Suluk Syafa’at bukanlah nama yang asal muncul begitu saja.
Bahkan prosesnya berlangsung dari generasi ke generasi. Memang perubahan nama
itu hanya terjadi tiga kali. Tapi generasi anggota grup genjringan ini mencapai
lima atau enam generasi. Lebih lengkapnya mengenai generasi Suluk Syafa’at ada disini.
Pada September tahun 2013, aku merantau ke kota untuk
mengadu nasib. Mencari jati diri tentang kehidupan. Betapa teka-teki itu perlu
diungkap. Tapi sebelum itu Suluk Syafa’at telah terbelah. Pada suatu malam,
setelah pujian Suluk Syafa’at rampung didendangkan, seseorang yang kemudian
didukung beberapa orang mengajukan interupsi.
Bagaimana kalau perjanjenan-nya, Suluk Syafa’at pindah ke
masjid Jami’ Birul Walidain? Mendengar pertanyaan itu sebenarnya aku hendak
menangis. Betapa sendiri itu sepi. Betapa terasing diantara yang berbeda itu
sengsara. Aku coba galih dan terus galih alasan sebenarnya dari kemauan mereka
untuk pindah.
Satu alasan adalah; kita punya masjid dan besar, kenapa
malah meramaikan mushola yang kecil. Dan alasan berikutnya; kita lebih dekat ke
masjid ketimbang harus berjalan menuju musola al-Barokah yang ada di ujung
desa. Selanjutnya untuk menimbang waktu yang dibutuhkan baik untuk berangkat
menuju maupun pulang dari tempat ber-Suluk-Syafa’at-an itu menjadi terlalu
panjang dan tentu menjadi terlalu malam.
Aku harus terus menahan kesedihan ini di pedalaman hati.
Betapa mereka yang mengajukan interupsi itu tidak pernah tahu betapa sepi
sendiri. Aku jawab sekenanya saja. Sedih sudah terlalu menguasaiku saat itu.
Bahwa keberadaanku di mushola al-Barokah ini pertama adalah
untuk ber-Suluk-Syafa’at. Kemudian untuk menemani para sepuh nahdliyin yang
keberadaannya terasingkan dirumah sendiri. Karena disekeliling mushola itu
hanya ada satu dua orang saja yang nahdliyin, sementara yang lain boleh
dikatakan sangat berseberangan. Lalu jauh itu bagiku adalah bonus pahala.
Karena al-ajru biqodri ta’ab, pahala
itu tergantung pada kemampuannya. Semakin jauh langkah kaki yang aku korbankan
untuk ber-Suluk-Syafa’at-an semakin mahal pula pahalanya. Begitu sebaliknya,
semakin kecil pengorbanannya semakin tak berpahala. Maka semakin jauh semakin
baik. Masalah masjid besar yang sepi itu, aku dulu pernah meramaikan. Dan
sekarang pula sudah ada jadwal ibu-ibu yasinan di masjid itu dan
mushola-mushola lain kecuali al-Barokah ini. Jadi aku pikir inilah keadilan.
Keadilan untuk meramaikan semua yang milik nahdliyin. Perkara ada yang mau
melepaskan diri dari Suluk-Syafa’at yang ada di mushola al-Barokah ini dan
berhijrah menuju masjid akan aku lepaskan dengan kerelaan hati. Sementara aku
akan tetap berada di tempat ini sampai waktunya tiba aku harus berpisah. Biar
pun semua pindah dan tinggal aku seorang, itu tidak jadi soal. Dan aku sudah
biasa melantun sholawat meski sendiri.
Dan tahun 2015 ini aku mumgkin merasakan apa yang Mbah-Mbah
di mushola al-Barokah itu rasakan. Terasing di rumah sendiri. Merasa
tersisihkan dirumah sendiri. Merasa sendiri dalam perpedaan keramaian. Di tahun
ini aku mulai hidup di komunitas Muhammadiyah yang kebanyakan mengikuti madzhab
hambaliyah. Sementara aku bermadzhab syafi’iyah. Betapa aku sendiri saat ini.
Siapa saja yang membaca tulisan ini dan masih sempat untuk
menemani orang-orang yang merasa sepi karena lingkungan, kesepian seperti apa
yang saya rasakan, mumpung masih ada kesempatan untuk menemani. Temanilah!
Mudah-mudahan kalian tidak mengalami sepi seperti apa yang aku rasakan. Selamat
berjuang sisa-sisa Suluk Syafa’at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar