Laman

Rabu, 25 Februari 2015

Gus Nuril Dipaksa Turun I

Baru-baru ini Gus Nuril kembali muncul ke media. Hebohnya karena dipaksa turun dari panggung. Entah beliau itu sedang memberikan ceramah atau sedang memimpin pembacaan maulid, aku tak tahu. Dan tentu tak mau tahu. Karena inti beritanya memang penurunan secara paksa oleh seorang "habib".

Ditempat aku tinggal, dulu pernah aku mendengar istilah "kyai keclethot". Entah siapa yg memulai, tapi istilah itu sudah memukul nama kyai dimanapun. Untungnya bukan kyai nasional, yg ke-keclethot-annya menjadi sensasional. Yg digelari "kyai keclethot" itu mungkin memmang menasional. Tapi tidak semua orang tahu. Pun saat itu --saat pemilihan bupati secara langsung yg pertama di Banyumas(2008)-- masih banyak orang mempertanyakan, siapa gerangan kyai yg menjadi orang pertama didatangi oleh bupati terpilih saat itu. Siapa kyai itu ya silahkan tebak sendiri lah. Karena kalau saya yg sebut, selain mempopulerkan beliau dalam hal politik juga melabelinya dengan "kyai keclethot".

Keclethot istilah tergelincir untuk lidah. Kalau kaki tergelincir itu kepleset, sedang lidah tergelincir itu keclethot. Kyai yg lidahnya tergelincir, atau ucapannya bisa menjatuhkan dirinya. Atau bisa jadi ucapannya bukan sepantasnya keluar dari mulut seorang da'i. Di Purwojati itu beliau tidak mengasuh pondok pesantren, pun tidak manggung secara berlebihan. Jadi itungan santrinya tidak jelas. Dan bukti ke-keclethot-annya susah ditelusuri. Aplagi kalau sumbernya berasal dari ibu-ibu muslimat yg setiap Jum'at sore mengaji di rumah beliau. Lah wong ibu-ibu kan memang biang gosip. Tapi masalah keclethot ini jelas manusiawi. Menunjuka bahwa kyai juga manusia. Atau dengan keclethot demikian, Kyai mempunyai maksud tertentu yg sebernarnya jauh dari apa yg dikatakannya. Atau mungkin kebalikan dari yg dikatakannya. Pun semua demi beberapa buah kebaikan. Aku yakin itu. Dan keyakinan itu tidak bisa ditawar.

Seseorang meminta pendapatku tentang hal yg menimpa Gus Nuril. Dan di tahun 2007 seseorang meminta pandapatku tentang Gus Dur. Tentang Gus Dur teman yg bertanya bahkan membawakan sebuah buku yg mencatat kesalahan-kesalahan Gus Dur. Yg mencium medali lah, membela Inul lah, yg ini lah yg itu lah. Dan satu yg jadi perhatianku kawan, kalau tidak salah buku itu bergambar partai yg bersebrangan dengan Gus Dur. Jika iya berarti itu buku politik. Kalau njenengan mencari kebenaran jangan pakai buku itu sebagai acuan.

Belakangan kemudian muncul Gus Nuril. Panglima Pasukan Berani Mati. Yg sebenarnya orang-orang macam ini seperti kebal senjata. Jadog. Itu diperolah melalui tirakat. Gus Nuril nyleneh dengan manggung di gereja. Mengusung idiologi pluralisme warisan Gus Dur untuk Indonesian. Dan belakangan lagi muncul berita sebagaimana awal tulisan ini. Aku tidak akan mengomentari. Tapi suatu kali harus menyikapi. Karena dunia Gus Nuril berkaitan dengan duniaku. Sesama islam, sesama NU, sesama Indonesia.

Nylenehnya berdakwah digereja bagi saya biasa saja. Saya pikir beliau manggung di gereja juga bukan kemauan sendiri. Tetapi haya sekedar memenuhi undangan. Sekarang coba bayangkan andai Panjenengan jadi ta'mir masjid! Kemudian kedatanga seorang pastur yg tiba-tiba masuk masjid dan khotbah di masjin Panjenengan pas dihari 'iedul fitr. Sama Panjenengan itu pastus disuruh turun apa dibiarkan sampai selesai? Lalu pada suatu ketika dalam majelis kyai-kyai atau santri-santri membutuhkan keterangan yg mendalam tentang sebuah ilmu. Dan kebetulan yg memahami tentang ilmu itu hanya seorang saja dan kebetulan pastur. Dan pastur pun diundang dalam majelis kyai atau santri. Saya pikir pastur akan bebas berbicara sampai selesai tanpa penuruna secara paksa. Chusnudhon saja lah. Kita tidak tahu apa beliau rencanakan dan apayg Tuhan rencanakan dengan memunculkan beliau di bumi Indonesia.

Mana yg benar antara habib kontra Gus Nuril? Menurut saya dua-duanya tidak ada yg salah. Meskipun secara pribadi saya belum menemu habib yg cocok dihati saya kecuali Chabib Makky, pengasuh saya saat di pesantren. Dan banyak orang mengagumi habib Lutfi Pekalongan. Dan dari cerita pengagumnya itu pun saya jelas ikut kagum. Tapi pertemuan secara pribadi dan pertukaran ilmu dan sikap belum pernah terjadi. Jadi kekaguman itu hanya tinggal cerita pengaagum. Bila datang cerita yg melunturkan kekaguman mungkin kekaguman saya akan sirna juga. Karena kebanyakan habib yg saya jumpai itu menikmati hidup dengan gelar habibnya. Dalam istilah jawa, kakudung welulang macan. Berkerodong kulit macan biar disangka macan. Padahal anak kucing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar