Laman

Minggu, 17 Agustus 2014

Hampir Sekali, Atau Jangan-Jangan Memang Sudah Menjangkiti.


Kisah aschabul kahfie, yang membela kebenaran Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam tercengang dengan sebuah agama baru yang muncul dari kebenaran Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam. Kebenaran itu adalah Nabi Isa 'alaihis-sholatu was-salam sebagai nabi dan rosul. Tetapi 300 tahun setelah masa aschabul kahfie, seorang nabi dipuja menjadi Tuhan.
Dalam kalangan islam salaf (bukan salafi ya, beda loh), orang-orang mengagungkan begitu rupa terhadap Nabi Muhammad sholaLLOHU 'alaihi wabaroka was-salam. Tidak salah. Memang begitu terlalu Agung jika hanya dipuja (sholawat).
Dan sekian ratus tahun kemudin. Di masa kekianan, bermunculan icon-icon sholawat. Orang-orang memuja dan memuji icon-icon itu. Tetapi mereka lupa tentang Nabi Muhammad sholaLLOHU 'alaihi wabarik was-salim.
Bes-sholawat tidak harus bersama habib syeh, tidak harus bersama habaib manapun. Ber-sholawat tidak harus bersama Gondrong.
Ber-sholawat tidak harus di masjid, tidak harus di mushola, tidak harus di majlis sholawat. Ber-sholawat tidak harus digembor-gemborkan. Tidak harus dikeraskan. Tidak harus dan tidak harus. Termasuk tidak harus dengan suara merdu (jere mba Nar sing suarane ora merdu. Padahal lolos seleksi vokal dawamus-sholawat).
Esensi sholawat adalah bagaimana kita mengagungkan Sosok Agung tiada terkira. Bagaimana, dimana, kapan, berapa, apa, dan siapa keagungan itu muncul, ter-pujikan(ter-sholawat-kan). Kemudian menjadi bentuk tingkah laku manusia yang memanusiakan manusia. Menjadi manusia yg meng-ulamakan ulama. Menjadi manusia yg menabikan Nabi, merosulkan rosul dan menuhankan Tuhan. Bukan menuhankan akal, perasaan apalagi bentuk-bentuk kebendaan. Seperti uang, harta, kegantengan, kecantikan dan tentu kegagahan untuk menggagahi manusia lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar