Laman

Kamis, 05 Maret 2015

Aku Titipkan PKL

Ini catatan tertanggal 4 Maret 2015. Aku bekerja pada sebuah kantor yg menempati perumahan di daerah Dharmawangsa, Kebayoran Baru. Rumah disini tergolong perumahan elite. Setiap rumah pasti memiliki team scurity sendiri. Dan tentu masing-masing punya houskeeping, supir dan bisa jadi tukang kebun sepertiku. Di tengah perumahan super besar itu ada hotel, pusat perbelanjaan, dan perniagaan. Juga ada bangunan apartement yg biasanya ada orang-orang bekerja didalamnya.

Hal fital yg pasti setiap orang butuh adalah makanan. Maka di pinggiran jalan perumahan yg super besar dg segala aktifitasnya berjejerlah pedagang kaki lima. Baik yg semi permanen atau yg sekedar mangkal. Yg semi permanen biasanya ada beberapa alat atau bangunan yg musti ditinggal saat penjual libur atau tutup. Dan yg mangkal tinggalllah menyisakan kenangan dan rasa saja. Awal April 2014 lalu masih begitu banyak dan bebasnya pedagang makanan ini. Hampir seluruhnya semi permanen. Meski hanya sekedar meninggalkan gerobag dorongnya saja.

Awal perubahan terjadi saat Jokowi dan JK resmi menjadi presiden dan wakil presiden terpilih. Mula-mula mereka yg berada di sekitar apartement Brawijaya. Memang semua bangunan semi permanen. Aku sering berjalan kesana untuk mencari taksi atau membelikan makanan. Memang saat jam-jam makan siang sangat ramai sekali. Kemudian tempat itu menjadi sepi. Tak ada warung, tak ada pengunjung, tak ada taksi mangkal. Yg tersisa hanya pot besar berisi tanaman. Pedagang semi permanen hilang.

Aku masih ingat sekali sabda dari Gubernur DKI Jakarta pengganti Jokowi. Bahwa yg ditertibkan adalah mereka yg keberadaannya merusak fasilitas umum. Merusak taman sebagai lahan hijau kota atau yg mengganggu pengguna jalan. Maka masih selamatlah beberapa pedagang kaki lima dideretan itu. Karena tak merasa melanggar sabda, maka ketika ditertibkan berani menolak. Pun beberapa yg melanggar masih bisa selamat dari amukan satpol pp. Konon karena ada pajak bulanannya. Sementara yg melanggar sabda mendapat surat peringatan dan denda. Juga akan direlokasi. Atau silahkan untuk tidak melanggar sabda. Aku kelimpungan ketika waktu makan siang. Tak ada pedagang, tak ada makanan, tak ada yg dimakan. Kelaparan.

Sekian hari berselang, pedagang pun berdatangan kembali. Hampir semua pedagang menjadi menggunakan gerobag dorong. Atau ada juga yg menggunakan mobil bak terbuka. Kompor pun dipaksa tersusun di gerobag agar mudah dibawa saat datang penertiban. Aku bersyukur dengan kembalinya pedanggang yg dihantui penertiban. Bersyukur bisa kembali makan siang tanpa harus berjuang berat.
Peringatan dan denda tinggallah menjadi peringatan dan denda. Denda bisa dibayar dengan mudah karena pemasukan yg sangat lebih dari cukup. Bahkan kalau musti membayar upeti pun pasti para pedagang itu rela. Betapa tidak, keuntungannya bisa sangat besar. Daerah ini ramai sekali dengan apartement, hotel, sekolahan, dan beberapa kantor siluman.

Siang tertanggal diatas, tengah hari hujan. Orang dikantorku bekerja bakalan malas keluar mencari makan. Aku-lah yg mereka sebut pahlawan penyelamat perut lapar mereka. Setelah mengambil makanan untuk bos besar, telah menunggu tugas selanjutnya. Bos besar biasa makan makanan sehat dan higienis. Pesanan diordder melalui telephon. Untuk karyawan bisa dan biasa makan apa saja. Dan hujan ini para karyawan menghendaki soto betawi Bang Jali. Biasa mangkal di sebrang apartement Brawijaya, di sebelah masjid. Aku meluncur.

Ada hal aneh yg kurasai. Tapi entah apa. Setelah memesan 3 soto daging dan 1 soto daging paru. Lama baru aku menyadari, Bang Jali tiada. Iya, penjual yg menyebut diri Bang Jali itu tak kelihatan. Hanya tinggal istrinya. Biasanya yg berjualan memang Bang Jali sendiri bersama istri. Sekarang yg membantu istri Bang Jali itu seorang muda. Mungkin anaknya. Aku hendak bertanya, tapi ragu. Aku takut menumbuhkan kesedihan bila; Bang Jali telah meninggal misalnya, atau sedang sakit dirumah, atau hal lain yg menyedihkan pula ujungnya.

Tapi Ibu itu mencurahkan gelisahnya pula. Mungkin Si Ibu bisa melihat segudang tanda tanya di mataku prihal keabsenan Bang Jali. "Tadi pagi nggak boleh jualan, lurahnya datang kemari. Ember dan beberapa alat dibawa ke kelurahan. Sekarang Bapak lagi ngambil di kelurahan. Iya, bareng sama tukang nasi goreng pos, warung taman juga." Begitu keluhnya. Aku tak tega melihat kesedihannya.

Entah berapa banyak lagi pedagang yg mengalami nasib serupa. Entah dimana lagi tempat-tempat yg mengalami penertiban. Inilah wajah kehidupan kota. Inilah wajah kehidupan Indonesia. Yg tak pro pemerintah adalah teroris. Sedang mereka, orang-orang itu, selalu memelas dukungan saat kampanye pemilu. Sedang mereka mengaku-aku jasanya saat pemilu kembali. Mereka itu selalu melupakan pemilihnya sendiri.

Koh Ahok, aku titipkan jiwa-jiwa kelaparan para perantau ini padamu. Aku titipkan seluruh penghuni Jakarta ini padamu. Aku titipkan tetumbuhan, bebatuan, pasar-pasar, terminal, jalan dan rerumputan. Aku titipkan kakek, nenek, ayah dan ibu. Kakak, adik, teman, saudara dan semua orang terkasihku. Aku titipkan para pedagang kaki lima ini padamu. Karena kau Gubernur DKI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar