Laman

Rabu, 11 Februari 2015

Hujan Dan Mengingat Tuhan

Hari ke 10 bulan Februari, pagi itu hujan semakin menderas. Padahal hari sebelumnya sudah hujan seharian tanpa henti. Meskipun hujan tak besar, tapi Jakarta sudah banjir. Banjir tahun lalu orang menyalahkan kiriman dari Bogor. Sementara sekarang Bogor terang benderang pun tetap banjir. Apa yg salah? Kata Gubernur DKI, pompa letoy. Menyalahkan PLN yg memadamkan listrik sebagai sumber energi pompa. Katanya banjir belum gede kenapa sudah dipadamin? Lah dihari itu juga ada korban yg tersengat aliran listrik akibat banjir. Lah Jakarta kan semua kabel listrik lewat tanah kan? Iya kan? Kok saya tidak pernah lihat ada tiang listrik. Tapi sudah lah. Saya tidak hendak menyalahkan siapa-siapa. Sebenarnya saya juga tidak hendak menyampaikan tentang itu. Biar yg punya kewajiban yg mengurusi. Saya tidak mau ikut mencampuri.

Hujan dua hari itu ternyata menggenangkan air dimanapun. Termasuk jalan yg biasa aku lalui berangkat kerja. Jalan itu legok. Landai barang sedalam setengah meter, sepanjang 3 sampai 4 meter. Pada hari pertama aku melewati itu belum begitu banyak air menggenang. Mungkin baru sekitar 3-10 centi meter. Tapi pada hari kedua saya lihat air menggenang sapanjang hampir 2 meter panjang jalan. Mungkin kedalamannya sampai 15-20 centi meter. Dari jauh aku melihat banyak motor yg berjalan melambat ketika hendak melewati genangan itu. Pasti air bakal muncrat jika dilewati dengan kecepatan tinggi. Mobil pun sama. Melambat pula melewati genangan itu. Ah, pagi itu aku lupa gak membawa payungku. Padahal hujan menderas, kan? Maka dengan terburu-buru aku lewat saja jalan satu-satunya itu. Dan, ah selalu saja mobil yg lewat saat aku berada di puncak genangan terdalam itu terlalu kencang. Dan tentu saja cipratan air yg muncrat dari genangan itu menganai tubuhku. Dan bertambah basah saja pakaian dan tentu tas punggungku. Aku selalu tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengucapkan kata yg tak selesai aku ucapkan. Tinggallah menjadi frasa tak bermakna. Tapi hati ini tau maknanya. Frasa itu adalah "as". Cepat-cepat aku beristighfar. Semoga Si Pembawa mobil selamat sampai tujuan.

Aku pulang sudah terlalu larut dan cape. Cepat-cepat aku pulang kerumah hendak rehat. Tak banyak kejadian di jalan. Hujan itu sudah reda dari sore. Bahkan matari sempat menampakkan diri. Aku pikir kubangan air itu telah kering. Tapi untuk berjaga aku melwati jalan memutar dan menjadi jauh sekali. Ya sudah lah. Cape ini jelas menjadi bertambah cape.

Kopaja pun datang. Aku menaikinya. Mendapat tempat duduk yg aku ingin. Karena masih banyak kursi kosong. Ah paling nanti dioper. Begitu pikirku. Tapi ternyata tidak. Seperti biasa penumpang pasti akan habis ketika melewati AB(aneka buana) Pondok Labu. Tapi jalan tempat aku turun masih jauh di depan sana. Tinggal aku seorang yg tinggal. Tapi tepat saat aku turun kopaja masih berjalan super ngebut. Sudah aku ketok-ketok kaca  pintunya pun dia masih terus jalan. Akhirnya aku teriak kencang baru dia berhenti. Dan jalan pulangku yerlewat barang 50 meter. Ah hampir saja aku mengulangi kata yg tak sempurna dan tinggallah menjadi frasa saja.

Terimakasih Tuhan masih terus mengingatkanku untuk terus mengingat-Mu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar