristen. Mereka membakar kaos seragam jalan sehat pemberian rumah sakit untuk Bu Warung, membakar kupon undian dan masih terus menggunjingnya hingga kini. Oleh Sang Nyai. Betapa menyakitkannya.

Lalu sesaat berlalu. Setelah cerita itu hilang ditelan kesibukan Bu Warung sendiri aku kembali menikmati kopi dan rokokku. Tak lama datang sebuah pesan pendek ke HP Bu Warung. Bapak membacakannya. Sebuah undangan Perjanjenan yang biasa dilakukan ibu-ibu muslimat yang belakangan aku tahu ternayata Sang Nyai adalah  ketua Muslimat NU Ranting desa tersebut. Kembali keluh kasah itu menggunung.

Gangguan dari jenis pekerjaan, harta, waktu, dan kedudukan menikam dari ulu hati menuju ulu jantung. Ketika harapan pada sebuah undangan menginginkannya datang pada pukul 10 pagi, maka bagi pedagang seperti Bu Warung sedang sibuk-sibuknya mencari nafkah sekedar untuk makan. Tak seperti Sang Nyai yang notabene istri pegawai negeri. Dan seperti Bu Sekretaris ranting. Dan mungkin ibu-ibu Muslimat yang lain juga.

Apa mereka para Kyai, Nyai dan santri-santrinya tak memikirkan ini? Atau aku yang telah menjadi murtad dari pesantren yang telah terkontaminasi dengan dunia luar yang menjadi semakin brutal? Enatah lah.

Aku mengira seharusnya mereka yang mengenal islam lebih dalam tak seharusnya berlaku demikian. Seharunya mereka memberikan wejangan dengan lebih halus. Bukankah begitu yang termaktub dalam mushaf yang selalu mereka baca? Sementara mereka pun gerah melihat kekeraan-kekerasan atas nama agama yang sering terjadi.

Apa ini benar-benar murni hanya karena perebutan kekuasaan? atau lebih halunya perebutan pengaruh? Lalu ketika Kyai dan Nyai pun telah berlaku demikian, siapa yang akan menegur mereka???

Jumat, 12 April 2013

Si Doel Anak Sekolahan Episode Harga Diri

Setelah Doel lulus kuliah, datanglah hari ulang tahun Non Sarah. Doel pun diundang untuk menghadiri pesta tersebut. Doel datang bersama Mandra. Dengan pakaian alakadarnya dan Manra berpakaian adat betawi, dua orang itu kemudian menghadiri pesta yang di datangi orang-orang dengan bergaya modern(Katanya).

Pesta pun di mulai. Karena yang ditunggu Sarah dari tadi hanyalah Si Doel. Tetapi kemudian Roy, pemuja Sarah yang berharap menjadi suami sarah, menghina Doel habis-habisan. Harga diri Doel dan Mandra diinjak-injak di depan orang-orang yang mengaku dirinya modern. Doel hanya lah behan sekripsi Sarah yang sedang meneliti kelompok-kelompok yang hampir punah atau kelompok primitih di tengah ramainya Jakarta.

Doel ngambek. Baik terhadap sarah maupun Hans. Teman kuliah yang Doel yang mengenalkannya dengan Sarah.
"Siapa yang primitif? Kalian yang mencela dan menghina orang-orang sepertiku atau aku dan Bang Mandra yang berpakaian seperti ini?" (kurang lebih begitu kata-kata Doel ketika berhadapan dengan Roy setelah memberikan kado pada Sarah).

Setelah itu aku melihat adanya konspirasi yang mungkin tak disadari. Sarah yang telah terlalu dekat dengan keluarga Doel mendekati satu demi satu anggota keluarga itu. Menghampiri orang tua Doel yang jago agama untuk ikut membujuk doel agar memaafkan dirinya. Dengan sebelumnya juga Sarah telah membantu menjualkan tanah warisan yang hendak dijual. Ini salah satu bentuk konspirasi.

Lalu adegan berubah. Mandra laporan kepada Doel. Sarah menemui Mandra di pangkalan. Mencari-cari Doel untuk meminta maaf. Kata Mandra, Sarah bercerita sambil nangis-nangis tak tahu kenapa. Mandra kecewa dengan sikap Doel yang mencampakkan wanita secantik dan sebaik juga sekaya Sarah. "Terus pulangnya gua dikasih pesangon goceng." pungkasan kata Mandra.

Dan bentuk konspirasi terkhir adalah adegan atun pulang belanja. Atun dihentikan oleh Sarah yang naik mobil. Atun pun diajak Sarah entah kemana. Atun yang berbelanja untuk sarapan pagi itu pulang tengah hari. Mandra pun mencak-mencak karena belum sarapan.
"Lah emang gua pikirin? yang penting gua udah kenyang di teraktis sama Non Sarah."
Malam hari, ketika Atun dan Doel bisa bercengkrama lebih dalam, Atun mulai melancarkan serangannya. Menyalah-salahkan Doel yang selalu menghindari Sarah.

Atun, Mandra, dan orang tua Doel mendesak dan terus mendesak Doel. Membela Sarah. Sementara Doel masih terus memegang prinsip harga dirinya dan orang-orang pinggiran Betawi. Meski tinggal sendirian Doel masih mempertahankan ke-Betawi-annya.

Di tengah konspirasi etah atas nama apa, tapi sang konspirator adalah pemenangnya.

Kamis, 04 April 2013

Cerita Sejarah Kerajaan Islam "IPNU-IPPNU" Indonesia


Tidak terlalu jauh mengamati sejarah kelam kerajaan di Indonesia. Sesaat tadi belajar IPS sejarah bareng anak SMP kelas VII. Mengulas tentang kerajaan-kerajaan islam di Indonesia. Seperti Samudera Pasai yang kemudian berubah wajah menjadi Malaka kemudian berganti lagi menjadi Aceh. Lalu di jawa ada Demak, Pajang, Mataram, Cirebon, dan Banten. Di daerah timur sana ada Ternate, Tidore, Goa dan Tallo.

Tak memungkiri memang, aku yang orang jawa lebih senang melihat prestasi-prestasi kerajaan yang berada di tanah jawa. Seperti Demak oleh Raden Patah. Pajang bersama Jaka Tingkir atau Pangeran Hadiwijaya. Mataram bersama Sultan Agung. Cirebon dengan Faletehan atau fatahillah dan Banten karena Sultan Hasanudin.

Tapi kemudian tiba-tiba merasa ada ganjalan di tenggorokanku. Nelangsa mengikuti alur demi alur tulisan di buku itu. Sejenak tertegun, lalu setetes demi setetes air mengalir meraba pipiku. Setelah sampai pada titik penghabisan. "Faktor kemunduran kerajaan islam di Indonesia." Terutama sekali yang aku sorot adalah kerajaan islam di jawa. Semua  penyebabnya sama.

Setelah kerajaan Demak, yang merupakan kerajaan islam pertama di jawa itu, berada di puncak kejayaan bersama Raden patah, kemudian hancur setelah pertempuran saudara yang tak kunjung henti. Antara Sunan Prabowo, putra Sultan Trenggono dengan Pengeran Sekar, kakak dari Sultan Trenggono. Antara kemenakan dengan Pak De-nya. Bertempur untuk memperebutkan kekuasaan. Lama menunggu keputusan kerajaan Demak yang sedang bertempur, akhirnya masing-masing daerah menyatakan diri untuk berdiri sendiri tanpa harus bertopang pada Demak yang tak jelas lagi nasibnya. Muncullah kerajaan Pajang, Cirebon, dan Banten.

Kerajaan Pajang berawal dari keberhasilan Jaka Tingkir meredam kerusuhan (akibat perang saudara di Demak) di daerah Pajang. Lalu Jaka Tingkir di nobatkan sebagai raja pertama setelah memboyong pusaka yang berada di Demak. Tak berlangsung lama, kerajaan Pajang pun ambrol dengan perebutan kekuasaan antara Pangeran Benawa, Putera Jaka Tingkir, dengan Arya Pangiri, putra Sunan Prawoto. Memang pangeran Benawa menang dengan bantuan Sutawijaya, Raja Mataram Islam. Namun kerusuhan demi kerusuhan terus timbul, maka kerajaan Pajang pun menyatkan diri bergabung dengan Mataram. Pajang lebur.

Mataram pun tak kalah seru. Pembubarannya dengan tiga faktor. Yang pertama adalah pemberontakan yang meraja lela. Akibat dari konspirasi antara pemberontak dengan orang-orang yang hendak memperebutkan kekuasaan. Dan memang perebutan kekuasaan menjadi fator ke-dua kehancuran Mataram. Dan faktor terakhir adalah campur tangan Belanda. Yang memungkinkan sengaja membentuk pemberontakan dan memecah belah keluarga kerajaan yang mengakibatkan perebutan kekuasaan tanpa memikirkan kerajaan.

Lalu beralih ke Cirebon. Kerajaan  berikutnya yang memisahkan diri dari kerajaan Demak. Pun kemudian hancur dengan pembagian kekuasaan. Dan satu dari bagian itu membelah lagi menjadi bagian yang lebih kecil.

Banten pun sejatinya merupakan pecahan dari kerajaan Demak. Dan hancur karena perbutan kekuasaan. Meskipun perang saudara itu selesai dengan kemenangan di tangan Sultan Haji, tapi VOC mengendalikan kerajaan itu.

Semua kerajaan islam di jawa hancur karena perang saudara berebut kekuasaan. Tragedi PKI, Saling sodok korupsi baru-baru ini yang memperlihatkan tidak akurnya pemerintahan. Dan aku kembali nelangsa. Kembali ada yang mengganjal tengorokanku. kembali tetes-tetes air itu menghambur.

Ternyata baru-baru ini, Seolah-olah terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan IPNU-IPPNU Kab. Banyumas. Konferensi bukan pemilihan ketua, tapi seolah-olah merupakan perhelatan perebutan kekuasaan. Atau memang benar-benar perebutan kekuasaan? Atau perebutan pengaruh? Atau perebutan kepentingan masing-masing?

Disatu pihak mencak-mencak dengan kekalahannya. Dipihak lain memohon untuk bekerja sama dengan kemenangan. Syukur masih ada pihak yang merasa lebih baik ketuanya segera diganti ketimbang molor hingga seperempat tahun.

Jelas sekali itu peperangan. Karena ada pihak yang merasa kalah. Dan mungkin ada pula pihak yang merasa menang. Lalu muncul gerakan-gerakan underground yang menyatakan diri melawan pihak yang saat ini menang. Muncul gerakan Separtis, gerakan anti PC, mosi tidak percaya, Konfercablub dan lain sebagainya.

Apakan kerajaan IPNU-IPPNU Kab. Banyumas akan meniru pola kehancuran kerajaan islam jawa pada masa lampau? Atau memang begitulah pola manusia-manusia jawa? Selalu berebut dan memperebutkan kekuasaan?

Oh IPNU-IPPNU, semoga lekas sembuh dari sakitmu. Semoga tak ada yang berani mengusik ketenanganmu. semoga dan ribuan semoga. Aku men-do'a-kanmu.

Rabu, 03 April 2013

Cerita Refleksi Konfercab PC IPNU-IPPNU Kab. Banyumas


Terus dan terus saja konspirasi itu akan semakin mewarnai dunia kehidupan kita. Semakin banyak orang yang hidup di dunia ini akan semakin banyak jenis kepentingan yang berbeda. Dan menambah banyaknya daftar konspirasi. Maka tak terelakkan terjadinya konspirasi jilid II ini.

Setelah pemilukada, maka datang lah pemilihan ketua PC IPNU-IPPNU Kab. Banyumas. Lagi-lagi berjubel orang-orang yang berkepentingan hadir utnuk menyaksikan dan bertaruh untuk sebuah kemenangan. Kepentingan Politik, kepentingan bisnis, kepentingan individu, dan semoga saja masih ada orang-orang yang benar-benar memperjuangkan kepentingan IPNU-IPPNU. Dansemoga saja yang memperjuangkan kepentingan IPNU-IPPNU itu menjadi pihak yang menang. Jikalau pun tidak seperti yang diharapkan, paling tidak masih ada IPNU-wan dan IPPNU-wati sejati yang terus belajar, berjuang dan bertakwa tanpa pamrih.

Berita-berita itu santer terdengar. Berita tentang calon, berita tentang pendukung, berita tentang tempat, tuan rumah dan berita tentang kekalahan pengurus yang akan digantikan. Berita itu tiggallah hanya sebagai berita yang kabur terbawa angin. Bahkan sapi putih yang mati dan membusuk pun dikubur dalam-dalam agar tak tercium baunya oleh peserta konferensi. Memungkinkan tidak adanya kontrol dari pengurus bawah ke pengurus di atasnya. Dan memungkinkan untuk terus mengulang kematian sapi putih yang kemudian membusuk.

Tapi tak pernah muncul berita idealitas dan realitas. Siapa idealnya, dan bagaimana realitasnya. Apa yang dimiliki PC IPNU-IPPNU dan apa yang dibutuhkannya. Tapi masing-masing sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ada yang mempersiapkan untuk percaturan 2014. Ada yang kong-kalikong untuk perusahaan bisnis corporate. Ada pula yang hanya untuk gengsi kedudukan sebagai ketua PC atau setingkat dengan bupati. Ada yang berkepentingan anti politik. Dan semoga masih ada yang berkentingan seperti kepentingan PC IPNU-IPPNU Kab. Banyumas. Dan semoga yang belakangan ini lah yang kemudian menang. Atau jika terlalu berlebihan dikatakan menang maka gantilah menjadi pihak yang berhasil mengonspirasikan kepentingan itu kepada khalayak PAC-PAC peserta konferensi.

Realitasnya bahwa PC IPNU-IPPNU Kab. Banyumas itu sedang sekarat. Kalau tidak yasin ya ucapan dua kalimat Syahadat lah yang tepat untuk mendampinginya. Tapi ketetapan Tuhan siapa yang tahu? Kalau hendak dituntunnya dua kalimat Syahadat barang kali besok dia akan masih bertahan dengan kesekaratannya itu. Bila yasin, masih ambigu. Biar cepat mangkat apa biar kembali berdiri seperti semula?

Jenis sekarat yang sedang dialami, yang jelas sekali kentara adalah kemampuan PAC-PAC yang tak bisa berpikir jernih. Seorang ketua PAC yang mewakili satu kecamatan harus dipilihkan apa yang akan dia makan. Tentunya dia sedang sekarat kalau tak boleh dikatakan sebagai anak-anak yang baru berusia 3 tahun. Yang kemudian setelah dipilihkan makanan akan ditinggal pergi oleh yang memilihkannya. Si anak keselek dan modar lah dia. Dan itu telah dialami IPNU Kab. Banyumas di periode ke VI. Haruskah itu terjadi kembali di periode ke VII?

Lalu sempat pula terdengar "Jangan sampai orang yang itu terpilih sebagai ketua!". Padahal jelas sekali bahwa demokrasi membolehkan siapa saja untuk dipilih sebagai ketua selama tidak melanggar PD-PRT. Ternyata GusDurian yang terjaring dalam IPNU-IPPNU kab. Banyumas itu tidak merasakan kalau junjungannya itu terluka dengan perkataan dalam tanda kutip itu. Demokrasi Dilukai, dan mereka diam saja.

Cerita Konspirasi Di Sini

Yang mau tahu apa itu konspirasi bisa dilihat di sini.


Setelah paham, baru kita menilai prilaku di sekitar kita yang merupakan bentuk konspirasi. Bisa politik, Sosial, budaya dan bisa juga makanan yang dikonspirasi. Apalagi bentuk-bentuk bisnis NARKOBA atau ganja. Tetapi yang lebih sering terjadi adalah bentuk-bentuk konspirasi kapitalisme. Yang arus utamanya berlari pada kepentingan asing.Karena memang Konspirasi bentuk-bentuk terlarang seperti NARKOBA dan lain-lain itu akan mudah terendus, atau mudah ditengarai adanya konspirasi.

Bentuk konspirasi pada umumnya adalah konsolidasi atau dialog atau rembugan. Lalu dalam konsolidasi itu kemudian muncul perjanjian-perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun ada pula bentuk konspirasi yang menguntungkan pihak pertama karena pihak ke-dua telah terpojok dan tidak bisa membuat keuntungan untuk pihaknya. Kemudian bentuk konspirasi terselubung. Merupakan intervensi pihak-pihak asing terhadap pihak-pihak dalam melalui perantara pihak ke-tiga. Pihak ke-tiga ini yang kemudian memiliki segudang kepentingan dengan pihak dalam dan pihak luar atau pihak asing.

Bentuk konspirasi yang sering terjadi adalah pada pemilukada, pilgub, pilpres, dan pil-pil yang lain. Termasuk PILIHAN Ketua PC IPNU-IPPNU Kab. Banyumas.

Ketika merefleksikan bentuk peta pemilukada Kab, Banyumas tahun 2013, terlihat sangat jelas sekali ada konspirasi nasional. Yang disadari atau tidak justru membunuh karakter tokoh-tokoh lokal yang namanya sudah melejit di tingkat senayan sana.

Hadirnya seorang gembong pemilu, baik kada maupun gub. Dia telah memenangkan calon yang konsep dan bentuk-bentuk kampanye-nya berada dibawah kendalinya. Menurut berita, itu yang saya dengar, ada kedekatan batin antara gembong pemilu itu dengan salah satu paslon. Atau memang ada sangkut pautnya antara partai yang mencalonkan Paslon itu dengan posisi Sang Gembong.

Sang Gembong menyampaikan kepada golongan kami yang melihat ketidak-sehatan percaturan kampanye kala itu. "Banyumas sedang disaing untuk persiapan 2014". Kami tercengang. Dia salah satu orang yang ikut dalam gerakan reformasi 1998. Bahkan oratornya. Tak bisa dibayangkan, menjadi seperti apa kehebatannya di tahun 2013 ini.

Tentunya Sang Gembong bukan orang yang tak berkepentingan. Tetapi untuk kepentingan 2014 mendatang, sementara belum pernah ditengarai bahwa Sang Gembong itu aktif dalam gerakan partai. Maka tak mungkin kepentingan 2014 itu untuk pribadinya. Tetapi untuk kepentingan orang-orang yang akan mewakili atas nama Banyumas. Dan tak mungkin Sang Gembong yang berdomisili entah dimana itu, tapi jelas jauh dari Banyumas, kemudian terjun langsung di sini tanpa biaya. Dan tentu aliran dana itu berasal dari orang-orang berkepentingan.

Atau jika melihat lebih luas lagi. Ternyata orang yang paling berpengaruh dan memiliki masa paling banyak itu adalah kyai-kyai NU. Dan dia sudah tahu apa yang bisa membuat orang-orang NU di Banyumas itu dipecah belah. Lalu dia membuat laporan tentang itu dan menyerahkan kepada pihak asing yang akan menghancurkan NU sebagai satu-satunya organisasi keagamaan terbesar di dunia.

Atau melemahkan peranan, pengaruh dan wibawa kyai NU itu untuk kemudian pihak-pihak asing itu mengambil alih dengan budaya yang akan menghancurkan bangsa dan negara. Karena hanya NU yang berperan besar atas tetap tegaknya NKRI.

Memang terkadang idealitas tak sesuai realitas. Tapi terus dan terus setiap saat NU itu di gerogoti. Digerogoti kehebatannya, kekuatannya, kemaqbulan do'anya, kekaderannya melalui berbagai cara. Kehebatan NU digerogoti dengan memberikan kyai-kyai itu uang jatah rakyat. Kekuatan NU digerogoti dengan melibatkan kyai-kyai itu dalam percaturan politik. Kemaqbulan do'anya digerogoti dengan adu domba. Kekaderannya digerogoti dengan budaya yang tak sesuia dengan trilogi pelajar NU. Belajar, berjuang bertaqwa.

Selasa, 02 April 2013

Teori Konspirasi


Teori persekongkolan atau teori konspirasi (dalam bahasa Inggris, conspiracy theory) adalah teori-teori yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orang-orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Banyak teori konspirasi yang mengklaim bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah telah didominasi oleh para konspirator belakang layar yang memanipulasi kejadian-kejadian politik.

Teori ini ada di seputaran gerak dunia global dan merambah hampir kesemua ranah kehidupan manusia. Dari urusan politik sampai makanan. Bagi orang yang tidak percaya selalu menganggap semua hanya olok-olok, mengada-ada, menyia-nyiakan waktu, kurang kerjaan, dan sebagainya. Bagi para penganutnya teori itu tidak serta-merta muncul mendunia tanpa ada yang menciptakan polanya.

Penganut teori ini pun terbelah dalam dua kubu utama. Kelompok pertama adalah mereka yang hanya percaya bahwa segala hal mungkin terjadi apabila ada dukungan argumentasi yang kuat, fakta akurat, data ilmiah, pendapat yang bisa diverifikasi kebenarannya, tokoh-tokoh yang nyata, sejarah yang memang ada dan bukan mitos, dan sebagainya. Kelompok ini percaya John F. Kennedysebenarnya tidak tertembak, tetapi diselamatkan oleh makhluk angkasa luar, misalnya. Kelompok kedua adalah mereka yang percaya tanpa syarat alias mereka yang menganggap apapun yang terjadi sudah dirancang sedemikian rupa, yang acapkali menghubungkan dengan mitos, legenda, supranatural, dan sebagainya. Misalnya, mereka percaya bahwa peristiwa 11 September sudah dirancang sebagaimana yang terlihat pada lipatan uang kertas 20 dolar AS; di mana apabila kita melipat uang itu sedemikian rupa akan tercipta gambar menara kembar yang terbakar.

Teori tersebut memang benar adanya,itu dapat di buktikan dari hal-hal kecil seperti : apabila kita bermain poker dengan jumlah pemain 5 orang, maka kita dapat melakukan konspirasi terhadap 3 pemain lainnya, sehingga hasil dari kekalahan 1 pemain yang merupakan calon korban konspirator dapat dibagi berempat, dan cara itu biasa digunakan oleh pejudi - pejudi terkenal.

Sabtu, 30 Maret 2013

Mengenang Satu Tahun Mbah Kirwen

Benar sekali. Manusia itu tak pernah habis untuk dikaji. Manusia tak semudah jenis tetumbuhan dan hewan-hewan. Di kelompok-kelompokkan, di kelas-kelaskan dan di pisah berdasarkan jenisnya. Tetapi manusia selalu memiliki perbedaan yang nyata.
Seperti turun gunungnya Mbah Kirwen 10 tahun yang lalu dan membuat ceritanya sendiri. Seorang janda yang bertahan entah berapa lama itu memaksaku untuk kembali menyelami masa hidupnya. Satu-satunya janda yang tetap mengadakan kumpulan RT dirumahnya meski telah tak bersuami.

Yang pernah aku lakukan untuk membantunya, membuat aku tahu jumlah lahan yang dimilikinya sebagai seorang petani. Yang kau tahu ada 2 petak lahan perkebunan di pinggiran sungai, dua petak sawah dan satu lahan perkebunan di kaki bukit. Tapi beliau tak pernah berkonsisten untuk mengenmbangkan itu.

Lalu peralihan jiwaku dari remaja menginjak dewasa memahaminya sebagai Si Tangan Bertuah. Entah dari mana beliau belajaran pijat-memijat itu dimulai. Tetapi banyak orang yang berlangganan pada Tangan bertuahnya itu.

Kepulanganku merantau sering menjadikan badan ini terasa pegal-pegal. Bahkan tak jarang kepalaku pusing, tangan kaki kesemutan dan susah buang air besar. Disaat seperti itu maka Mbah Kirwen yang menjadi dokterku. Memegang leher, tangan dan kakiku. Lalu bertanya, “tangan dan kaki kesemutan?” aku pun mengangguk. Maka beliau pun mulai memijat-pijat perutku. Katanya usus-usus dalam perutku tidak tertata dengan rapih. Akibat bekerja keras, main jungkir balik, atau lompat-lompatan. Dalam bayanganku, mungkin naik motor dengan sering “kejeglong” termasuk dalam penyebab itu. Maka aku pun berkata “iya.”

Aku pun disuruhnya mengangkat lututku, ditekuk ke atas. Sembari berbaring tengadah. 15 menit kemudian aku meminta ijin untuk buang angin. Dan baunya luar biasa. “ya. Sudah selesai. Makan sanah!” serunya. Benar saja, nafsu makanku kembali pulih. Pusing-pusing di kepalaku lenyap, suhu badan pun turun, kaki tangan tak kesemutan lagi. Dan selesai maka aku menjadi berhasrat untuk BAB.

Dari yang pertama itu, setiap kali aku merasakan hal seperti yang telah aku gambarkan itu maka aku mencari Mbah Kirwen sebagai dokternya. Tak sekali dua kali, tapi sering kali. Kecuali untuk hari sabtu.

Dimulai dari jum’at sore waktu magrib hingga sabtu tengah malam beliau libur dari menerima pasien pijat. Tak terkecuali aku. Cucuknya. Dan pada hari libur itu beliau mandi keramas. Hal itu mudah saja ditengarai. Dari rambutnya yang biasanya digelung itu kemudian menjadi diurai.
Beliau bukan tukang pijat sembarangan dengan tangan bertuahnya itu. Tetapi otak dan hatinya juga sering bekerja sama. Beliau mengingat-ingat benar cucuk-cucuknya yang lahir pada hari bertuah. Maka cucuk tersebut pasti akan lebih dimanja. Mungkin baginya, Si Cucuk yang lahir pada hari bertuah itu yang bisa menjadi besar dikemudian hari.

Sederhana sekali baginya. Kepercayaannya pada mantri jebolan Karang Wangkalitu menjadikan seorang petugas peracik obat sebuah rumah sakit sebagai dokter satu-satunya yang bisa mengobati apa yag beliau deritakan. Tetapi yang demikian tak diterima oleh banyak anak dan menantunya. Bagi mereka beliau terlalu ngirit menjadi pelit.

Ngirit dan pelitnya bukan untuk beramal atau bentuk apapun. Tetapi untuk membeli perhiasan bagi dirinya. Terlihat denganseing bergantinya cincin emas di jari-jari tangannya. Karena beliau punya cincin lebih dari jumlah jari tangannya.

Kata mereka, orang setua itu belum sedikitpun memikirkan hari-harinya di alam kubur nanti. Masih juga memikirkan dirinya sendiri dan kesenangan duniawi. Beliau masih terus menumpuk dan menumpuk harta. Dari 10 kali beliau memijat pasiennya, bisa dibelikannya sebuah cin-cin. Sementara untuk makan dipercayakan pada hasil pertaniaannya.

Saat orang-orang tua seumurannya sudah mulai mendekatkan diri dengan penguasa jagad raya tetapi tidak bagi Mbah Kirwen.banyak mbah-mbah sepuh yang aktif mengikuti kegiatan mengaji pada jum’at sore. Tetapi Mbah Kirwen belum tergugah. Sementara anak pertamanya menjadi panutan agama di desanya.

Jelang akhir, beliaupun terpaksa harus masuk rumah sakit. Beliau terus memegangi perutnya. Dan menurut dokter, usus-usus di perutnya telah banyak berlubang. Jadi itu harus dipotong atau di oprasi. Pihak keluarga yang dikepalai oleh ayahku pun menerima keputusan itu. Pada 14 Januari 2012.

Oprasi dimulai setelah isa. Kata dokter, oprasi ini termasuk oprasi ringan. Tetapi tetap harus berdoa. Jenis oprasi ringan ini ternyata belum selesai hingga lepas tengah malam.
Pihak keluarga mulai ketakutan.semakin tak tentu. Satu-satu dari mereka yang ikut menunggu semakin sering berpindah-pindah tempat ketika menunggunya. Lalu berpindah lagi, lagi dan lagi.

Dokter pun keluar. Menjelaskan bahwa di anusnya ada tumor, ganas sekali. Sehingga proses oprasi itu menjadi lama. Dan tumor itu telah berhasil diangkat. Tetapi untuk membebaskan dari tumor secara permanen harus mengikuti kemoteraphi. Mbah Kirwen pun di bawa keruang ICU. Dan dia telah sadar saat obat bius itu seharusnya masih bekerja. Itu kekuatan dari dalam diri Mbah Kirwen yang sangat luar biasa dan selalu semangat untuk hidup.
Semiggu beliau berada di rumahsakit. Dengan kemoteraphi dua kali sehari. Beliau terlihat sudah mulai segar. Hanya sekali-kali mengeluh.

Kemudian dirumah, dengan perawatan seadanya, karena tak ada dokter atau perawat sungguhan. Dengan jalan pembuangan anus ditutup. Digantikan dengan membuat lobang baru di perut sebelah kanannya. Lobang itu digantungi plastik untuk menampung kotoran yang keluar setelah proses pencernaan. Ketika duduk maka air kotoran itu mnyebar membasahi tubuhnya.

Setelah lepas dari rumah sakit itu kemudian diharuskan untuk kemoteraphi 12x2minggu. Jadi setiap dua minggu sekali Mbah Kirwen  akan di kemo sampai 12 kemo. Berarti menjadi 6 bulan sebanyak 12 kali kemo.

Pada kemoteraphinya yang ke-5 terlihat tanda-tanda kelemahan. Hal ini pernah diperdebatkan pihak keluarga saat dokter mewajibkan kemoteraphi. Karena sedikit sekali manusia yang bisa bertahan dalam menjalani teraphi dengan kemo itu. Kalau pun bertahan, selesai teraphi tersebut orang itu akan menjadi semakin ringkih.

Beliau terus dan terus mengeluh. Tidak ada lagi selera untuk makan dan minum. Bosan dengan kelemahannya. Bosan terus terbaring tanpa bisa bergerak. Bosan harus terus tergantung dengan orang lain. Bosan merepotkan anak cucuknya.

Tiga hari sebelum komoteraphinya yang ke-6 Mbah Kirwen menghembuskan nafas terkhirnya setelah semua anaknya berkumpul. Tetapi belum cucuk-cucuknya. Hari senin itu, 19 Maret 2012.

Setahun kemudian. Saat peringatan satu tahun meninggalnya, aku tak sengaja membaca sebuah hadits. “Termasuk mati syahid orang-orang yang menderita penyakit perut.” Mbah Kirwen semoga termasuk didalamnya. Penyakit beliau semoga tergolong penyakit perut. Menepis anggapan bahwa beliau bukan orang yang mempersiapkan kehidupan akhiratnya.

Jumat, 15 Maret 2013

Haruskah Pancasila???

lomba blog pusaka indonesia 2013
Panca itu lahir pada hari Jum'at Wage, 1 Juni 1945. Panca yang lahir ketika itu tak seperti Panca yang kita kenal saat ini. Panca yang kita kenal saat ini memiliki 5 ciri. Pertama, dalam hatinya selalu percaya adanya Tuhan. Kemudian pengaplikasian dari manusia bertuhan itu Panca menjadi manusia yang selalu berusaha bersikap adil dan beradab.

Lalu bersama perkembangannya sebagai warga negara maka Panca pun selalu memuja persatuan Indonesia. Dan persatuan itu menurut Panca bukan lah hal mudah untuk diwujudkan. Sehingga Panca hanya bisa berharap kepada kebijakan-kebijakan pemimpin yang tergabung dalam majelis permusyawaratan. Dan yang tak kalah penting adalah usia Panca ini. Pada tanggal 1 Juni 2013 mendatang usianya menjadi 68 tahun. Ternyata telah lebih dari setengah abad.

Sesederhana itu, tetapi Panca merupakan yang nomor satu di Indonesia. Untuk mengenangnya --hanya sebagian kecil orang mencoba menerapkan ciri Panca kedalam dirinya-- pada setiap upacara bendera, selalu dibacakan sifat-sifat Panca yang lima itu. Se-nomor-satunya Panca, sampai-sampai ada yang berkeyakinan  bahwa "Robohnya Panca berarti robohnya Indonesia."

Panca dianggap sebagai dasar dari Indonesia, atau memang dasar Indonesia. Tetapi dalam minyikapi kedatangan Panca dalam kehidupan sehari-hari masih nihil. Seperti apakah Panca yang berketuhanan itu? Apakah seperti "manusia-manusia pembela tuhan?" Tetapi rela membunuh kebebasan sesamanya untuk kepentingan Tuhan? Sementara sifat Tuhan --yang pada setiap agama memiliki kesamaan-- berupa kasih sayang di kesampingkan.

Kemudian menyikapi Panca yang selalu berusaha menjadi manusia adil beradab. Adil dan beradab bukanlah rumus matematika 1x1=2 yang sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Adil dan beradab memang tak berubah mengikuti zaman, tetapi berubah menyesuaikan keadan. Seorang nenek yang mengambil buah coklat bersalah menurut hukum, apa itu sebuah keadilan dan keberadaban??? Kemiskinan menjerat pesakitan manjadi korban lempar antar rumah sakit, apa itu keberadaban dan keadilan??? Bahkan orang-orang yang lebih hafal dengan Panca itu belum tentu mengikuti gerakan Panca.

Panca pemersatu ratusan suku bangsa Indonesia, atau bahkan ribuan. Tapi tak pernah namanya disinggung-singgung sebagai bapak pemersatu bangsa. Tetapi orang itu sudah dinamakan sebagai bapak sesuatu Indonesia. Orang-orang yang katanya memuja Panca hanya mencari kedok belaka. Agar  lambang teroris tak tertoreh di jidadnya. Agar masyarakat menganggap dirinya pantas memimpin Indonesia. Sementara tak berbuat sesuatu pun melihat orang-orang menyegel tempat penyembahan Tuhan. Melihat kericuhan sekterian dibiarkan. Satu itu, jadi tangan kiri ya tetap tanganku, jadi kaki kiri ya kakiku, rambut keriting ya rambutku. Bukan rambut keriting di poong sementara yang lurus dibiarkan memanjang sendirian.

Panca bukanlah manusia super. Bukan Waliyulloh, bukan raja, apa lagi Tuhan. Menerapkan 5 sifat kedalam dirinya, itulah panca. Menjadi sumber kebaijakan dan kebajikan. Tak pernah merasa diri paling hebat. Menyerahkan seluruhnya pada permusyawaratan yang diwakili putra-putra daerah. Bedanya, pada masa mudanya Panca, Putra-putra daerah itu memang berguru pada panca, dan mengamalkan apa yang mereka peroleh dari panca itu. Tetapi putra-putra daerah saat ini entah pernah berguru pada panca atau tidak, pernah membaca sejarahnya atau tidak, masih belum di uji. Sementara tes kenyataan memberikan nilai negatif ketika dilihat dari lekatan sifat-sifat Panca dalam diri mereka.

Harapan Panca dengan adanya putra-putra daerah itu adalah untuk meratakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Lah mau adil bagaimana? Dapil wilayah bagian timur yang mewakili aspirasinya malah orang yang berasal dari barat. Ya tidak mungkin paham apa yang dibutuhkan orang-orang bagian timur itu. Toh misalkan tepat pemilihannya sesuai daerh asal tetap tak menjamin pemerataan keadilan sosial itu. Wong yang mewakili itu cuma duduk ongkang-ongkan di Senayan, tak mau menengok daerah pemilihnya.

Panca memang sudah terlalu tua untuk mengurusi masalah-masalah kenegaraan. sudah terlalu banyak yang dipolitisi. Panca hari ini cuma bisa merangkak dikolong-kolong jembatan. Ngengsod di pinggir-pinggir jalan mengais uang recehan tetapi tetap percaya bahwa orang-orang yang duduk di Senyan sana sedang berdebat untuk menyejahterakan dirinya. Apalagi utnuk menghadapi arus globalisasi, menghadapi arus Indonesiais yang mengarah pada sati titik kebudaayaan saja sudah tak sanggup.

Sudah tak ada lagi yang bisa kita harapkan dari Panca. Kecuali kita didik dan munculkan kembali Panca-Panca muda yang energik, yang tak hanya Panca pada image-nya saja. Tetapi benar-benar Panca yang pancasilais baik berdiri sendiri, berduaan, maupun dalam kerumunan ribuan orang. Panca yang pancasilais baik ketika miskin, ekonomi pas-pasan, ekonomi berkecukupan atau pun serba wah. Panca yang pancasilais baik menjadi warga negar, manjadi ketua RT, Ketua RW, menjadi Kadus, Kades, Camat, Bupati, Gubernur, Presiden, Wakil rakya, atau aparatur pemerintahan berpangkat lainnya. Panca yang menerima kebudayaan lain yang tak mengerogoti kebudayaan sendiri. Panca yang terbuka melihat pandangan baru tetapi tak melupakan pandangan lama sebagai prinsip.

Sabtu, 09 Maret 2013

Cerita Dari "Sosial Media"


Belum lama ini dalam sebuah grup Facebook ada yang menanyakan perihal sarung. Sepertinya memang tak penting untuk ditanggai. Tapi kemudian terpikir lagi. Bahwa makna "Sarung" bagi kita itu apa sih? Maka akhirnya aku perlukan menanggapi pertanyaan itu.

Pertanyaannya seperti ini: Mengapa kaum santri/santriwati bersarung? Betul kan? Pertanyaan tak bermutu? Benarkah tak bermutu? Saya pikir itu merupakan pertanyaan seorang yang kritis. Karena, jangan-jangan ada sesuatu yang tersembunyi dari "Bersarung" ala santri itu.

Dalam pemahaman kaum santri memang bersarung itu seperti setengah wajib apa ya? Terutama ketika beribadah. Karena hampir 90% santri itu pasti bersarung ketika beribadah. Apa lagi ketika berada di lingkungan pesantren.

Refrensi tentang pertanyaan mba ini belum ada bukunya. Hanya dari pendapat yang mungkin-mungkin(Karena pernah berdiskusi dengan pertanyaan yang kurang lbih bgtu).
  1. Santri Peduli: Sarung Itu asli budaya dalam negeri, So kalangan santri yangmayoritas pendukung sunan kali jaga yang melestarikan budaya, atau meng islamkan budaya. Sarung untuk Sholat, Bathik untuk sholat, Songkok untuk solat, yang kesemuanya itu merupakan prodak budaya yang harus dilestarikan.
  2. Aman dan Nyaman: Sarung tergolong menjado beberapa farian bahan dan motif, harga terjangkau, baik memakai maupun melepasnya mudah, nyucinya gampang, cepet kering pula dengan bahan yang tak terlalu tebal. Hal itu sangat menunjang kegiatan santri yang serba extra, extra sibuk dg jadwal ngaji padat, extra male nyuci, extra miskin, extra lemes karena sering puasa dan yang oaling utama adalah nyaman sekali dipakainya ketika ngaji. Konon mengaji itu ada proses pembakaran dosa dalam tubuh, sehingga kita akan selalu merasakan gerah yang teramat sangat, sehingga oenggunaan sarung bisa mengurangi rasa gerah itu kerena bagian bawahnya bebas terbuka(Semriwing---enak adem).
  3. Kur Teyenge: Beberapa hari yang lalu Kyai yang lebih hobi brcelana ketika tidak sedang dalam keadaan mengaji atau berhadapan dengan santriya mengataknbahwa: pekerjaan kyai adalah duduk mengaji, duduk dzikir, duduk nonton tivi, duduk mulang, dan dudukduduk yang lainnya, sehingga akan memicu membuncitnya perut. dan ketika perut mambuncit ini bisa setiap bulan kyai itu ganti ukuran celana karena pinggangnya sudah tidak muat, maka alterfnatif yang paling enak dan mudah ya peke sarung.
kye tah anu jere dewek, degugu ya kena ora ya olih.

CERITA FILOSOFI GAWANG


Dalam persepak-bolaan kita mengenal istilah gawang. Yang merupakan satu simbol kemenangan sekaligus simbol kekalahan. Dalam permainan sepak bola ada 2 tim yang mewakili segala sesuatu dalam kehidupan manusia yang selalu memiliki pasangan. Lelaki- perempuan, Kalah-menang, Besar-kecil, baik-uruk dan lain sebagainya. Masing- masing tim itu memilki gawang yang harus di jaga dan sekaligus memiliki gawang yang harus dijebol.

Gawang yang harus dijebol itu lah yang kemudian dalam kehidupan manusia dapat kita analogikan sebagai tujuan, target, keinginan, cita-cita  atau apa pun namanya yang sepadan dengan apa yang kita harapkan dari kehidupan yang singkat ini. Dalam usahanya, tim yang ingin menjebol gawang, memiliki berbagai trik dan tak-tik serta setrategi. Tetapi kemudian menjadi sangat tidak menarik ketika trik, tak-tik, dan setrategi itu ternyata tidak bisa menembus tujuan itu. Gawang. Dan lalu tanpa menggunakan trik, tak-tik maupun setrategi tenyata mampu menmbus tujuan itu, maka itu lah yang menang. Jadi menjadi jelas lah bahwa yang lebih penting, yang lebih menarik, yang lebih nikmat untuk ditonton itu adalah tujuan.

Kemudian gawang yang ada dibelakang kita adalah gawang yang harus senantiasa kita jaga agar tidak tertembus oleh tusukan-tusukan pemain lawan. Dalam kehidupan nyata tentu kita memiliki saingan yang setiap saat siap untuk menggulingkan apa yang telah kita bangun. Kehancuran gawang yang seharusnya kita jaga itu ternyata jauh lebih buruk ketimbang keberhasilan kita menembus gawang lain sebanyak seratus kali. Betapa pun kita telah memasukkan bola kegawang lawan sebanyak seratus kali tapi ternyata kita kalah dalam pertandingan karena gawang kita kemasukan seratus satu bola, itu artinya kita tetap kalah.

Jadi apa sebenarnya gawang yang kita jaga itu dalam kehidupan nyata? Semantara ini mugnkin bisa saja kita analogikan sebagai prinsip hidup. Yang bersandar pada hati nurani. Jadi bukan hanya mencapai tujuan saja tetapi kita juga harus mempertimbangkan apa yang hati nurani katakan. Dan memang tujuan bisa saja menjadi tidak penting ketika bertentangan dengan prinsip hidup atau hati nurani kita.

Kita mencapai tujuan tapi mengabaikan hati nurani maka tak ubahnya kita dengan para perampok. Dimanapun orang tak akan ada yang membenarkan perampokan, atau mengambil barang "harta atau dunia" milik orang lain secara paksa. Sementara tujuan dari Si Perampok adalah mencari barang "harta atau dunia" untuk kepentingan pribadi atau pun golongan. Memang setiap manusia hidup di dunia pasti membutuhkan "harta atau dunia", tetapi dalam mencapai tujuan itu ternyata mengesampingkan hati nurani dan prinsip hidup, maka itu artinya kita tetap kalah dalam pertandingan sepak bola. Karena gawng kita kemasukan bola lebih banyak ketimbang kita memasukan bola ke gawang lawan.

Sabtu, 09 Februari 2013

FKGMNU

Forum Komunitas Galau Muda Nahdlatul Ulama


NU, organisasi super big itu tak mungkin lepas dari yang namanya politik. Dan memang benar, kita hidup perlu berpolitik. Jadi NU boleh berpolitik? Boleh yah?

Masih ambigu memahami NU. Menurut sejarah perjalanan NU dari tahun 1926-1955 sebagai organisasi politik kebangsaan dan kerakyatan, bukan politik kekuasaan. Kemudian pada tahun 1955-1984 NU berjuang dengan politik kekuasaan. Dan sejak tahun 1984 hingga sekarang NU kembali pada khittah 1926, organisasi yang bergerak dibidang kebangsaan dan kerakyatan. Maka seharusnya NU tidak turut campu dalam hal pemilihan kepala pemerintahan melalui politik.

Tetapi, sebagai Ketua Ranting NU, ketika melihat fenomena Pilkades tidak mau berdiam diri. Lalu mengatas-namakan kemaslahatan warga nahdliyin, kemudian menetapkan dan menghimbau kepada warganya untuk condong pada salah satu calon. Apakah ini tindakan yang benar? Masih ambigu. Demi maslahat ini benar, tetapi menurut peraturan yang ada sikap seperti itu bukanlah sikap NU.

Tak lain pula ketika PILKADA, PILGUB bahkan ketika PILPRES. Sedang yang menentukan harus condong ke arah mana adalah pemegang tampuk yang sejajar dengan pemerintahan itu. Ketika Pilkada maka PC NU yang menyikapi. begitu seterusnya. Baik kah NU bersikap demikian? Atas-nama kemaslahatan warga Nahdliyin. Atau memang harus?

Orang NU memilih kader NU. Haruskah? Untuk PBNU harus kader NU, selebihnya tanyakan PBNU. Bila ternyata ditingkat PW NU atau PC NU memilih kader yang bukan NU maka tugas PBNU untuk -minimal membekukan- membubarkan organisasi yang berada di bawahnya itu atau mungkin dibiarkan saja. Tapi untuk kepala pemerintah yang memimpin banyak warga, tentunya yang homogen pula, tak harus NU. Jika dari kalangan NU memang ada yang tak sekedar siap, tapi juga mumpuni, memang perlu didukung. Tapi ketika tak satu pun dari kader NU yang mumpuni untuk memegang tampuk pemerintahan, maka bolehlah warga NU tapi bukan kader. Dan sangat boleh pula memilih yang sama sekali bukan NU, ketika mumpuni dalam memegang tampuk pemerintahan.

Ini cerita nyata. Suatu ketika NU di tingkat ranting tidak memiliki kader yang mumpuni untuk didukung dalam Pilkades. Sementara ada 4 calon resmi, dan salah satunya merupakan kader organisasi tandingan NU(de angen-angen dewek, toli ketemu.). Ceritanya ketua ranting NU desa tersebut hendak membuat MoU dengan salah satu dari 3 calon, tentu bukan calon yang dari organisasi tandingan. Dari 3 calon itu masing-masing menawarkan apa yang mereka bisa tawarkan untuk NU. Ketua ranting NU itu masih mempertimbangkan dengan anggota ranting NU lainnya.

Belum sempat mengambil keputusan yang pasti lalu datanglah segepok uang untuk Si ketua ranting NU. Datangnya dari calon yang tak diajak bernegosiasi. Bahkan yang datang pun tim suksesnya. Lalu serta merta keputusan  dijatuhkan. Memang keputusannya bukan condong pada Si pemberi uang itu. Tapi salah satu dari 3 calon yang melakukan MoU. Intinya yang penting bukan dari golongan yang berbeda.

Suara warga Nahdliyin yang loyal dipecah menjadi 3 bagian. Maka Si Pemberi uang itu memang menjadi Kades, tapi bukan dari suara warga Nahdliyin. Itu contoh dari kenyataan. Marilah mengendarai NU benar-benar untuk kepentingan umat itu sendiri. Apa yang umat butuhkan? Bukan sekedar Kades, bukan sekedar Bupati, bukan sekedar Gubernur atau Presiden.

Sementara aku butuh kebenaran sejati. Lalu apa kebutuhan Anda sebagai Warga NU???

Kamis, 31 Januari 2013

Cerita Suluk Syafa'at

Dahulu sekali. Ketika penulis blog ini masih sangat kecil. Masih teringat lamat-lamat dalam bayangannya ketika ikut serta dalam acara pembacaan maulid al-barzanji di masjid terdekat. Lamat-lamat mengingat ketika di gendong oleh Mba Suminah. Anaknya Pak Mandi, tetangga sebelah. Sementara dua kakaknya yang juga tak kalah kecilnya tak mungkin menggendongnya. belum cukup kuat untuk melakukan itu.

Kerap kali, Salis (penulis blog), tertidur sebelum acara itu selesai. Dan kerap kali pula ngotot untuk tetap ikut acara tersebut meskipun tak pernah sampai usai mengikutinya. Sisanya di ikutinya sambil senggar-senggor, ngorok. Tapi lagu faforitnya masih "Gelang sipatu gelang, gelang si rama-rama" dan liriknya itu diganti dengan "Marhaban ya nurol 'aini, marhaban jaddal husaini".

Suatu kali generasi itu pasti berganti. Setelah generasi Mba Suminah itu menguap, maka tinggallah generasi berikutnya, para kakaknya salis. Terutama yang perempuan, Wiwit dan bala kurawanya. Generasi ke-dua ini berlangsung cukup lama dalam ingatan Salis. Karena tak lagi lamat-lamat dai mengingat. Tapi benar-benar jelas ingatan itu. Dari mulai gegap gempitanya hingga surut kering kerontang tak terdengar lagi suara Sholawatan itu.

Ketika Usia Salis menginjak belasan tahun, Pak Marno-Selamet, kembali menggemakan suara itu melalui anak-anak yang mengaji ba'da maghrib kepadanya. Sampai pada tahap ini Salis masih gagu untuk bersholawat. Masih jadi bawang-konthong alisa ela-elu. Padahal semua teman sebayanya telah sigap menyanyikannya di depan mic. Bahkan ketika membaca 'atiril itu teman-teman salis telah teramat terampil

Menginjak usia SMA, salis mengembara ke kota untuk menimba ilmu. Termasuk ilmu "perjanjenan". Selama tiga tahun, setiap malam jum'at salis dan teman-temannya membaca maulid al-barzanji itu. Dan setiap ba'da isa pada ada wiridan Sholawatan. Jadilah salis itu keranjingan sholawatan.

Liburan semester Salis mudik ke kampung halaman. Membawa ilmu genjringan juga kulak lagu-lagu sholawatan yang belumpernah diperdengarkan di muncu khususnya. Mulai dari situlah gema-gema sholawat mulai tumbuh setelah menguap ketika generasi Salis mengembara.

Jan, dawa temen yah. Singkatnya, Salis pun merintis dan terus merintis yang juga telah mencapai pada tiga generasi.

  1. Generasi pertama adalah generasi yang masih melibatkan banyak pihak. Dari yang muda sampai yang tua, semua ambil bagian. Orang- orang seperti Om Dino(Tukang Kayu), Om Amad, Karsinah yang satu generasi dengan Wiwit dan masih banyak pihak lainnya. Termasuk juga Pak Marno-Selamet. Generasi ini menamai grup sholawatnya dengan "SALBUN MUSOJADAH", asal bunyi moga-moga jadi ibadah.
  2. Generasi ke-dua. Sudah lebih homogen anggotanya. rata-rata usia remaja yang baru saja mengenal genjringan. jadi lagi semangat-semangatnya. Orang-orang seperi Mas Uun(Blenthung), Mas Arif(Cakit), Mas Omang(Gomeng), Mas Ngalim(Gonteng) dan grup vocalnya masih itu-itu juga. Fitri(Gopit), Karsinah, Wiwit pula masih hidup pada generasi ini. tak jelas apa nama grupnya. Mungkin masih menggunakan nama generasi sebelumnya.
  3. Generasi ke-tiga. Generasi yang hanya mengandalkan para lelaki. Tak ada tambahan nama dari generasi ke-dua, hanya saja rumus tabokannya yang berbeda. Dan sholawatannya sudah nglayab sampai di Karangduren. Menganut paham "Apalah arti sebuah nama".
  4. Generasi ke-empat. terjadi perubahan total dari semua generasi. Orang-orang seperti Khafid(Kathung), Tio(Mawok), Dan Jefri (anake Toliyah)mulai terlibat. Dengan grup vocalnya ada Windi(Pungil), Narsiti(Manohara, jere), Puput, Nita(Bonit), Riri(Jebir). Grup ini menamai diri dengan Dawamush-sholawat (Melanggengkan solawat).
  5. Generasi ke-lima sampai sebelum sekarang. Merupakan turunan dari grup sebelumnya. Masih tertinggal Jefri dan bertambah Yogi(Mikoh, anake Nining), Feri(anake Kiro), Preji(anake Siwan). dan dari vocalnya berganti-ganti. berawal dari generasi Windi(Pungil), lalu generasi Sofi(anake Kirah), Unzila(Putune Kemi), dan mbuh sapa bae, kelalen. Nama grupnya masih Dawamush-sholawat.
  6. Generasi yang sedang berdikari. Belum ada perubahan personil, kecuali grup vokalnya. pada grup penayaga ada banyak tambahan dari orang-orang larangan kulon seperti Aji, Adi, Andre, Abi, dan lain-lain. Sementara dipihak vokalnya berubah total. Percampuran banyak generasi, Laeny yang entah dari mana datangnya, Gopit dari generasi ke-dua, Manohara dari generasi ke-empat dan masih banyak yang lainnya seperti, Yeni(Anake Sukam), Atik(adine Anggit). Menamai diri dengan "Suluk Syafa'at"

Cerita Dari Kampung Suhuf

Tulisan. Apa pun betuk tulisan itu, memiliki maksud tersendiri. Setiap penulis memaparkan maksud tulisannya itu. Bahkan tulisan plagiasi pun ada pesan yang terkadung disana. Bisa bentuk tujuan jangka pendek, seperti untuk belajar. Atau jangka panjang untuk mengenang.

Tetapi masa sekarang, kebanyakan komunitas kepenulisan, mengorientasikan tulisan itu pada terbit atau tidaknya. Yang secara tidak langsung mengutamakan materi ketimbang seberapa besar manfaat tulisannya itu. Yang pada ujungnya akan memunculkan tulisan-tulisan yang bukan gambaran diri. Atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan kepribadian penulisnya.

Gamblangnya saja. Setiap penerbit memiliki kepribadian yang diusungnya melalui buku yang mereka terbitkan. Begitu juga surat kabar, majalah, atau pun buletin. Dan ketika kita menginginkan tulisan kita dimuat di buletin A, misalnya, kita harus menyesuaikan tulisan kita dengan apa yang buletin A suarakan.

Mudahnya. Misalkan saya adalah pemimpin penertbitan A, dan saya suka bentuk-bentuk tulisan Om Pramoedya Ananta Toer. Maka bentuk-bentuk tulisan itu lah yang mendapat sambutan hangant untuk diterbitkan. Sementara itu Si Penulis belum tentu benar-benar sosialis seperti Om Pram.

Kemudian lagi. Sebuah kata-kata yang terlalu dalam berhubungan dengan ke-pe-nu-li-san. "Setetes Tinta Dapat Menggerakkan Jutaan Manusia Untuk Berpikir". Itu baru tintanya tok, bagaimana dengan tulisannya? Maka sudah seyogyanya sebagai manusia yang dikaruniai pikiran akan senang berpikir. dan untuk mempermudah proses berpikir itulah maka perlu adanya tulisan.

Sebuah derama kehidupan jika tak ditulis tak terlihat konflik dan klimaksnya. Sejarah ketika tercecer dari mulut ke mulut akan tinggal cerita isapan jempol. Peradaban manusia jika tak tertulis sama juga dengan sekumpulan monyet-monyet dihutan kalimantan sana.

Jadi bentuklah ceritamu sendiri melalui tulisan diary mu. Bentuklah sejarahmu melalui ceritamu sendiri. Dan satukan peradabanmu utnutk generasi setelah kita. Abadikan derema kehidupan melalui tulisan. Bukan melalui penerbitan.