Laman

Minggu, 17 Agustus 2014

Tradisi


"Kali ilang kedunge, wong wadon ilang wirange, pasar ilang kumandange".
Suatu saat datang masa seperti yang telah digambarkan itu. Adalah sebuat masa kehancuran. Tahun-tahun yang kehilangan segala-galanya dari manusia.
Mungkin yang paling mudah dimengerti adalah "wong wadon ilang wirange". Perempuan tidak punya malu. Dimana-mana sudah banyak perempuan MBA(Meried by acident). Menikah karena hamil duluan. Dimana-mana perempuan tanpa malu mengumbar kewanitaannya dimuka panggung. Dengan demikian perempuan sebagai guru pertama anak bangsa telah mengajarkan hal-hal yang tak pantas. Menuai kehancuran masa depan anak bangsa.
"Kali ilang kedunge". Yaitu ketika manusia mengumbar ilmunya yang pas-pasan. Ilmu-ilmu yang dipelajari secara instan menciptakan guru-guru yang dangkal. Kedung, merupakan bagian sungai yang terdalam. Kemudian hilang oleh karena cara belajar instan. Aliran ilmu tak menciptakan kedung. Tapi ngaku-ngaku sebagai kedung. Sebagai sumber ilmu.
"Pasar ilang kumandange". Seperti tradisi lebaran pun sudah hilang. Orang yang obral maaf dimana-mana. Di jejaring sosial, dari sms, telephon dan semuanya. Tapi sebenarnya tak ada tegur sapa disana. Hanya tinggal tradisi saja.
Dulu sekali. Aku masih ingat ketika lebaran tiba maka setelah usai sholat riyaya semua manusia berkumpul di kuburan. Ziaroh, menyapa, memohon maaf, mendo'akan sesepuh, orang tua, sanak keluarga dan siapapun yang mereka kenal. Dan selesainya ziaroh itu, satu persatu mendatangi pintu demi pintu demi segepok maaf. Yang muda mendatangi yang tua. Yang tua menyayangi yang muda. Yang penting sekali, ketika belum ada sepeda motor dan mobil, kita seperti semut. Setiap ketemu sebuah rombongan keluarga, kita memerlukan untuk berjabat tangan. Dengan jalan kaki kita bisa ketemu dengan hampir semua penduduk desa. Kecuali sesepuh yang sudah tak bisa jalan.
Tapi sekarang pemandangan itu telah hilang lenyap. Motor tak mau berhenti ketika berpapasan. Mobil terus jalan ketika orang-orang menepi dari jalan. Tak ada lagi jabat tangan dijalan.
Dulu sekali, setiap pulang dari kuburan, selalu keliling sebanyak 40 rumah yang terdekat dengan rumah kita. Tapi sekarang yang demikian sudah hilang. Hanya menyambangi rumah orang tua dan sesepuh saja. Padahal dosa terbanyak ada pada tetangga.
Itulah "pasar ilang kumandange" di hari yang hanya punya fitri. Yang masih gundah gulana melihat 3 ramalan kehancuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar