Laman

Sabtu, 09 Februari 2013

FKGMNU

Forum Komunitas Galau Muda Nahdlatul Ulama


NU, organisasi super big itu tak mungkin lepas dari yang namanya politik. Dan memang benar, kita hidup perlu berpolitik. Jadi NU boleh berpolitik? Boleh yah?

Masih ambigu memahami NU. Menurut sejarah perjalanan NU dari tahun 1926-1955 sebagai organisasi politik kebangsaan dan kerakyatan, bukan politik kekuasaan. Kemudian pada tahun 1955-1984 NU berjuang dengan politik kekuasaan. Dan sejak tahun 1984 hingga sekarang NU kembali pada khittah 1926, organisasi yang bergerak dibidang kebangsaan dan kerakyatan. Maka seharusnya NU tidak turut campu dalam hal pemilihan kepala pemerintahan melalui politik.

Tetapi, sebagai Ketua Ranting NU, ketika melihat fenomena Pilkades tidak mau berdiam diri. Lalu mengatas-namakan kemaslahatan warga nahdliyin, kemudian menetapkan dan menghimbau kepada warganya untuk condong pada salah satu calon. Apakah ini tindakan yang benar? Masih ambigu. Demi maslahat ini benar, tetapi menurut peraturan yang ada sikap seperti itu bukanlah sikap NU.

Tak lain pula ketika PILKADA, PILGUB bahkan ketika PILPRES. Sedang yang menentukan harus condong ke arah mana adalah pemegang tampuk yang sejajar dengan pemerintahan itu. Ketika Pilkada maka PC NU yang menyikapi. begitu seterusnya. Baik kah NU bersikap demikian? Atas-nama kemaslahatan warga Nahdliyin. Atau memang harus?

Orang NU memilih kader NU. Haruskah? Untuk PBNU harus kader NU, selebihnya tanyakan PBNU. Bila ternyata ditingkat PW NU atau PC NU memilih kader yang bukan NU maka tugas PBNU untuk -minimal membekukan- membubarkan organisasi yang berada di bawahnya itu atau mungkin dibiarkan saja. Tapi untuk kepala pemerintah yang memimpin banyak warga, tentunya yang homogen pula, tak harus NU. Jika dari kalangan NU memang ada yang tak sekedar siap, tapi juga mumpuni, memang perlu didukung. Tapi ketika tak satu pun dari kader NU yang mumpuni untuk memegang tampuk pemerintahan, maka bolehlah warga NU tapi bukan kader. Dan sangat boleh pula memilih yang sama sekali bukan NU, ketika mumpuni dalam memegang tampuk pemerintahan.

Ini cerita nyata. Suatu ketika NU di tingkat ranting tidak memiliki kader yang mumpuni untuk didukung dalam Pilkades. Sementara ada 4 calon resmi, dan salah satunya merupakan kader organisasi tandingan NU(de angen-angen dewek, toli ketemu.). Ceritanya ketua ranting NU desa tersebut hendak membuat MoU dengan salah satu dari 3 calon, tentu bukan calon yang dari organisasi tandingan. Dari 3 calon itu masing-masing menawarkan apa yang mereka bisa tawarkan untuk NU. Ketua ranting NU itu masih mempertimbangkan dengan anggota ranting NU lainnya.

Belum sempat mengambil keputusan yang pasti lalu datanglah segepok uang untuk Si ketua ranting NU. Datangnya dari calon yang tak diajak bernegosiasi. Bahkan yang datang pun tim suksesnya. Lalu serta merta keputusan  dijatuhkan. Memang keputusannya bukan condong pada Si pemberi uang itu. Tapi salah satu dari 3 calon yang melakukan MoU. Intinya yang penting bukan dari golongan yang berbeda.

Suara warga Nahdliyin yang loyal dipecah menjadi 3 bagian. Maka Si Pemberi uang itu memang menjadi Kades, tapi bukan dari suara warga Nahdliyin. Itu contoh dari kenyataan. Marilah mengendarai NU benar-benar untuk kepentingan umat itu sendiri. Apa yang umat butuhkan? Bukan sekedar Kades, bukan sekedar Bupati, bukan sekedar Gubernur atau Presiden.

Sementara aku butuh kebenaran sejati. Lalu apa kebutuhan Anda sebagai Warga NU???