Laman

Sabtu, 30 Maret 2013

Mengenang Satu Tahun Mbah Kirwen

Benar sekali. Manusia itu tak pernah habis untuk dikaji. Manusia tak semudah jenis tetumbuhan dan hewan-hewan. Di kelompok-kelompokkan, di kelas-kelaskan dan di pisah berdasarkan jenisnya. Tetapi manusia selalu memiliki perbedaan yang nyata.
Seperti turun gunungnya Mbah Kirwen 10 tahun yang lalu dan membuat ceritanya sendiri. Seorang janda yang bertahan entah berapa lama itu memaksaku untuk kembali menyelami masa hidupnya. Satu-satunya janda yang tetap mengadakan kumpulan RT dirumahnya meski telah tak bersuami.

Yang pernah aku lakukan untuk membantunya, membuat aku tahu jumlah lahan yang dimilikinya sebagai seorang petani. Yang kau tahu ada 2 petak lahan perkebunan di pinggiran sungai, dua petak sawah dan satu lahan perkebunan di kaki bukit. Tapi beliau tak pernah berkonsisten untuk mengenmbangkan itu.

Lalu peralihan jiwaku dari remaja menginjak dewasa memahaminya sebagai Si Tangan Bertuah. Entah dari mana beliau belajaran pijat-memijat itu dimulai. Tetapi banyak orang yang berlangganan pada Tangan bertuahnya itu.

Kepulanganku merantau sering menjadikan badan ini terasa pegal-pegal. Bahkan tak jarang kepalaku pusing, tangan kaki kesemutan dan susah buang air besar. Disaat seperti itu maka Mbah Kirwen yang menjadi dokterku. Memegang leher, tangan dan kakiku. Lalu bertanya, “tangan dan kaki kesemutan?” aku pun mengangguk. Maka beliau pun mulai memijat-pijat perutku. Katanya usus-usus dalam perutku tidak tertata dengan rapih. Akibat bekerja keras, main jungkir balik, atau lompat-lompatan. Dalam bayanganku, mungkin naik motor dengan sering “kejeglong” termasuk dalam penyebab itu. Maka aku pun berkata “iya.”

Aku pun disuruhnya mengangkat lututku, ditekuk ke atas. Sembari berbaring tengadah. 15 menit kemudian aku meminta ijin untuk buang angin. Dan baunya luar biasa. “ya. Sudah selesai. Makan sanah!” serunya. Benar saja, nafsu makanku kembali pulih. Pusing-pusing di kepalaku lenyap, suhu badan pun turun, kaki tangan tak kesemutan lagi. Dan selesai maka aku menjadi berhasrat untuk BAB.

Dari yang pertama itu, setiap kali aku merasakan hal seperti yang telah aku gambarkan itu maka aku mencari Mbah Kirwen sebagai dokternya. Tak sekali dua kali, tapi sering kali. Kecuali untuk hari sabtu.

Dimulai dari jum’at sore waktu magrib hingga sabtu tengah malam beliau libur dari menerima pasien pijat. Tak terkecuali aku. Cucuknya. Dan pada hari libur itu beliau mandi keramas. Hal itu mudah saja ditengarai. Dari rambutnya yang biasanya digelung itu kemudian menjadi diurai.
Beliau bukan tukang pijat sembarangan dengan tangan bertuahnya itu. Tetapi otak dan hatinya juga sering bekerja sama. Beliau mengingat-ingat benar cucuk-cucuknya yang lahir pada hari bertuah. Maka cucuk tersebut pasti akan lebih dimanja. Mungkin baginya, Si Cucuk yang lahir pada hari bertuah itu yang bisa menjadi besar dikemudian hari.

Sederhana sekali baginya. Kepercayaannya pada mantri jebolan Karang Wangkalitu menjadikan seorang petugas peracik obat sebuah rumah sakit sebagai dokter satu-satunya yang bisa mengobati apa yag beliau deritakan. Tetapi yang demikian tak diterima oleh banyak anak dan menantunya. Bagi mereka beliau terlalu ngirit menjadi pelit.

Ngirit dan pelitnya bukan untuk beramal atau bentuk apapun. Tetapi untuk membeli perhiasan bagi dirinya. Terlihat denganseing bergantinya cincin emas di jari-jari tangannya. Karena beliau punya cincin lebih dari jumlah jari tangannya.

Kata mereka, orang setua itu belum sedikitpun memikirkan hari-harinya di alam kubur nanti. Masih juga memikirkan dirinya sendiri dan kesenangan duniawi. Beliau masih terus menumpuk dan menumpuk harta. Dari 10 kali beliau memijat pasiennya, bisa dibelikannya sebuah cin-cin. Sementara untuk makan dipercayakan pada hasil pertaniaannya.

Saat orang-orang tua seumurannya sudah mulai mendekatkan diri dengan penguasa jagad raya tetapi tidak bagi Mbah Kirwen.banyak mbah-mbah sepuh yang aktif mengikuti kegiatan mengaji pada jum’at sore. Tetapi Mbah Kirwen belum tergugah. Sementara anak pertamanya menjadi panutan agama di desanya.

Jelang akhir, beliaupun terpaksa harus masuk rumah sakit. Beliau terus memegangi perutnya. Dan menurut dokter, usus-usus di perutnya telah banyak berlubang. Jadi itu harus dipotong atau di oprasi. Pihak keluarga yang dikepalai oleh ayahku pun menerima keputusan itu. Pada 14 Januari 2012.

Oprasi dimulai setelah isa. Kata dokter, oprasi ini termasuk oprasi ringan. Tetapi tetap harus berdoa. Jenis oprasi ringan ini ternyata belum selesai hingga lepas tengah malam.
Pihak keluarga mulai ketakutan.semakin tak tentu. Satu-satu dari mereka yang ikut menunggu semakin sering berpindah-pindah tempat ketika menunggunya. Lalu berpindah lagi, lagi dan lagi.

Dokter pun keluar. Menjelaskan bahwa di anusnya ada tumor, ganas sekali. Sehingga proses oprasi itu menjadi lama. Dan tumor itu telah berhasil diangkat. Tetapi untuk membebaskan dari tumor secara permanen harus mengikuti kemoteraphi. Mbah Kirwen pun di bawa keruang ICU. Dan dia telah sadar saat obat bius itu seharusnya masih bekerja. Itu kekuatan dari dalam diri Mbah Kirwen yang sangat luar biasa dan selalu semangat untuk hidup.
Semiggu beliau berada di rumahsakit. Dengan kemoteraphi dua kali sehari. Beliau terlihat sudah mulai segar. Hanya sekali-kali mengeluh.

Kemudian dirumah, dengan perawatan seadanya, karena tak ada dokter atau perawat sungguhan. Dengan jalan pembuangan anus ditutup. Digantikan dengan membuat lobang baru di perut sebelah kanannya. Lobang itu digantungi plastik untuk menampung kotoran yang keluar setelah proses pencernaan. Ketika duduk maka air kotoran itu mnyebar membasahi tubuhnya.

Setelah lepas dari rumah sakit itu kemudian diharuskan untuk kemoteraphi 12x2minggu. Jadi setiap dua minggu sekali Mbah Kirwen  akan di kemo sampai 12 kemo. Berarti menjadi 6 bulan sebanyak 12 kali kemo.

Pada kemoteraphinya yang ke-5 terlihat tanda-tanda kelemahan. Hal ini pernah diperdebatkan pihak keluarga saat dokter mewajibkan kemoteraphi. Karena sedikit sekali manusia yang bisa bertahan dalam menjalani teraphi dengan kemo itu. Kalau pun bertahan, selesai teraphi tersebut orang itu akan menjadi semakin ringkih.

Beliau terus dan terus mengeluh. Tidak ada lagi selera untuk makan dan minum. Bosan dengan kelemahannya. Bosan terus terbaring tanpa bisa bergerak. Bosan harus terus tergantung dengan orang lain. Bosan merepotkan anak cucuknya.

Tiga hari sebelum komoteraphinya yang ke-6 Mbah Kirwen menghembuskan nafas terkhirnya setelah semua anaknya berkumpul. Tetapi belum cucuk-cucuknya. Hari senin itu, 19 Maret 2012.

Setahun kemudian. Saat peringatan satu tahun meninggalnya, aku tak sengaja membaca sebuah hadits. “Termasuk mati syahid orang-orang yang menderita penyakit perut.” Mbah Kirwen semoga termasuk didalamnya. Penyakit beliau semoga tergolong penyakit perut. Menepis anggapan bahwa beliau bukan orang yang mempersiapkan kehidupan akhiratnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar