Laman

Senin, 31 Desember 2012

Cerita Dari Perjalanan Esa

Ini cerita tentang nama blog. Esa disini bukan Esa yang kerap dipahami sebagai tunggal yang tersemat setelah kata Tuhan. Bila pun demikian, tapi tidak hanya Tuhan saja yang boleh menggunakan kata Esa itu. Karena sepahamku esa itu bermakna satu, tunggal, siji atau apa pun yang semakna dengan itu. Itu Esa yang kita pahami. Tapi bahwa Esa dalam blog ini tidak semakna dengan itu, sebenarnya. tapi kemudian makna itu dikait-kaitkan sehingga menjadi semakna.

Esa dalam Blog ini dulunya ditulis dengan double "S". Tapi belakangan "S" itu melabur jadi satu dan lahirlah Esa. Essa merupakan singkatan dari dua nama manusia. Esti dan Salis. Begitulah cerita dari bentukan kata "Esa" dalam blog ini. Ada pun kata Putera itu ketika bersanding dengan Esa kemudian menghasilkan makna yang ambigu. Dan sebenarnya apa itu? Maka pembaca harap memahaminya sendiri.

Esti Ningsih. Begitu nama lengkap yang satu itu. Seorang perempuan wiraswasta yang menggandrungi dunia fotografi. Hingga saat tulisan ini dipublikasikan usia Esti adalah 23 tahun, 4 bulan, dan 4 hari. Bukan kebetulan angka-angka itu terlihat menawan. tapi memang begitu adanya. Tidak percaya? Hitung saja, lahir pada 4 September 1989.

Sementara Salis, Nur Salis Sahid, merupakan penggerak blog ini. Berawal dari sebuah tugas kampus untuk membuat blog, maka blog ini lahir. Blog ini pernah menjadi tempat publikasi karya-karyanya yang berbentuk puisi maupun cerpen. Tapi kemudian karena ketidak-amanan dunia bloger dari plagiasi maka semua karya-karya itu dihapus dari sini.

Pada 25 Juli 2010 Esti dan Salis menjalin hubunga yang belum dikatakan mesra. Tapi keduanya memang sudah sepakat untuk menjadi pacar. Kenapa tidak mesra? Itu masih privasi. Lalu pada 7 November 2011 keduanya bertemu untuk kesekian kalinya sekaligus mengunjungi teman mereka yang menikah. Di Tegal. Berawal dari itu lah keduanya semakin mesra. Dan kunjungan Purwokerto-Jakarta menjadi kebutuhan.

Salis, yang menyenangi dunia menulis dan perbukuan hendak membuat sebuah stample  untuk perpustakaan pribadinya. Lalu karena saking ingin mengabadikan nama Esti dalam kesehariannya maka muncul lah kata ESSA. Itu lah awal kemunculan kata ESSA. Dan bahkan ESSA juga disematkan menjadi nama sebuah Home Industrie yang dijalankan Salis.

Seiring berjalannya waktu Salis berpikir bahwa Essa yang merupakan Singkatan dari Esti dan Salis tak lagi layak digunakan. Kenapa Demikian? Karena Salis merasa bahwa menggunakan ESSA jika itu adalah dua manusia yang belum menyatu. Mungkin dalam relation ship baru berupa sahabat.

Maka muncul lah anggapan bahwa ESA merupakan sebuah do'a sekaligus harapan agar Esti dan Salis itu benar-benar menyatu. Bukan lagi dua pribadi yang terpisah. Tapi saling mengisi dan melengkapi serta juga saling memahami.

Lalu bagaimana keanjutannya? Tinggal manunggu tanggal jadinya ajah. Mohon do'a restu agar Salis dan Esti benar-benar menyatu dan langgeng sampai di surga,..

Sabtu, 29 Desember 2012

Cerita Dari Makesta

MAKESTA. Hampir semua warga nahdliyin mafhum dengan kata itu. Apa lagi bagi mereka yang pernah, atau bahkan sedang aktif dalam organsasi IPNU atau IPPNU. Atau mereka yang pernah bersekolah di ranah LP Ma'arif, khususnya untuk daerah kabupaten Banyumas, juga seharusnya mafhum atau bahkan masih ingat apa saja yang terjadi ketika MAKESTA itu.

Kalau dalam lembaga kampus kita mengenal istilah ospek. Meski sekarang mungkin namanya tak lagi santer, karena metodenya telah dirubah berkaitan dengan korban STPDN. Maka namanya pun ikut berubah. Meskipun pada kenyataannya praktek-praktek perploncoan kadang masih terselip dengan modus baru. Nah, maka dalam IPNU-IPPNU ada istilah mapata untuk sebelum makesta dan baru kemudian makesta.

Mapata dikenal sebagai Masa Penerimaan Anggota. Anggota apa? Ya sudah pasti anggota IPNU-IPPNU. Nah, mapata ini hapir setara dengan ospek itu tadi. Bedanya hanya pada bentuk anggotanya saja. Sementara MAKESTA, Masa Kesetiaan Anggota, merupakan ritual penguatan idiologi anggota yang telah berhasil melewati penerimaan anggota itu. Di tinggkat berikutnya, setelah makesta, ada LAKMUD dan LAKUT. Untuk dua yang terkhir ini tidak saya singgung. karena belum pernah melihat secara langsung atau mengalami sendiri. Tapi bahwa mungkin saja tak jauh berbeda dengan MAKESTA.

Dilihat dari namanya, seharusnya makesta akan menghasilkan kader-kader yang loyal. Dan lebih dikhususkan lagi dalam praktek-praktek melanggengkan ASWAJA di Indonesia. Dan cara yang di praktekkan itu silahkan temukan saja sendiri. Tapi bahwa pada kenyataannya MAKESTA itu sudah seharunnya direnofasi. Khususnya untuk daerah kabupaten Banyumas. Baik dalam hal meteri atau bentuk-bentuk kegiatannya. Bahkan bila memang perlu pemateri pun pilihkan yang paling memiliki pengaruh terhadap peserta MAKESTA. Bukan yang hanya mumpuni berbicara, tapi kemudian kedangkalannya masih terlihat jelas.

Saya akan lebih fokus mengenali manfaat MAKESTA di kabupaten Banyumas. Kanapa? Karena memang ranah saya buru sapai disitu. Belum lagi mampu menerikkan kata-kata pada pengurus setingkat PW.

LP Ma'arif NU Kab. Banyumas telah mewajibkan mengadakan mekesta untuk SLTP sederajat dan Lakmud untuk SLTA sederajat pada setiap tahunnya. Itu berlaku sudah cukup lama. Dan empirisnya ketika satu tahun itu mungkin ada sekitar seribu remaja yang telah mengikuti MAKESTA di Kab. Banyumas. Maka seharusnya ada seribu anggota IPNU-IPPNU yang tersebar dalam 27 kecamatan. Sedikitnya ada 33 remaja yang telah dimakesta pada setiap kecamatan. Yang telah siap setia berjuang bersama IPNU-IPPNU.

Tapi pada kenyataannya tidak. Bahkan oragnisasi setingkat PC hanya ada beberapa anggota saja yang aktif. Malahan seorang ketua PC yang telah di MAKESTA , bahkan memakestai, tidak lagi setia terhadap perjuangan IPNU-IPPNU. Menghianati amanah yang diberikan oleh peserta kongres pada Desember 2010 lalu.

Lalu siapa yang perlu dipersalahkan? Syarat seorang Ketua, bahkan untuk tingkat PAC, harus telah mengikuti makesta. Tapi apa itu manjamin kesetiaan terhadap organisasi? Masih perlu kah sarat ber-IPNU-IPPNU harus sudah pernah mengikuti makesta?

Cerita Dari Pilkatren


Ini tulisan saya untuk Mabok (Majalah Tembok) Ponpes Fathul Huda Kebondalem Purwokerto dalam menyikapi pemilihan Lurah pondok.

6 Oktober 2012 nanti kita selaku warga PonPes Fathul Huda akan merayakan produk demokrasi. Yang menurut peritungan kalender hijriah telah genap 2 tahun Kang Rohingun mengabdikan diri sebagai Lurah. Maka pada tanggal yang telah ditentukan KPU akan diadakan pemilihan Kepala pesantren atau yang lebih sering kita sebut sebagai Lurah.
Menurut Ketua KPU PonPes Fathul Huda, Muhammad Nasr Rahmansyah, yang dilansir kamis, 27 September mengumukan peraturan demokrasi sepenuhnya. Yaitu suara harus mencapai 50% lebih satu agar calon yang terpilih benar-benar sah ditetapkan sebagai Lurah. “ Dan apabla pada putaran pertama tidak ada yag mencapai target tersebut maka akan diadakan Pemilu putaran ke-II” begitu tambahnya.
Dari data yang terhimpun ada 6 calon yang telah terdaftar. Berdasarkn abjad menjadi begini urutannya. Kang Agus Maimun, Kang Ahmad Jaelani, Kang Hermanto, Kang Khoirul Umam, Kang Muhammad Bisri, Kang Sutriono.
Menurut pengamatan dari team Mabok Kang J memiliki sura unggul. Namun tetap saja keadaan bisa berubah setelah masa kampanye. Selain pidato tentang visi dan misi yang menjadi pertimbangan, juga bagaimana team sukses dari masing-masing calon mempromosikan barang dagangannya.
Disinilah perhatian kita harus tercurah. Demokrasi yang entah dari mana asalnya itu harus benar-benar tinggal demokrasi. Tidak lagi memandang pekewuh keilmuan, tidak lagi memandang pekewuh usia apa lagi dengan pekewuh kejantanan seperti, ganteng, kuit putih, rambut lurus dan lain sebagainya.
Menurut saya PilKaTren(pemilihan ketua Pesantren) belum lagi mengenal politik praktis seperti pemilu-pemilu pada umumnya. Dan bahkan beberpa calon pun merasa enggan ketika dirinya dicalonkan. Dan jika ada yang mencalonkan diri pun masih sangat jarang, bahkan mungkin tidak ada. Itulah kelemahan dari PilKaTren ini.
Wong sudah ogah-ogahan kok ya masih dipilih, akhirnya kinerjanya pun mlempem. Jadi bukan lagi masanya Ketua kita terpilih dengan jalan yang kita tidak tahu. Seperti misalnya ditunjuk dari pihak pengasuh atau yang berwenang. Yang akhirnya pertanggungjawabannya pun kita tidak tahu. Maka kita pun tak lagi sanggup mengontrol.
Seharunya PilKaTren ini didukung sepenuhnya baik oleh warga maupun setiap unsur yang berhubungan dengan PonPes Fathul Huda. Karena nantinya Ketua atau Lurah itu pun mendedikasikan waktu dan pirannya untuk warga dan unsur-unsur tersebut. Bukan hanya sekedar dipilih dan ongkang-ongkang karepe dewek.
Setelah Lurah itu dilantik, maka tugas kita adalah mengontrol kinerja dari kabinet yang akan dibentuk. Baik kontrol secara langsung maupun tidak. Kita punya Mabok sebagai media untuk menyalurkan segala unek-unek yang perlu orang lain ketahui. Termasuk untuk menggarisbawahi kinerja kabinet pemerintahan dalam negara Fathul Huda ini.
Maka belajarlah dari sejarah Indonesia yang usianya sudah 67 tahun tapi baru 6 presiden yang terpilih. Dan dua diantaranya merupakan pengganti atau PJS(Pengganti Jabatan Sementara). Maka hitungannya menjadi 4 presiden terpilih. Dan yang lebih mengagetkan ketika masa orde baru yang berkuasa selama 32 tahun tanpa mengganti presiden. Tanpa bisa melakukan kontrol. Dan warisanya pun sekarang kita sedang merasakan.
Lalu apakah generasi setelah kita di negara Fathul Huda ini harus merasakan warisan orde baru itu?
Azka Rose

Cerita Dari Lingkungan

Lingkungan. Merupakan segala aspek yang ada di sekitar kita. Mulai dari hubungan sosial, ekonomi, sepiritual, dan apa pun yang ada di sekitar kita. Bahkan ikan asin pun ketika itu ada di sekitar kita, merupakan lingkungan kita.

Berbicara masalah lingkungan, mengingatkan kita akan dampak-dampaknya. Ya, positif dan negatif. Dampak positif merupakan pengruh positif dari lingkungan. Dan sebaliknya, dampak negatif tentunya lingkungan itu memberikan pengaruh negatif.

Tapi perlu ditinjau ulang bahwa pengaruh dan atau dampak itu hanya punya dua arah saja. Bukan positif dan negatif. Tetapi pengaruh Pro dan pengaruh Kontra Bisa saja pengaruh Pro justru merupakan dampak negatif, atau mungkin sebaliknya. Dan pengaruk kontra juga bisa merupakan dampak positif atau sebaliknya.

Menyikapi lingkungan yang buruk atau negatif tentu kita akan bersikap kontra. dan sebaliknya terhadap lingkungan yang positif, kita akan bersikap pro. Karena itu sudah merupakan intuisi manusia. Berusaha untuk menguntungkan pribadinya dari pada merugikan pribadi.

Seperti pepatah mengatakan. "Belajarlah dari ikan dilaut. Ikan-ikan di laut akan bisa hidup lama tanpa harus menjadi asin." Maka begitu juga kita seharusnya bersikap ketika berada dalam lingkungan yang kurang menguntungkan.

Pepatah itu perlu dikaji ulang. Bahwa benar memang Ikan laut itu akan bisa hidup lama di air asin tanpa menjadi asin. Tetapi justru akan mati ketika hidup di air tawar. Secara tidak langsung pepatah itu mendukung agar seluruh lingkungan bersifat asin (negatif). Dengan demikian bisa labih leluasa untuk hidup. Dan ketika air menjadi tawar (positif) seluruhnya justru tidak bisa bertahan hidup. Artinya hiduplah dari lingkungan yang negati, atau manfaatkanlah lingkungan negatif untuk hidup. Saya kira itu bukan pikiran yang bijak.

Hanya saja perlu dipahami bahwa negatif dan positif itu tidak memiliki batasan yang jelas. Menurut penglihatan dua pribadi, bisa saja satu hal di katakan menjadi dua hal yang berseberangan. Positif dan negatif. Dan dari situ lah muncul dampak atau pengaruh. Bukan lagi positif dan negatif. Tapi Pro dan Kontra. Bagi yang melihat sebagai sesutu yang negtif akan bersikap kontra dan bagi yang menganggap positif akan bersikap kontra.

Begitulah dampak dari lingkungan. Dampak pro dan kontra. Mungkin bisa juga diterapkan di Indonesia satu dampak lagi. Dampak ikut-ikutan. Karena umumnya masyarakat indonesia bulum bisa mandiri dengan keputusan sendiri. Jadi ketika banyak yang pro ikut pro, tapi kalau banyak yang kontra ikut kontra. Akhirnya menjadi kambing hitam yang selalu dipersalahkan.

Kamis, 27 Desember 2012

Cerita Dari Negeri Seberang


Gangguan dari jenis pekerjaan, harta, waktu, dan kedudukan. Menikam dari ulu hati menuju ulu jantung. Ketika harapan pada sebuah undangan menginginkannya datang pada pukul 10 pagi, maka bagi pedagang seperti Bu Shol yang sedang sibuk-sibuknya mencari nafkah sekedar untuk makan tak mampu menghadirinya. Tak seperti Nyai Habib yang notabene istri pegawai negeri seperti Bu Mujahid juga.Dan mungkin ibu-ibu Muslimat yang lain juga.

Apa mereka para Kyai, Nyai dan santri-santrinya tak memikirkan ini? Atau aku yang telah menjadi murtad dari pesantren yang telah terkontaminasi dengan dunia luar yang menjadi semakin berutal? Enatah lah.

Lalu aku bernostalgia. Aku memikirkan, bagaimana cara mendekati orang itu. Pak Bambang. Terkesan sangat bijaksana dengan ribuan pengalamannya. Orang Tionghoa. Aku tertarik karena gaya bicaranya, pengalamannya, ilmunya, dan ribuan hal yang ditawarkan. Seperti Mingke yang selalu tertarik dengan mereka disetiap kesempatan. Diceritakan dari Tetralogi Buru Karya Pramoedya Ananta Toer. Juga mati-matian Gus Dur membela komunitas itu dengan meresmikan Agama mereka di Indonesia. Juga langkahnya yang ditolak oleh demo mahasiswa hendak bekerja sama dengan China. Penolakan itu membuktikan pasar barang-barang China melonjak.

Aku hanya bisa mendengar orasi keturunan Tionghoa itu. Memilah apa yang akan aku ambil sebagai pegangan hidup. Memahami bentuk makna bicaranya. Apakah itu bentuk kebohongan, bentuk keseriusan, kecerdasan, atau bentuk-bentuk yang lain lagi. Mungkin juga bentuk menarik perhatian setiap yang mendengarkannya. Bentuk sosialisasi diri agar terlihat lebih wah dibanding yang lainnya.

Aku ingat ketika dia menanyakan alamatku. Dengan gaya orasi yang sama dia berbicara tentang Ayam Goreng Margasana. "Jangan disini, tapi disana!" Begitu katanya pada Orang yang hendak mendirikan Rumah Makan itu. Dan berkat saran itu maka Rumah Makan itu masih berdiri hingga sekarang. Benarkah itu?

Tionghoa selalu mengagumkan bagiku.

Cerita Dari Pekuncen


Sebenarnya mata ini ingin segera terpejam. Tapi terlalu banyak yang harus aku curahkan padamu. Dari perjalanan nostalgia menuju Ponpes Al-amien, menemui penjaga warung langganan makan siang, minum kopi pilihan seperti waktu MAN dulu membuat aku melayang mengarungi masa lalu. Tapi bukan untuk postingan kali ini.

Hari ini aku lebih fokus terhadap kajia dan diskusi selasa Kliwonan. Di Ponpes Al-Faatah Banjar Anyar Pekuncen. Bersama Muhyidin Dawoed. Membahas Polemik tentang Syi'ah yang sampai sekarang belum jelas motif ajarannya. Bahkan bagi orang-orang terpelajar seperti Kyai Muhyi sendiri. Dia masih ragu mengatakan seluruh jenis Syi'ah itu sesat. Apakah memang itu bentuk pribadi Ahlussunah ala NU atau memang beliau memang belum bisa menentukan bahwa itu sesat. Aku belum bisa melihat itu. Sementara baru dugaan, Dikhawatirkan akan ada pihak yang terluka bila Syi'ah diserang terlebih dahulu.

Wal Jama'ah menurut Kyai Muhyi adalah mengedepankan persatuan. Boleh dibilang cinta damai. Jika benar begitu arti Wal Jama'ah maka benar tindakan Gus Dur yang melindungi segenap lapisan yang tertindas. Itu labih masuk akal dibanding makna dalam buku yang pernah aku beli sebagai bekal aku ber IPNU. Disana dikatakan bahwa Wal Jama'ah mengandung arti bersama, berjamaah, dalam arti mayoritas. Maka segala sunnah yang dilakukan oleh kelompok mayoritas itulah kelompok ahlussunnah wal jamaah. sangat tidak rasional jika memang hanya mayoritas saja. Aku lebih senang jika makna Wal Jama'ah itu menjadi Persatuan.

Kembali tentang Syi'ah. Berdasarkan sejarah kelam, yang tak kalah kelamnya dengan sejarah PKI, akan sangat susah mengambil kesimpulan mana yang benar dan mana yang salah. Tapi bahwa Ulama Syi'ah terdahulu tidak ada yang mengkultuskan Shohabat sebagai kafir. Berbeda dengan syi'ah-syi'ah yang beredar baru-baru ini. Dan ternyata madzhab Syi'ah pun terbagi menjadi banyak sekali. Hingga ratusan lebih. Dan dengan rukun islam penganut Syi'ah berupa taqiyah atau menyembunyikan diri maka akan sangat susah sekali untuk dideteksi.

Bahwa sembilan wali yang menyebarkan islam di indonesia pun seluruhnya adalah Syi'ah. Sebuah wacana yang telah lama aku dengar memang. Berawal dari habib Alwi Al-hadad. Yang notabene memang pemuja syi'ah. Mungkin imamiyah mazdhabnya. Hingga mengkafirkan atau menyalahkan Shohabat. Dan bahwa menurut sebuah kutipan dari Gus Dur yang meluncur dari Om Doni mengatakan NU merupakan Syi'ah yang tak mempercayai Imamiyah. Dan Gusdur pernah menang berdebat melawan ulama Syi'ah setelah mempelajari Kitab-kitab orang syi'ah. Maka seyogyanya manusia lainnya pun bisa mengimbangi itu. Menolak syi'ah dengan rasional atau pendapat sendiri ketika telah memiliki pondasi yang kuat.

Yang jelas, mudah mengkafirkan, menyesatkan yang lain bukan merupakan ciri Wal jama'ah. Itu yang sangat aku sorot dalam postingan ini.

Cerita Dari Berita

Bekal itu tak selalu datang dari orang tua. Ide-ide itu tak selalu datang dari perjalanan. Menulis tak selalu dengan kata-kata. Mengarungi dunia tak harus selalu menggunakan harta. Ada pengecualian-pengecualian kecil yang terjadi. Pada setiap hal yang kita jumpai. Ada penyimpangan-penyimpangan pandangan terhadap hidup dari setiap pasang mata yang mau memandang hidup. Boleh jadi dari kacamata benar salah, baik buruk, universal individu, mayoritas minoritas dan lain sebagainya.

Seperti aku menemukan ide bukan saat menikmati perjalanan. Tapi justru saat mengaso dari keletihan berpergian. Memang harus diawali dari sebuah perjalanan. Baru ide-ide itu muncul menampakkan batang hidungnya. Ketika melihat tayangan berita televisi itu terpampang bentrok perebutan hak sah atas sebidang tanah. Selalu antara warga dengan sebuah PT. Dan perebutan selalu dimenangkan pihak PT setelah melalui nego dengan pihak penengah PN(Pengadilan Negeri).

Boleh jadi ada kong kalikong antara pemilik PT dengan pihak PN. Atau mungkin semua tanah yang kita injak justru sebenarnya telah dijual oleh negara untuk kepentingan segelintir orang tanpa sepengetahuan rakyat. Hingga pada saatnya pembeli menuntut tanahnya, sementara pemilik sebelumnya tak tahu tanahnya telah dijual. Atau mungkin sebenarnya tanah yang tuannya telah hilang selama puluhan tahun. Lalu pemerintah menjadikannya hak milik yang kemudian dilelangkan. Dan kini pemilik sah yang dianggap telah hilang itu sedang menuntutnya kembali melalui jalur yang benar.

Problematika tanah di Indonesia.

Minggu, 23 Desember 2012

Cerita Awal

Awal teebentuknya blog ini adalah tugas kuliah. Lama tak dibedayakan karena tak penrnah mendapat ide tentang apa yang akan dipublikasikan. Lalu kemudian ketika kegemaran menulis itu kembali tumbuh maka blog ini menjadi wanaha untuk menuangkannya.

Yah, benar. Kegemaran menulis atau mereka bilang belajar menulis. Tapi bukan belajar menulis layaknya anak-anak usia SD, TK, PAUD, atau bahkan usia dibawahnya lagi yang dibimbing orang tuanya. Tidak mungkin dong lulusan SLTA tidak bisa menulis. Tentunya mahir sekali keti menulis dalam bentuk plagiasi atau mencontek.

Belajar menulis yang dimaksudkan adalah menuangkan apa yang ada dalam otak ke dalam tulisan. Menuangkan ide, pemikiran, cerita, kata-kata indah dalam bentuk puisi, dan apa pun yang bisa diruliskan. Karena sarjana pun belum tentu bisa memenuhi satu halaman sebuah buku dengan tulisannya sendiri yang terlepas dari plagiasi. Sehingga otak ini berpikir untuk mengembangkan bakat terpendam dengan latihan luar dalam.

Memang jenis tulisan itu banyak sekali. yang mula-mula dari fiksi dan non fiksi. Fiksi itu yang berasal dari imaji murni atau pun sebagian. Atau bahkan fiksi yang diambil dari kisah nyata seluruhnya. Fiksi ini biasanya dalam bentuk cerita. Dan non-fiksi itu yang kebenarannya teruji. Ada tolak ukurnya, batasannya jelas  dan bisa dipertangungjawabkan. Seperti karya ilmiah, artikel, berita dan lain sebagainya.

Aku lebih menyenangi menulis bentuk fiksi, atau yang bersifat imajinatif dan cerita. Ada yang berbentuk puisi, cerpen, ataupun novel. Tinggal satu yang terakhir itu yang belum terwujud. Berdo'a saja semoga di tahun baru nanti saya bisa berkosentrasi untuk menulis hingga terbentuk sebuah novel. Sementara untuk puisi sudah benya, meski untuk kualitas belum layak terbit, atau memang tidak sesuai dengan kriteria penerbit manapun. Begitu juga dengan cerpen.

Pernah pada saat gila-gilanya dengan tulisan, blog ini menjadi sarana publikasi. Puisi dan cerpen yang telah dibuat. Tapi kemudian setelah memahami betapa mudahnya plagiasi di dunia bloger maka hal tersebut tak dilanjutkan.

Dan beberapa hari sebelum Blog ini kembali diberdayakan Kang Doni juga telah menciptakan blognya sendiri. Untuk pulikasi apa pun yang menurutnya pantas dipublikasikan tanpa merasa khawatir akan adanya plagiasi. Maka tulisan-tulisan yang konyol macan inilah yang dipulikasikan.

Ngomong-ngomong masalah menulis, saya punya bebearapa rankuman agar ide itu tak perrnah berhenti mengalir. Ini menurut seorang wartawan kelas kakap yang saya kenal. Jika anda kenal orang itu adalah Aminurrohman. Sekarang menjadi entah apa di Harian Banyumas.

Penulis itu yang pertama jelas rajin-rajinlah menulis. Bentuk dan apa yang akan ditulis itu urusan belakang. Tapi kemudian yang terpenting adalah menulis. Menulis saja. Lalu menurut Pak Wartawan itu kemudian membaca. Karena penulis yang beik adalah pembaca yang baik pula. Selain untuk menambah wawasan kata juga akan mempengaruhi gaya tulisan kita.

Lalu ketika kita mandeg menulis karena tidak menemukan ide, ada saran yang bagus. Jalan-jalan. Jalan-jalan tak perlu harus mahal. Tapi bahwa dengan jalan-jalan kita akan melihat sekitar dan merangsang otak dan hati untuk menemukan sesuatu dalam kata-kata lalu menuliskannya.

Sementara untuk memperkuat jalan cerita kita perlu mengambil cerita yang nyata. bisa melalui tragedi, atau yang paling mudah adalah nonton film. Dan satu yang terakhir yang tak kalah pentingnya dengan semua yang telah disebutkan adalah diskusi. Diskusi akan membuka pikiran kita untuk lebih memahami lawan bicara dari ranah keilmuan. Bukan memahami lawan bicara secara subyektif.