Berkelbat di Malam
Ke-II
Salah satu
tanda bahwa manusia itu hidup adalah berpikir. Setiap nafas yang terhembus ini
selalu saja terasa berat. Karena selalu saja mengandung pikiran di setiap
hembusnya. Saking benyaknya dan saking berbedanya pikiran disetiap hembusan itu
sering kali tak terabadikan. Atau sering kali menguap sia-sia seperti nafa itu
sendiri. Entah pikiran yang muncul karena dipikirkan secara serius maupun
jenaka. Pemikiran itu tentu memerlukan energi lebih ketimbang mencangkul sebidang
tanah.
Di malam ke-II ramadhan 1434 H
ini muncul kembali keinginan untuk terus menulis. Tugasnya menulis apa saja
yang terlintas. Menulis tentang awal mula menyenangi tulis menulis. Tentang
kenapa harus menulis atau tujuan menulis. Menulis rutinitas, dari yang paling
pribadi hingga yang bernilai budi pekerti paling tinggi.
Awal mula menulis, jelas ketika
pertama kali aku memasuki ruang kelas. Sekolah. Langsung SD waktu itu. Tapi aku
tak ingat barang sedikitpun tentang itu. Sisa-sisa dokumentasinya pun entah
kemana. Yang aku ingat, kelas 1 SD aku tidak hafal huruf “j”.
Memasuki MTs kelas I Cawu
pertama, nilai Bahasa Indonesiaku tertinggi seantero kelas I. Yang masih aku
ingat guru dan pelajarannya. Pak Darsi dan pelajaran tentang majas. Hiperbola,
personifikasi, ironi dan lain-lain. Itu belum mulai menulis karya. Menulisnya
masih bentuk-bentuk tuntutan pelajaran sekolah dan mengaji semata. Mengaji di
TPQ, enulis ilmu tajwid, fiqih, akhlaq, tauhid. Ya yang ringan-ringan lah.
Berawal dari tugas membuat puisi
di kelas II. Masih pelajaran Bahasa Indonesia. Gurunya Pak Napan. Itu karya
pertama. Tapi entah kemana dokumentasinya. Semasa MTs hanya itu saja karyaku,
sekali saja. Ya karena tugas itu juga. Dan karya-karya yang lain menyusul saat
MAN. Jauh dari orang tua, tidak punya teman, merasa sepi dikeramaian. Dan
suasana itu yang kemudian menculkan puisi-puisi. Temanya berkisar pada
kerinduan. Hampir setiap istirahat menoreh satu judul puisi. Pada mulanya. Tapi
setelah punya teman dan saling kenal, menjadi jarang menulis puisi. Meski masih
terus berkarya.
Kelas II tema dan tata bahasa
beralih. Menjadi ke-islam-islaman. Ya, mulai meresapi kehidupan pesantren.
Tentang kelaparan, pasang surut iman, kehidupan alam ghoib. Ya yang
begitu-begitu lah. Dan mulai banyak membaca. Karya-karya Ahmad tohari bayak
yang terbaca, Trilogi ronggeng dukuh paruk, bekisar merah, kubah, orang-orang
proyek juga bagus itu. Juga novel-novel remaja. Tapi tidak tahu kenapa ketika
disuguhi Dealova kok tidak tertarik. Malah milih koran dan ensiklopedi sains.
Sumbernya ya perpustakaan sekolah.
Kelas III tidak lulus ujian.
Pindah ke Pemalang. Dan tulisan-tulisannya menjadi seikit bermuatan kerikil.
Punya visi misi hidup yang jelas. Mulai punya tujuan hidup yang wajar, tidak
sekarepe dewak. Tapi sudah mulai menyenangi novel-novel berat seperti Dunia
sophie. Ketika disodori KCB melah emoh. Dan setelah dunia sophie itu jadi
kepengin nulis novel juga. Dan seketika itu lasung dimulai juga. Garis-garis
besarnya, dan sempat menulis beberapa lembar tapi gagal juga. Entah karena
tidak baka, atau karena malas mungkin. Tapi mulai punya cita-cita ngumpulin
buku sendiri.
Meski nulis novel gagal, tapi
menulis puisi jalan terus. Lulus MAN Pemalang ke Jakarta, tepi kemudian berdiam
di Bekasi. Sama juga, curahannya ya ke puisi. Setiap event, setiap moment, yang
sedih yang bahagia. Larinya ke buku. Puisi. 2009 kuliah, pun sama terus menulis
puisi.puisi-puisi yang tercipta banyak sekali yang hilang ya pada masa kuliah
ini. Malam hari, mau tidur, nulis di HP, siemens yang doraemon. Kalau sudah
jadi kirim ke banyak. Selesai, hapus, tidur.
Lah pas kuliah itu ketemu temen,
IPNU kedung banteng. Ditantang ikut jambore pelajar IPNU-IPPNU. Ikut. Kesengsem
sama ketua IPPNU komsat SMK ma’arif Cilongok. Ketemu nomer Hpnya, menjadi salah
satu target sms ke banyak. Terus dikenalin sama Doni. Dini Rahmat aziz.
Ajibarang.
Lah dari perkenalan itu kemudian
kembali menggali lebih dalam tentang tulisan. Didukung dengan tanggung jawab
terbitnya majalah Pewejete News. Karya PAC Purwojati. Kemudian ketemu juga sama
Aminurrohman, Susanto, Mahbub dan orang-orang ajibarang yang gemar menulis
pula. Semakin banyak baca dan koleksi buku-buku. Mulai mendokumentasikan
tulisan pribadi. Kalau yang dari Man masih banyak yang terselamatkan.
Kebanyakan masalah remaja. Cinta monyet lah.
Dan terkhir, ketika tulisan ini
di buat, tiba-tiba teringat pertanyaan; kenapa Nur Salis Sahid itu menulis?
Yang nanya Pak Guru Tarno. Nama lengkapnya aku tidak tahu. Dari kecamatan
ajibarang juga. Tepatnya Jingkang. Plosok sekali, tapi Pak Tarno ini suka
mikir. Jadi tidak mudah menerima jawaban. Apalagi jawaban asal-asalan.
Setelah ingat pertanyaan itu,
seketika itu pula aku pula kau langsung bisa menjawab. “Untuk menyuarakan
pikiran dan perasaan yang tidak bisa dan tidak biasa disampaikan secara lisan”.
Itu saja yag membuat aku masih bertahan menulis hingga sekarang. Perkara suara
itu tersampaikan atau didengar apa tidak, itu urusan belakangan. Yang penting
isi otak dan perasaan sudah tertuang kelahan lain. Minimal mengurangi beban
pikiran dan perasaan. Mencegah stres. Jadi tidak pernah mikir, mau terbit apa
tidak. Ini bagus apa tidak, ini mengena apa tidak. Semua itu tidak penting.
Yang penting apa yang aku pikirkan, apa yang aku rasakan apa yang ingin aku
sampaikan sudah di tuliskan. Ditulis, minimal untuk diri sendiri. Barang kali
kalau besok aku mati, tulisan itu bisa dibaca orang banyak. Jadi mereka tahu
pikiran dan perasaanku.
Kalau dipikir-pikir, setiap orang
ketika menulis ya punya tujuannya sendiri-sendiri. Apalagi menulis yang niatan
dan tujuannya tdak pernah diajarkan. Wong sholat yang diajari niatnya suruh
Lillahi ta’ala saja dimasing-masing orang menjadi berbeda tujuan. Ada yang
sholat karena takut neraka. Ada yang karena kepengin surga. Ada yang karena
“ora kepenak tangga”. Dan lain-lain lah. Menulis juga begitu. Menulis untuk
yang baik-baik, untuk Lillahi ta’ala juga bisa.
Misalnya menulis sebagai ganti
dakwah mimbar. Menulis untuk agama itu katanya Lillahi ta’ala, kan? Menulis sebagai ganti ngaji juga bisa.
Misalnya ngaji di TPQ atau Madin direkam. Terus ditulis, lengkap dengan
guyonannya juga bisa, kan? Tapi ya menulis untuk yang jelek-jelek juga bisa.
Misalnya menulis berita bohong di koran-koran. Menulis kejelekan-kejelekan
orang, lalu sebar luaskan.menulis, ya pokoknya yang tujuannya jelek lah. Bukan
tulisannya yang jelek. Ata bisa juga menulis untuk mendongkrak pemasukan
ekonomi atau barang kali numpang exis di media masa juga bisa.
Jadi tinggal kita mau pilih yang
mana. Pilih yang biasa apa yang luar biasa. Atau tidak milih pun termasuk
pilihan, kan? Ya meskipun ada yang bilang; “Menulis untuk hidup abadi”, “Menulis
sebagai bentuk manusia beradab”, atau “Menulis untuk membangun peradaban” dan
lain-lain, tapi kenapa aku menulis ya karena aku ingin menulis. Dan kenapa
kalian menulis, ya terserah kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar