Akhir-akhir ini banyak yang prihatin dengan keadaan generasi
yang akan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Saya jadi teringat saat berada di
sebuah rumah makan di Purwokerto. Mendengarkan sebuah ceramah dari seorang
aktifis IPNU kabupaten Banyumas yang namanya melintang ke segala penjuru. Sebagai
mantan ketua IPNU cabang Banyumas seharusnya dan tentu punya trick tersendiri untuk
memengaruhi manusia (minimal yang seusianya) khususnya NU. Ya, tentu dia yang mantan
ketua periode peralihan itu tak seperti ketua-ketua di periode setelahnya. Bung
Era bercerita bahwa saat dia menjadi ketua, adalah masa diaman terjadi
peralihan nama Pemuda dan Atau Pemuda Putri menjadi Pelajar dan Pelajar putri
pada IPNU-IPPNU. “Jelas banyak sekali teman-teman saya yang berpengalaman
tetapi usianya sudah jauh dari usia pelajar meninggalkan dunia IPNU”, begitu
keluhnya. Tetapi kemudian dengan kepergian atau absennya banyak sekali teman
itu malah memancing semangat dalam pencarian teman-teman baru yang kualitasnya (minimal
sama dengan orang-orang yang absen) lebih dari orang sebelumnya. Begitulah kekira,
kemudian memunculkan gagasan demi gagasan untuk menciptakan ratusan manusia
berkualitas dari sekolah-sekolah negeri non agamis menjadi manusia-manusia
aswaja ala NU.
Salah satu gagasan yang menarik adalah membagi sasaran. IPNU
yang beralih nama menjadi pelajar itu maka fokusnya hanya pada pelajar. Kemudian
ketika mengajak pelajar perguruan tinggi tentu caranya tidak sama dengan mengajak
pelajar yang masih SMP. Kemudian muncullah gagasan pengelompokan usia atau
derajat pendidikan menjadi tiga kelompok. Yaitu usia dini, menengah dan atas. Usia
dini itu usianya anak SD/MI dan SMP/MTs, lalu usia menengah itu SLTA sederajat.
Dan yang paling tinggi itu usia mahasiswa. Gandeng kekuasaan sebagai ketua yang
tidak begitu lama, maka Bung Era hanya memilih salah satu dari tiga generasi
untuk menentukan laju IPNU kedepan. Dan disepakati oleh dirinya bahwa usia
menengahlah yang jadi fokusnya. Begitu seterusnya dan seterusnya. Yang seharusnya
jika hari ini saya kembali kepada IPNU, maka fokus sasaran doktrin idiologi
sudah berada di kelompok pra dini. Artinya usia anak sebelum SD/MI. Tapi sayangnya
fokus target itu tidak pernah diwariskan oleh Bung Era pada generasi
selanjutnya. Atau sebenarnya sudah diwariskan, hanya warisan tugas bukanlah
sesuatu yang dinanti. Tapi warisan jabatan masih bisa dinikmati. Dan kenikmatan
itu kadang menggoda.
Dan pada akhirnya saya mengira bahwa, pengelompokan itu
sebenarnya bersumber pada; “didiklah anak sesuai dengan jamannya, karena anak
tidak hidup dijamanmu”. Kemudian ada lagi, jadiakan raja di tujuh pertama,
budak ditujuh kedua dan jadikan sahabat ditujuh terakhir. Mangsudnya, jadiakan
anak sebagai raja pada usia tujuh petama. Yaitu pada usia 0-7 tahun. Bukan berarti
kita merelakan apapun atau menuruti apapun kemauan anaknya, tetapi dengan
sangat hati-hati meperlakukannya. Caranya melarang, caranya bicara, caranya
memberi, benar-benar seperti dengan raja. Kemudian umur tujuh berikutnya
jadikanlah sebagai budak. Cara memperbudak pun tak seperti yang mungkin
tergambar dalam cerita bar-bar atau film-film. Perbudakan dalam islam sangat
santun. Mengerti hak-hak kemanusiaan dan kewajiban tuan kepada budaknya. Memperbudak
anak yang artinya peraturan-peraturan dan dan hukum-hukum yang ketat. Kemudian pada
tujuh terakhir jadikanlah anak sebagai sahabat. Yang artinya berikan yang
terbaik yang dia mau, berikan masukan dan pengertian tentang bahaya hidup tapi
berikan pula kebebasan dia memilih.
Dan kemudian saya berpikir bahwa IPNU-IPPNU sebagai
organisasi pengkaderan yang tentu fokusnya di dunia anak dari mulai usia tujuh
pertama hingga tujuh ke tiga ini seyogyanya memperhatikan pola pengelompokan. Dan
saya masih terus beharap bahwa IPNU-IPPNU bisa menjadi organisasi kader yang
sesunguhnya dengan membekali generasinya segudang keahlian baik material,
konseptual dan bahkan sepiritual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar