Laman

Minggu, 11 Agustus 2013

Kenapa Menulis???


Berkelbat di Malam Ke-II
            Salah satu tanda bahwa manusia itu hidup adalah berpikir. Setiap nafas yang terhembus ini selalu saja terasa berat. Karena selalu saja mengandung pikiran di setiap hembusnya. Saking benyaknya dan saking berbedanya pikiran disetiap hembusan itu sering kali tak terabadikan. Atau sering kali menguap sia-sia seperti nafa itu sendiri. Entah pikiran yang muncul karena dipikirkan secara serius maupun jenaka. Pemikiran itu tentu memerlukan energi lebih ketimbang mencangkul sebidang tanah.
Di malam ke-II ramadhan 1434 H ini muncul kembali keinginan untuk terus menulis. Tugasnya menulis apa saja yang terlintas. Menulis tentang awal mula menyenangi tulis menulis. Tentang kenapa harus menulis atau tujuan menulis. Menulis rutinitas, dari yang paling pribadi hingga yang bernilai budi pekerti paling tinggi.
Awal mula menulis, jelas ketika pertama kali aku memasuki ruang kelas. Sekolah. Langsung SD waktu itu. Tapi aku tak ingat barang sedikitpun tentang itu. Sisa-sisa dokumentasinya pun entah kemana. Yang aku ingat, kelas 1 SD aku tidak hafal huruf “j”.
Memasuki MTs kelas I Cawu pertama, nilai Bahasa Indonesiaku tertinggi seantero kelas I. Yang masih aku ingat guru dan pelajarannya. Pak Darsi dan pelajaran tentang majas. Hiperbola, personifikasi, ironi dan lain-lain. Itu belum mulai menulis karya. Menulisnya masih bentuk-bentuk tuntutan pelajaran sekolah dan mengaji semata. Mengaji di TPQ, enulis ilmu tajwid, fiqih, akhlaq, tauhid. Ya yang ringan-ringan lah.
Berawal dari tugas membuat puisi di kelas II. Masih pelajaran Bahasa Indonesia. Gurunya Pak Napan. Itu karya pertama. Tapi entah kemana dokumentasinya. Semasa MTs hanya itu saja karyaku, sekali saja. Ya karena tugas itu juga. Dan karya-karya yang lain menyusul saat MAN. Jauh dari orang tua, tidak punya teman, merasa sepi dikeramaian. Dan suasana itu yang kemudian menculkan puisi-puisi. Temanya berkisar pada kerinduan. Hampir setiap istirahat menoreh satu judul puisi. Pada mulanya. Tapi setelah punya teman dan saling kenal, menjadi jarang menulis puisi. Meski masih terus berkarya.
Kelas II tema dan tata bahasa beralih. Menjadi ke-islam-islaman. Ya, mulai meresapi kehidupan pesantren. Tentang kelaparan, pasang surut iman, kehidupan alam ghoib. Ya yang begitu-begitu lah. Dan mulai banyak membaca. Karya-karya Ahmad tohari bayak yang terbaca, Trilogi ronggeng dukuh paruk, bekisar merah, kubah, orang-orang proyek juga bagus itu. Juga novel-novel remaja. Tapi tidak tahu kenapa ketika disuguhi Dealova kok tidak tertarik. Malah milih koran dan ensiklopedi sains. Sumbernya ya perpustakaan sekolah.
Kelas III tidak lulus ujian. Pindah ke Pemalang. Dan tulisan-tulisannya menjadi seikit bermuatan kerikil. Punya visi misi hidup yang jelas. Mulai punya tujuan hidup yang wajar, tidak sekarepe dewak. Tapi sudah mulai menyenangi novel-novel berat seperti Dunia sophie. Ketika disodori KCB melah emoh. Dan setelah dunia sophie itu jadi kepengin nulis novel juga. Dan seketika itu lasung dimulai juga. Garis-garis besarnya, dan sempat menulis beberapa lembar tapi gagal juga. Entah karena tidak baka, atau karena malas mungkin. Tapi mulai punya cita-cita ngumpulin buku sendiri.
Meski nulis novel gagal, tapi menulis puisi jalan terus. Lulus MAN Pemalang ke Jakarta, tepi kemudian berdiam di Bekasi. Sama juga, curahannya ya ke puisi. Setiap event, setiap moment, yang sedih yang bahagia. Larinya ke buku. Puisi. 2009 kuliah, pun sama terus menulis puisi.puisi-puisi yang tercipta banyak sekali yang hilang ya pada masa kuliah ini. Malam hari, mau tidur, nulis di HP, siemens yang doraemon. Kalau sudah jadi kirim ke banyak. Selesai, hapus, tidur.
Lah pas kuliah itu ketemu temen, IPNU kedung banteng. Ditantang ikut jambore pelajar IPNU-IPPNU. Ikut. Kesengsem sama ketua IPPNU komsat SMK ma’arif Cilongok. Ketemu nomer Hpnya, menjadi salah satu target sms ke banyak. Terus dikenalin sama Doni. Dini Rahmat aziz. Ajibarang.
Lah dari perkenalan itu kemudian kembali menggali lebih dalam tentang tulisan. Didukung dengan tanggung jawab terbitnya majalah Pewejete News. Karya PAC Purwojati. Kemudian ketemu juga sama Aminurrohman, Susanto, Mahbub dan orang-orang ajibarang yang gemar menulis pula. Semakin banyak baca dan koleksi buku-buku. Mulai mendokumentasikan tulisan pribadi. Kalau yang dari Man masih banyak yang terselamatkan. Kebanyakan masalah remaja. Cinta monyet lah.
Dan terkhir, ketika tulisan ini di buat, tiba-tiba teringat pertanyaan; kenapa Nur Salis Sahid itu menulis? Yang nanya Pak Guru Tarno. Nama lengkapnya aku tidak tahu. Dari kecamatan ajibarang juga. Tepatnya Jingkang. Plosok sekali, tapi Pak Tarno ini suka mikir. Jadi tidak mudah menerima jawaban. Apalagi jawaban asal-asalan.
Setelah ingat pertanyaan itu, seketika itu pula aku pula kau langsung bisa menjawab. “Untuk menyuarakan pikiran dan perasaan yang tidak bisa dan tidak biasa disampaikan secara lisan”. Itu saja yag membuat aku masih bertahan menulis hingga sekarang. Perkara suara itu tersampaikan atau didengar apa tidak, itu urusan belakangan. Yang penting isi otak dan perasaan sudah tertuang kelahan lain. Minimal mengurangi beban pikiran dan perasaan. Mencegah stres. Jadi tidak pernah mikir, mau terbit apa tidak. Ini bagus apa tidak, ini mengena apa tidak. Semua itu tidak penting. Yang penting apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan apa yang ingin aku sampaikan sudah di tuliskan. Ditulis, minimal untuk diri sendiri. Barang kali kalau besok aku mati, tulisan itu bisa dibaca orang banyak. Jadi mereka tahu pikiran dan perasaanku.
Kalau dipikir-pikir, setiap orang ketika menulis ya punya tujuannya sendiri-sendiri. Apalagi menulis yang niatan dan tujuannya tdak pernah diajarkan. Wong sholat yang diajari niatnya suruh Lillahi ta’ala saja dimasing-masing orang menjadi berbeda tujuan. Ada yang sholat karena takut neraka. Ada yang karena kepengin surga. Ada yang karena “ora kepenak tangga”. Dan lain-lain lah. Menulis juga begitu. Menulis untuk yang baik-baik, untuk Lillahi ta’ala juga bisa.
Misalnya menulis sebagai ganti dakwah mimbar. Menulis untuk agama itu katanya Lillahi ta’ala, kan?  Menulis sebagai ganti ngaji juga bisa. Misalnya ngaji di TPQ atau Madin direkam. Terus ditulis, lengkap dengan guyonannya juga bisa, kan? Tapi ya menulis untuk yang jelek-jelek juga bisa. Misalnya menulis berita bohong di koran-koran. Menulis kejelekan-kejelekan orang, lalu sebar luaskan.menulis, ya pokoknya yang tujuannya jelek lah. Bukan tulisannya yang jelek. Ata bisa juga menulis untuk mendongkrak pemasukan ekonomi atau barang kali numpang exis di media masa juga bisa.
Jadi tinggal kita mau pilih yang mana. Pilih yang biasa apa yang luar biasa. Atau tidak milih pun termasuk pilihan, kan? Ya meskipun ada yang bilang; “Menulis untuk hidup abadi”, “Menulis sebagai bentuk manusia beradab”, atau “Menulis untuk membangun peradaban” dan lain-lain, tapi kenapa aku menulis ya karena aku ingin menulis. Dan kenapa kalian menulis, ya terserah kalian.