Laman

Sabtu, 07 Maret 2015

Makan Siang, Bunda dan Seorang Atasan

Malam itu mataku berkaca-kaca. Aku teringat Bunda. Kata Mely, oooh Bunda, ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatikuuu.

Aku sedari kecil memang terkenal susah makan. Terutama nasi. Semua orang sekampung sudah mafhum. Setiap pagi sarapanku sekedar pisang bakar atau goreng. Cukup untuk bekal ngudi (mencari) ilmu sampai siang. Kadang siang pun aku menjauh dari yg namanya nasi. Pulang sekolah, ganti baju dan memanjat pohon jambu biji. Makan jambu biji barang dua biji dan mengantongi barang 5 biji sebagai bekal bermain.

Entah bagaimana caranya, mamah selalu tahu apakah sepulang sekolah aku makan atau tidak. Kalau mamah tahu siang aku tak makan, siap-siap kuping merah kena marah. Kadang, untuk menghindari murkanya aku kotori piring dg nasi sesendok dan lauk. Entah itu yg mereka sebut sebagai makan atau hanya menghindari murka, tapi kadang cara itu berhasil.

Buah favoritku saat kecil adalah apel. Suatu kali aku "disuap" dg buah apel saat jam makan siang tiba. Maksudnya mamah mengiming-iming akan dikasih buah apel, dg syarat mau makan siang.

Orang tuaku mulai berpikir tentang aku yg tak doyan makan. Mula-mula mereka pikir aku cacingan. Suatu siang, mamah mencariku dan menyuruh makan siang lalu minum obat cacing. Lagi-lagi dg "suap" buah. Kai ini buah rambutan. Kali yg lain, tanpa "suap", aku tak mau minum obat. Akhirnya aku mengalah dg minta gendong. Iya, hanya dg berada digendongan aku jadi mau minum obat. Dan tak ada perubahan pada nafsu makanku. Suatu kali dibelikan obat penambah nafsu makan. Sampai obat habis pun tak ada perubahan. Dan biarlah aku jadi orang yg susah makan.

Suatu hari tiba-tiba perutku terasa teramat lapar. Karena berada di pinggir kali dari pagi sampai matahari di atas kepala sendiri. Memancing. Kebetulan mamah masak kecambah dioseng kering. Dan aku makan siang sampai nambah. Dan menu itu jadi sering disuguhkan kembali. Suatu kali, ada banyak lauk yg terhidang dimeja makan. Tapi aku memilih serundeng kelapa. Dan dikali yg lain aku bikin sambal sendiri ditemani kerupuk putih bulat. Di tempatku namanya krupuk plembang.
Aku, selalu jauh dari sayuran. Sayur kesukaanku hanya satu. Kangkung. Pun kalau yg masak bukan mamah, belum tentu aku suka. Lalu timun dan kacang panjang buat lalab. Kacang panjang di oseng aku lari. Semur terong aku makan kuahnya saja. Kalau urusan daging--ayam, kambing, sapi-- aku jagonya. Ikan, selama masih ikan air tawar, apalagi yg hidup di sungai, itu aku suka. Tapi ikan laut, terutama ikan laut yg dibikin ikan asin, aku lari.

Aku selalu memilih menu saat makan. Pun kadang menunya cocok, tapi selera makan hilang entah kemana. Aku pilih mie instan dg telur dan sawi hijau. Aku masih saja susah makan. Betapapun berat kerjaku, porsi makan tak kemudian bertambah. Malah bisa berkurang. Tapi kalau urusan buah, aku jagonya. Kecuali jeruk. Aku tak suka karena kulitnya. Dan pepaya yg kadang suka menjebak dg warnanya. Warna menarik tapi rasanya jungkir balik. Favoritku masih apel dan pisang. Rambutan juga kadang-kadang. dan jambu biji tentu saja. Hingga suatu kali, di Pemalang, di meja makan selalu tersedia sesisir pisang masak khusus buatku saat selera makanku menurun.

Dan baru-baru ini, saat aku sudah bekerja, ada seorang atasan yg menegangkan otot emosinya hanya gara-gara aku telat makan. Mataku berkaca-kaca. Bukan karena marahnya yg membuatku menangis. Tapi kepduliannya. Dia mengingatkanku pada ibunda yg jauh dimata. Dan lagi caranya memarahinya elegan. Tak seperti orang marah pada umumnya yg bersuara keras. Suaranya pelan, tapi tegas.

Kamu Bu, iya kamu. Bu Erika. Yg tak tahu siapa, tapi berani mengorbankan menegangkan otot hanya karena soal telat makan. Terimakasih aku ucapkan setulus hatiku. Beriring do'a yg terbaik bagimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar