Belakangan ini muncul dan berkembang banyak sekali barisan
sakit hati. Itu penilaian saya. Sebagian lagi menilai sebagai pengadu domba. Berarti
kamu dombanya dong. Dilain bagian menilai bahwa itu adalah jalan yang lurus dan
bagian terakhir menilai “kita harus ikut membesarkan gerakan itu”. Mbah-mu sih.
Dimata saya, sempalan atau sparatis atau pecahan dari bineka
yang banyak sekali di Indonesia itu lumrah kan? Gamblangnya, di Jawa yang satu
pulau saja sudah tak terbilang banyaknya perbedaan bahasa dan budaya. Mulai dari
Anyer sampai Panarukan.
Tapi kemudian dengan kemerdekaan Indonesia, air dan minyak
tetap tidak bisa bersatu. Maka jangan dipersatukan kecuali memang resepnya
begitu. Misalnya; dalam semangkuk mie ayam tentu ada bagian minyak dan air. Dan
kurang salah satu dari dua itu jelas tidak enak. Kelebihan salah satu pun
kurang nikmat. Itulah yang seharusnya disadari dari setiap perbedaan. Pasti ada
komposisi yang menjadikan semua perbedaan itu bersatu tapi tetap enak
dinikmati.
Bahwa yang mengaku agama rahmatan lil ‘alamin justeru
semakin hari semakin gaduh. Ditempat asal lahir dan berkembangnya agama ini
sudah sejak lama terjadi perang yang tentu entah sampai kapan akan berakhir. Dan
kini negara dengan penduduk muslim terbesar didunia sedang diguncangkan dengan
berbagai isu anarkisme seperti teroris ala Abu Bakar Ba’asyir, atau premanisme
ala Habib Riziq atau mungkin NUGL yang ngaku-ngaku jadi orang NU.
Lah sore tadi saya baca berita yang bersumber dari media on
line bahwa akan ada deklarasi dan pelantikan pengurus cabang FPI di kab. Banyumas.
Wuih, itu kabupaten kelahiranku. Masa iya saya tak ikut komentar?
Begini!!! Dalam ingatan saya, FPI yang kalian sebut sebagai
laskar penthung itu adalah kelompok islam yang benar-benar anti maksiat. Atau
mungkin pura-pura anti maksiat untuk sebuah jargon, sebuah image, sebuah
pangkat bahwa ‘kami laskar islam anti maksiat’. Lalu apa FPI menurut kalian? Ahli
kekerasan kah? Anti toleran kah? Atau --saya kasih pilihan yang baru—mereka adalah
barisan orang-orang yang benar-benar benci kemungkaran dan sudah tak sabar
menunggu usaha dakwah para kyai dan lulusan pesantren NU. Yang nyatanya, tahun
demi tahun tak semakin surut malah justeru semakin parah.
Kebesaran NU dibanding FPI atau NUGL saya yakin bukan
apa-apa. Jika NU itu adalah organisasi yang sehat. Sekarang aku bertanya pada
kalian yang masih aktif di dalam NU, apakan NU organisasi yang sehat? Sekarang ini
bagiku cukup tahu sejarah dan perkembangannya saja.
Kemudian seorang teman yang kecamatannya akan menjadi tuan
rumah bagi pemimpin pusat FPI sekaligus tempat deklarasi dan pelantikan
pengurus cabang Kab. Banyumas itu meminta saya menulis sesuatu. Maka pendapat saya
demikian.
Pemerintah pusat saja tak bereaksi apa pun atas aksi yang
dilakukan FPI, apa daya dengan pengurus daerah?
Sementara jika IPNI-IPPNU cilongok menerima kehadiaran
organisasi baru itu di Banyumas dengan syarat mengedepankan dialog dibanding
tindak anarkis, mungkinkah? Kalau latar belakang pengajuan anggota FPI di
Banyumas untuk dideklarasikan karena lelednya agama NU dan Muhammadiyah sebagai
ormas keagamaan terbesar, menanggulangi, mengurangi, malah menambah daftar
kemaksiatan.
Tentu sebuah kontrofersi jika IPNU-IPPNU mendukung
kehadiaran FPI. Tapi sebuah kontrofersi
yang terburu-buru dan amat konyol. Karena menurut saya FPI tidak akan memenuhi
tuntutan IPNU-IPPNU. Wong Gubernur, Walikota, Bupati saja mereka lawan, apa lagi
PAC IPNU-IPPNU.
Saya pribadi menolak sikap siapapun yang berbuat anarkis. Bahkan
jika itu dibawah kyai NU sekali pun. “Karena tidak ada paksaan dalam beragama”.
Yang artinya tidak ada paksaan untuk berhenti bermaksiat. Kecuali mereka yang bertanggung
jawab terhadap individu yang melakukan maksiat. Seperti suami memaksa istri,
ayah terhadap anaknya, guru terhadap murid atau wali terhadap muwali. Jadi no
anarkisme, no paksa-paksa, no premanisme berkedo nahi mungkar.
Sukoharjo, 17 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar