Laman

Rabu, 17 Februari 2016

AKU MENOLAK

Belakangan ini muncul dan berkembang banyak sekali barisan sakit hati. Itu penilaian saya. Sebagian lagi menilai sebagai pengadu domba. Berarti kamu dombanya dong. Dilain bagian menilai bahwa itu adalah jalan yang lurus dan bagian terakhir menilai “kita harus ikut membesarkan gerakan itu”. Mbah-mu sih.
Dimata saya, sempalan atau sparatis atau pecahan dari bineka yang banyak sekali di Indonesia itu lumrah kan? Gamblangnya, di Jawa yang satu pulau saja sudah tak terbilang banyaknya perbedaan bahasa dan budaya. Mulai dari Anyer sampai Panarukan.
Tapi kemudian dengan kemerdekaan Indonesia, air dan minyak tetap tidak bisa bersatu. Maka jangan dipersatukan kecuali memang resepnya begitu. Misalnya; dalam semangkuk mie ayam tentu ada bagian minyak dan air. Dan kurang salah satu dari dua itu jelas tidak enak. Kelebihan salah satu pun kurang nikmat. Itulah yang seharusnya disadari dari setiap perbedaan. Pasti ada komposisi yang menjadikan semua perbedaan itu bersatu tapi tetap enak dinikmati.
Bahwa yang mengaku agama rahmatan lil ‘alamin justeru semakin hari semakin gaduh. Ditempat asal lahir dan berkembangnya agama ini sudah sejak lama terjadi perang yang tentu entah sampai kapan akan berakhir. Dan kini negara dengan penduduk muslim terbesar didunia sedang diguncangkan dengan berbagai isu anarkisme seperti teroris ala Abu Bakar Ba’asyir, atau premanisme ala Habib Riziq atau mungkin NUGL yang ngaku-ngaku jadi orang NU.
Lah sore tadi saya baca berita yang bersumber dari media on line bahwa akan ada deklarasi dan pelantikan pengurus cabang FPI di kab. Banyumas. Wuih, itu kabupaten kelahiranku. Masa iya saya tak ikut komentar?
Begini!!! Dalam ingatan saya, FPI yang kalian sebut sebagai laskar penthung itu adalah kelompok islam yang benar-benar anti maksiat. Atau mungkin pura-pura anti maksiat untuk sebuah jargon, sebuah image, sebuah pangkat bahwa ‘kami laskar islam anti maksiat’. Lalu apa FPI menurut kalian? Ahli kekerasan kah? Anti toleran kah? Atau --saya kasih pilihan yang baru—mereka adalah barisan orang-orang yang benar-benar benci kemungkaran dan sudah tak sabar menunggu usaha dakwah para kyai dan lulusan pesantren NU. Yang nyatanya, tahun demi tahun tak semakin surut malah justeru semakin parah.
Kebesaran NU dibanding FPI atau NUGL saya yakin bukan apa-apa. Jika NU itu adalah organisasi yang sehat. Sekarang aku bertanya pada kalian yang masih aktif di dalam NU, apakan NU organisasi yang sehat? Sekarang ini bagiku cukup tahu sejarah dan perkembangannya saja.
Kemudian seorang teman yang kecamatannya akan menjadi tuan rumah bagi pemimpin pusat FPI sekaligus tempat deklarasi dan pelantikan pengurus cabang Kab. Banyumas itu meminta saya menulis sesuatu. Maka pendapat saya demikian.
Pemerintah pusat saja tak bereaksi apa pun atas aksi yang dilakukan FPI, apa daya dengan pengurus daerah?
Sementara jika IPNI-IPPNU cilongok menerima kehadiaran organisasi baru itu di Banyumas dengan syarat mengedepankan dialog dibanding tindak anarkis, mungkinkah? Kalau latar belakang pengajuan anggota FPI di Banyumas untuk dideklarasikan karena lelednya agama NU dan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan terbesar, menanggulangi, mengurangi, malah menambah daftar kemaksiatan.
Tentu sebuah kontrofersi jika IPNU-IPPNU mendukung kehadiaran FPI.  Tapi sebuah kontrofersi yang terburu-buru dan amat konyol. Karena menurut saya FPI tidak akan memenuhi tuntutan IPNU-IPPNU. Wong Gubernur, Walikota, Bupati saja mereka lawan, apa lagi PAC IPNU-IPPNU.
Saya pribadi menolak sikap siapapun yang berbuat anarkis. Bahkan jika itu dibawah kyai NU sekali pun. “Karena tidak ada paksaan dalam beragama”. Yang artinya tidak ada paksaan untuk berhenti bermaksiat. Kecuali mereka yang bertanggung jawab terhadap individu yang melakukan maksiat. Seperti suami memaksa istri, ayah terhadap anaknya, guru terhadap murid atau wali terhadap muwali. Jadi no anarkisme, no paksa-paksa, no premanisme berkedo nahi mungkar.

Sukoharjo, 17 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar