Laman

Minggu, 14 April 2013

Cerita Sang Kyai


Berawal dari jum'at yang membingungkan. Titipan legalisir Mba memaksa aku berkeliaran setelah hujan. Bahkan saat hujan kembali menderas. Menemui seorang teman yang masih tersisa di pesantren yang juga bersekolah di STAIN. Meskipun masih banyak yang aku kenal disana, tapi hanya satu itulah lah yang masih tetap mau membantu. Maka aku titipkan semua itu pada teman itu. Legalisir STAIN dan MAN. Dan senin menjadi hari pertemuan kembali setelah semua urusan selesai.

Aku menunggu diwarung langganankku saat aku masih di MAN dulu. Menyedu kopi Good Day Capucino ditemani Gudang garam merah kesukaanku. Setelah Memberi tahu SangTeman bahwa aku menunggu di warung tersebut tentunya. Lalu pemilik warung itu menceritakan sejarah yang teramat pahit menurutku. Sayang sekali, itu keburukan para penghuni pesantren.

Bagaimana mencari dan mempegaruhi Massa(Orang banyak). Apakah dengan kesabaran, rasa peduli atau dengan kepedulian yang berlebihan hingga warna cat rumah pun dipilihkannya. Sang Kyai memaki Bu Warung hanya karena mengikuti jalan sehat yang di adakan Rukah Sakit Kristen. Mereka membakar kaos seragam jalan sehat pemberian rumah sakit untuk Bu Warung, membakar kupon undian dan masih terus menggunjingnya hingga kini. Oleh Sang Nyai. Betapa menyakitkannya.

Lalu sesaat berlalu. Setelah cerita itu hilang ditelan kesibukan Bu Warung sendiri aku kembali menikmati kopi dan rokokku. Tak lama datang sebuah pesan pendek ke HP Bu Warung. Bapak membacakannya. Sebuah undangan Perjanjenan yang biasa dilakukan ibu-ibu muslimat yang belakangan aku tahu ternayata Sang Nyai adalah  ketua Muslimat NU Ranting desa tersebut. Kembali keluh kasah itu menggunung.

Gangguan dari jenis pekerjaan, harta, waktu, dan kedudukan menikam dari ulu hati menuju ulu jantung. Ketika harapan pada sebuah undangan menginginkannya datang pada pukul 10 pagi, maka bagi pedagang seperti Bu Warung sedang sibuk-sibuknya mencari nafkah sekedar untuk makan. Tak seperti Sang Nyai yang notabene istri pegawai negeri. Dan seperti Bu Sekretaris ranting. Dan mungkin ibu-ibu Muslimat yang lain juga.

Apa mereka para Kyai, Nyai dan santri-santrinya tak memikirkan ini? Atau aku yang telah menjadi murtad dari pesantren yang telah terkontaminasi dengan dunia luar yang menjadi semakin brutal? Enatah lah.

Aku mengira seharusnya mereka yang mengenal islam lebih dalam tak seharusnya berlaku demikian. Seharunya mereka memberikan wejangan dengan lebih halus. Bukankah begitu yang termaktub dalam mushaf yang selalu mereka baca? Sementara mereka pun gerah melihat kekeraan-kekerasan atas nama agama yang sering terjadi.

Apa ini benar-benar murni hanya karena perebutan kekuasaan? atau lebih halunya perebutan pengaruh? Lalu ketika Kyai dan Nyai pun telah berlaku demikian, siapa yang akan menegur mereka???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar