Laman

Sabtu, 04 April 2015

Menikah dan Api

Orang-orang bilang menikah itu pusing, bingung, sedih, tapi juga seneng dan bahagia. Tahun 2009 meski sedikit, aku merasakan sedih. Kebanyakan yg ibu-ibu biasanya terkenang dengan almarhum. Kemudian menjadi sedih. Sebenarnya aku sangat tidak suka dengan kesedihan yg berawal dari kemarahan yg dipendam. Tapi kesedihan karena mengingat mati itu aku masih suka, bahkan mengusahakannya. Dan dua tahun berikutnya aku mengulangi kesedihan bersama amarah. Lalu, semoga saja, yg terakhir di tahun 2015 ini.

Entah mengapa aku tercipta oleh sunyi. Seakan-akan ramai adalah musuh. Meskipun aku senang dengan konser musik, terutama musik cadas, tapi sendiri dalam sepi di dalam konser tersebut adalah kenikmatan tiada tara. Sepi diantara hilir mudik pejalan kaki, teriakan kondektur metro mini, bus dan pengamen di terminal kota pun serasa menyanjung pedalamanku. Dan terkadang duduk bergumul diantara sepi itu sendiri jadi pilihan.

Suatu kejadian yg tidak bisa kita tolak kadang datang dari sekitar kita. 2009 itu ada pesta pernikahan Mba-ku. Dimana-mana pesta selalu ramai. Dari persiapan sampai usainnya. Dan aku yg belum bisa menikmati sepi diantara ramai tetangga yg kukenal dan saudara selalu tersiksa.  Dan amarah nongol entah dari mana datangnya. Menikam pedalaman hati yg kemudian memunculkan janji. Aku, ketika menikah nanti, tak akan mengadakan pesta apapun.

Dua tahun kemudian giliran kakak,ku yg menikah. Awalnya berencana tak akan rame-rame. Sekedar begadang semalaman. Biasa kita sebut dg lek-lekan. Berasal dari kata melek. Tapi kemudian ketika tratag atau layos atau apalah namanya dipasang dan lampu-lampu dinyalakan tanpa sound sistem, berasa sedang berduka. Biasanya dirumah orang yg meninggal dipasang juga tratag dan lampu tanpa rengeng musik. Maka untuk menghindari serasa duka itu kemudian datanglah seperangkat sound sistem. Jadilah tetap sebuah pesta. Pun persiapannya, entah mengapa selalu muncul percik amarah yg menusuk pedalaman hati. Dan lagi selalu aku yg tertusuk. Entah karena terlalu ceroboh atau memang akulah sasaran empuk. Disela persiapan itu aku kembali mengulang janji sebagaimana telah aku janjikan dulu.

Pun saat aku sendiri yg menjalani hajat itu. Saat aku menjadi pengantinnya, masih terus berharap tanpa perayaan apa pun. Kemudian kecewa datang saat melihat persiapan tratag itu ada di depan rumah. Melihat karungan beras dan tumpukan sayur. Dan rencana dua hari hajatan. Aku hanya bisa berdo'a, semoga tidak terjadi apa yg telah terjadi disetiap perayaan dirumah ini. Aku nistakan diri dg lapar. Aku payahkan diri tanpa tidur. Hanya untuk segepok senyum tulus tanpa paksaan. Senyum tanpa menyembunyikan rasa dongkol di dada.

Tapi do'a tetap tinggal-lah do'a. Rencana tetap tinggallah rencana. Ketika ego mulai meng-ingini yg tak pantas, yg tak seharusnya diingini, yg seharusnya dilepas dg ikhlas, kemudian dipaksa dikuasai ego. Dan masing-masing amarah membuncah menjadi lahar memuntah. Kemudian aku pasrah. Demikian selalu ada keributan, amarah, emosi, yg menyertai untuk mengundang tangis. Entah mengapa kebencianku untuk pesta menjadi semakin jadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar