Laman

Rabu, 24 Februari 2016

Desa percontohan "Majasto"

Saya pernah mengimajinasikan bahwa suatu saat saya akan membuat identitas baru untuk dusunku. Itu terjadi sudah lama sekali. Kira-kira tahun 2009-an. Waktu itu, saya salah seorang yang bersedia menetap dengan bekal ijazah SMA dan hobi baca serta mancing.
Sebelumnya saya pernah merantau ke kota untuk mengadu nasib. Salah satu pemicunya adalah maqolah Imam Syafi’i ‘merantaulah’ dan bla bla bla... selain alasan itu juga kebanyakan pemuda di kampung itu akan merantau setelah lulus sekolah. Perantauan itu mengajakku untuk berfikir bagaimana caranya untuk kembali dan menetap dikampung dengan penghasilan tetap. Sesekali memikirkan, bagaimana caranya agar semua penduduk sejahtera tanpa harus mengandalkan sawah tadah hujan atau hijrah ke kota. Maka keluarlah imajinasi untuk membuat identitas dusun Muncu yang mampu menyedot pengunjung tanpa henti dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pikiran saya yang waktu itu masih teramat dangkal berimaji hendak mengeksploitasi perbukitan yang tak jauh dari pemukman di dusun tersebut.  Bagamana jika kawasan perbukitan milik pemerintah itu menjadi tempat wisata? Tapi wisata apa? Dan bagaimana cara mengelolanya? Yang pada kenyataannya perbukitan itu milik Pemda kecamatan Jatilawang, bukan milik kecamatan purwojati. Dan tentu yang lebih penting adalah bagaimana agar kelestarian hutan serta satwanya tetap terjaga.
Kecamatan Purwojati adalah salah satu kecamatan di kabupaten Banyumas yang tidak setiap orang Banyumas mengetahui. Bahkan suatu ketika orang rawalo menanyakan Purwojati itu mana sih? Padahal secara administrasi, wilayah kedua kecamatan tersebut saling berbagi batas.
Belakangan mulai muncul tema-tema lokalitas wisata seperti desa wisata di Kedung Banteng. Yang mengelola perbukitan di kaki gunung Selamet. Kalau terlalu kasar bila disebut eksploitasi. Dan teman saya dari Kali Tapen pernah juga mewacanakan itu. Bahkan Kaliwangi sendiri telah memiliki. Ya, Gunung Laos. Sudah banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Yang paling sering dari intstansi pendidikan. Terutama pramuka-nya. Tapi bagi saya itu belum cukup untuk menyejahterakan masyarakat sekitar. Apalagi untuk wilayah Purwojati. Terutama karena lokasi tersebut merupakan properti pribadi. Bukan untuk umum. Meskipun diperbolehkan mengunakan dengan ijin dari pemilik tentunya. Dan setahu saya belum ada lembaga yang mengelola. Semuanya serba pribadi.
Kemudian sekitar tahun 2012-an teman saya mencoba membuat berbagai macam alat rumah tangga dari limbah tali plastik menjadi cething, cangkingan dengan berbagai ukuran. Saya kembali berfikir tentang pengembangannya dan menjadikannya sebagai komoditi khas. Namun dalam sekali renungan tumpas sudah. Ketika saya percaya bahwa ada 5 bidang usaha yang tidak akan mati jika kamu geluti. Pendidikan, kesehatan, sandang, pangan dan jasa. Sedang alat rumah tangga itu bisa mati kapan saja. Apalagi ketika melihat berbagai potensi dari berbagai bahan yang berbeda untuk membuat benda yang berfungsi sama. Seperti tas belanja dari bungkus sashet kopi sebagai pesangnya lebih banyak diminati. Dan tentunya jika tidak cepat berinovasi tentu akan tertinggal dan gagal.
Dan pada waktu yang sama saya juga telah membuat usaha mandiri sebagai awal untuk mengajak masyarakat luas agar tidak tergantung pada dengan hasil panen atau merantau dengan pekerjaan yang tidak pasti. Saya mencoba mengembangkan jamur tiram. Dan semua itu kandas karena kebutuhan tenaga yang lumayan banyak dan tidak bisa dilakukan seorang diri. Dan kegagalannya bermula ketika dua teman saya yang saya ajak untuk pengembangan tersebut menyerah ditengah jalan lalu pergi merantau.
Masih dalam proses pencarian itu saya kembali merantau id tahun 2013. Dan kembali ke kampung halaman pada tahun 2015 hanya untuk menikah dan kembali merantau dengan jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Dulu saya di Jakarta sekarang saya di Sukoharjo.
Sudah hampir satu tahun saya berada di Sukoharjo. Yang menurut saya tidak jauh berbeda dengan banyumas disektor ekonominya. Malah disini jauh lebih maju dengan banyaknya pabrik-pabrik. Terutama pabrik disektor tekstil. Saya pun bekerja disalah satu pabrik tekstil tersebut. Dan banyak teman-teman pabrik yang sering kali mengucapkan nama tempat “Majasto” setiap kali mereka membahas membeli pakaian. Dan akhirnya pada suatu ketika, kurang lebih 2 minggu sebelum tulisan ini dibuat, saya berkesempatan berkunjung ke “Majasto”.
Dalam benak saya sejak semuala mendengar berbagai cerita teman, kemudian saya menggambarkan bahwa Majasto mirip-miriplah seperti pasar Tanah abang di Jakarta. Sekian banyak lantai dan blok hanya khusus memajang pakaian. Dari jenis yang paling mahal hingga yang 10.000 dapat tiga potong.
Saya berkendara dengan sepeda motor untuk mencapai “Majasto”. Yang kemudian saya ketahui bahwa itu merupakan nama desa. Karena saya disambut dengan gapura bertuliskan, “selamat datang di desa percontohan Majasto”. Kemudian imaji saya menjadi semakin kuat bahwa tempat yang akan saya kunjungi adalah pasar pakaian-pakaian di desa Majasto.
Tak berselang lama Si penunjuk jalan memasuki parkiran sebuah butik. Saya katakan butik karena design bangunannya yang lebih mirip dengan rumah orang-orang kota dengan jendela kaca dimana-mana. Lalu kami sedikit berbincang. Iya, butik itu yang biasa dikunjungi Si penunjuk jalan ketika berburu pakaian.
Dalam hatiku meringkuk agak kecewa. Ini bukan Tanah abang-nya jawa seperti yang saya bayangkan. Tapi sekedar butik. Benar-benar hanya memanfaatkan bangunan rumah dua lantai saja. Tak lebih. Setelah istri saya puas memilih dan menemuakan apa yang dia cari, kami, saya, istri dan penunjuk jalan kembali menyusuri jalanan di desa itu. Hampir setiap rumah dipinggir jalan itu adalah butik. Hampir setiap rrumah memajang barang dagangan berupa pakaian dan hampir setiap rumah ada sepeda motor yang diparkir disana. Minimal 10 sepeda motor.
Artinya, Majasto adalah nama sebuah desa percontohan. Desa yang mengembangkan sekill penduduk untuk merangkai pakaian dan menjualnya dirumah sendiri. Dan cita-cita saya membuat identitas Muncu seperti Majasto bukanlah hal yang mustahil. Apalagi didukung dengan adanya SMK di Purwojati yang membuka jurusan tata busana. Menjadi Tanah abang-nya Banyumas, Tanah abang-nya republik ngapak. Salam wira usaha salan desa percontohan.
Sukoharjo, 20/02

2016

Rabu, 17 Februari 2016

AKU MENOLAK

Belakangan ini muncul dan berkembang banyak sekali barisan sakit hati. Itu penilaian saya. Sebagian lagi menilai sebagai pengadu domba. Berarti kamu dombanya dong. Dilain bagian menilai bahwa itu adalah jalan yang lurus dan bagian terakhir menilai “kita harus ikut membesarkan gerakan itu”. Mbah-mu sih.
Dimata saya, sempalan atau sparatis atau pecahan dari bineka yang banyak sekali di Indonesia itu lumrah kan? Gamblangnya, di Jawa yang satu pulau saja sudah tak terbilang banyaknya perbedaan bahasa dan budaya. Mulai dari Anyer sampai Panarukan.
Tapi kemudian dengan kemerdekaan Indonesia, air dan minyak tetap tidak bisa bersatu. Maka jangan dipersatukan kecuali memang resepnya begitu. Misalnya; dalam semangkuk mie ayam tentu ada bagian minyak dan air. Dan kurang salah satu dari dua itu jelas tidak enak. Kelebihan salah satu pun kurang nikmat. Itulah yang seharusnya disadari dari setiap perbedaan. Pasti ada komposisi yang menjadikan semua perbedaan itu bersatu tapi tetap enak dinikmati.
Bahwa yang mengaku agama rahmatan lil ‘alamin justeru semakin hari semakin gaduh. Ditempat asal lahir dan berkembangnya agama ini sudah sejak lama terjadi perang yang tentu entah sampai kapan akan berakhir. Dan kini negara dengan penduduk muslim terbesar didunia sedang diguncangkan dengan berbagai isu anarkisme seperti teroris ala Abu Bakar Ba’asyir, atau premanisme ala Habib Riziq atau mungkin NUGL yang ngaku-ngaku jadi orang NU.
Lah sore tadi saya baca berita yang bersumber dari media on line bahwa akan ada deklarasi dan pelantikan pengurus cabang FPI di kab. Banyumas. Wuih, itu kabupaten kelahiranku. Masa iya saya tak ikut komentar?
Begini!!! Dalam ingatan saya, FPI yang kalian sebut sebagai laskar penthung itu adalah kelompok islam yang benar-benar anti maksiat. Atau mungkin pura-pura anti maksiat untuk sebuah jargon, sebuah image, sebuah pangkat bahwa ‘kami laskar islam anti maksiat’. Lalu apa FPI menurut kalian? Ahli kekerasan kah? Anti toleran kah? Atau --saya kasih pilihan yang baru—mereka adalah barisan orang-orang yang benar-benar benci kemungkaran dan sudah tak sabar menunggu usaha dakwah para kyai dan lulusan pesantren NU. Yang nyatanya, tahun demi tahun tak semakin surut malah justeru semakin parah.
Kebesaran NU dibanding FPI atau NUGL saya yakin bukan apa-apa. Jika NU itu adalah organisasi yang sehat. Sekarang aku bertanya pada kalian yang masih aktif di dalam NU, apakan NU organisasi yang sehat? Sekarang ini bagiku cukup tahu sejarah dan perkembangannya saja.
Kemudian seorang teman yang kecamatannya akan menjadi tuan rumah bagi pemimpin pusat FPI sekaligus tempat deklarasi dan pelantikan pengurus cabang Kab. Banyumas itu meminta saya menulis sesuatu. Maka pendapat saya demikian.
Pemerintah pusat saja tak bereaksi apa pun atas aksi yang dilakukan FPI, apa daya dengan pengurus daerah?
Sementara jika IPNI-IPPNU cilongok menerima kehadiaran organisasi baru itu di Banyumas dengan syarat mengedepankan dialog dibanding tindak anarkis, mungkinkah? Kalau latar belakang pengajuan anggota FPI di Banyumas untuk dideklarasikan karena lelednya agama NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar, menanggulangi, mengurangi, malah menambah daftar kemaksiatan.
Tentu sebuah kontrofersi jika IPNU-IPPNU mendukung kehadiaran FPI.  Tapi sebuah kontrofersi yang terburu-buru dan amat konyol. Karena menurut saya FPI tidak akan memenuhi tuntutan IPNU-IPPNU. Wong Gubernur, Walikota, Bupati saja mereka lawan, apa lagi PAC IPNU-IPPNU.
Saya pribadi menolak sikap siapapun yang berbuat anarkis. Bahkan jika itu dibawah kyai NU sekali pun. “Karena tidak ada paksaan dalam beragama”. Yang artinya tidak ada paksaan untuk berhenti bermaksiat. Kecuali mereka yang bertanggung jawab terhadap individu yang melakukan maksiat. Seperti suami memaksa istri, ayah terhadap anaknya, guru terhadap murid atau wali terhadap muwali. Jadi no anarkisme, no paksa-paksa, no premanisme berkedo nahi mungkar.

Sukoharjo, 17 Februari 2016