Saya pernah mengimajinasikan bahwa suatu saat saya akan
membuat identitas baru untuk dusunku. Itu terjadi sudah lama sekali. Kira-kira
tahun 2009-an. Waktu itu, saya salah seorang yang bersedia menetap dengan bekal
ijazah SMA dan hobi baca serta mancing.
Sebelumnya saya pernah merantau ke kota untuk mengadu nasib.
Salah satu pemicunya adalah maqolah Imam Syafi’i ‘merantaulah’ dan bla bla
bla... selain alasan itu juga kebanyakan pemuda di kampung itu akan merantau
setelah lulus sekolah. Perantauan itu mengajakku untuk berfikir bagaimana
caranya untuk kembali dan menetap dikampung dengan penghasilan tetap. Sesekali memikirkan,
bagaimana caranya agar semua penduduk sejahtera tanpa harus mengandalkan sawah
tadah hujan atau hijrah ke kota. Maka keluarlah imajinasi untuk membuat
identitas dusun Muncu yang mampu menyedot pengunjung tanpa henti dan
meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pikiran saya yang waktu itu masih teramat dangkal berimaji
hendak mengeksploitasi perbukitan yang tak jauh dari pemukman di dusun
tersebut. Bagamana jika kawasan
perbukitan milik pemerintah itu menjadi tempat wisata? Tapi wisata apa? Dan bagaimana
cara mengelolanya? Yang pada kenyataannya perbukitan itu milik Pemda kecamatan
Jatilawang, bukan milik kecamatan purwojati. Dan tentu yang lebih penting
adalah bagaimana agar kelestarian hutan serta satwanya tetap terjaga.
Kecamatan Purwojati adalah salah satu kecamatan di kabupaten
Banyumas yang tidak setiap orang Banyumas mengetahui. Bahkan suatu ketika orang
rawalo menanyakan Purwojati itu mana sih? Padahal secara administrasi, wilayah
kedua kecamatan tersebut saling berbagi batas.
Belakangan mulai muncul tema-tema lokalitas wisata seperti
desa wisata di Kedung Banteng. Yang mengelola perbukitan di kaki gunung Selamet.
Kalau terlalu kasar bila disebut eksploitasi. Dan teman saya dari Kali Tapen
pernah juga mewacanakan itu. Bahkan Kaliwangi sendiri telah memiliki. Ya,
Gunung Laos. Sudah banyak orang yang mengunjungi tempat itu. Yang paling sering
dari intstansi pendidikan. Terutama pramuka-nya. Tapi bagi saya itu belum cukup
untuk menyejahterakan masyarakat sekitar. Apalagi untuk wilayah Purwojati. Terutama
karena lokasi tersebut merupakan properti pribadi. Bukan untuk umum. Meskipun diperbolehkan
mengunakan dengan ijin dari pemilik tentunya. Dan setahu saya belum ada lembaga
yang mengelola. Semuanya serba pribadi.
Kemudian sekitar tahun 2012-an teman saya mencoba membuat
berbagai macam alat rumah tangga dari limbah tali plastik menjadi cething,
cangkingan dengan berbagai ukuran. Saya kembali berfikir tentang
pengembangannya dan menjadikannya sebagai komoditi khas. Namun dalam sekali
renungan tumpas sudah. Ketika saya percaya bahwa ada 5 bidang usaha yang tidak
akan mati jika kamu geluti. Pendidikan, kesehatan, sandang, pangan dan jasa. Sedang
alat rumah tangga itu bisa mati kapan saja. Apalagi ketika melihat berbagai
potensi dari berbagai bahan yang berbeda untuk membuat benda yang berfungsi
sama. Seperti tas belanja dari bungkus sashet kopi sebagai pesangnya lebih
banyak diminati. Dan tentunya jika tidak cepat berinovasi tentu akan tertinggal
dan gagal.
Dan pada waktu yang sama saya juga telah membuat usaha
mandiri sebagai awal untuk mengajak masyarakat luas agar tidak tergantung pada
dengan hasil panen atau merantau dengan pekerjaan yang tidak pasti. Saya
mencoba mengembangkan jamur tiram. Dan semua itu kandas karena kebutuhan tenaga
yang lumayan banyak dan tidak bisa dilakukan seorang diri. Dan kegagalannya
bermula ketika dua teman saya yang saya ajak untuk pengembangan tersebut
menyerah ditengah jalan lalu pergi merantau.
Masih dalam proses pencarian itu saya kembali merantau id
tahun 2013. Dan kembali ke kampung halaman pada tahun 2015 hanya untuk menikah
dan kembali merantau dengan jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Dulu saya
di Jakarta sekarang saya di Sukoharjo.
Sudah hampir satu tahun saya berada di Sukoharjo. Yang menurut
saya tidak jauh berbeda dengan banyumas disektor ekonominya. Malah disini jauh
lebih maju dengan banyaknya pabrik-pabrik. Terutama pabrik disektor tekstil. Saya
pun bekerja disalah satu pabrik tekstil tersebut. Dan banyak teman-teman pabrik
yang sering kali mengucapkan nama tempat “Majasto” setiap kali mereka membahas
membeli pakaian. Dan akhirnya pada suatu ketika, kurang lebih 2 minggu sebelum
tulisan ini dibuat, saya berkesempatan berkunjung ke “Majasto”.
Dalam benak saya sejak semuala mendengar berbagai cerita
teman, kemudian saya menggambarkan bahwa Majasto mirip-miriplah seperti pasar Tanah
abang di Jakarta. Sekian banyak lantai dan blok hanya khusus memajang pakaian. Dari
jenis yang paling mahal hingga yang 10.000 dapat tiga potong.
Saya berkendara dengan sepeda motor untuk mencapai “Majasto”.
Yang kemudian saya ketahui bahwa itu merupakan nama desa. Karena saya disambut
dengan gapura bertuliskan, “selamat datang di desa percontohan Majasto”. Kemudian
imaji saya menjadi semakin kuat bahwa tempat yang akan saya kunjungi adalah
pasar pakaian-pakaian di desa Majasto.
Tak berselang lama Si penunjuk jalan memasuki parkiran
sebuah butik. Saya katakan butik karena design bangunannya yang lebih mirip
dengan rumah orang-orang kota dengan jendela kaca dimana-mana. Lalu kami
sedikit berbincang. Iya, butik itu yang biasa dikunjungi Si penunjuk jalan ketika
berburu pakaian.
Dalam hatiku meringkuk agak kecewa. Ini bukan Tanah
abang-nya jawa seperti yang saya bayangkan. Tapi sekedar butik. Benar-benar
hanya memanfaatkan bangunan rumah dua lantai saja. Tak lebih. Setelah istri
saya puas memilih dan menemuakan apa yang dia cari, kami, saya, istri dan
penunjuk jalan kembali menyusuri jalanan di desa itu. Hampir setiap rumah
dipinggir jalan itu adalah butik. Hampir setiap rrumah memajang barang dagangan
berupa pakaian dan hampir setiap rumah ada sepeda motor yang diparkir disana. Minimal
10 sepeda motor.
Artinya, Majasto adalah nama sebuah desa percontohan. Desa yang
mengembangkan sekill penduduk untuk merangkai pakaian dan menjualnya dirumah
sendiri. Dan cita-cita saya membuat identitas Muncu seperti Majasto bukanlah
hal yang mustahil. Apalagi didukung dengan adanya SMK di Purwojati yang membuka
jurusan tata busana. Menjadi Tanah abang-nya Banyumas, Tanah abang-nya republik
ngapak. Salam wira usaha salan desa percontohan.
Sukoharjo, 20/02
2016