Laman

Sabtu, 13 Desember 2014

Puntung Dikeramaian Pasar

Siang tengah hari itu bolak balik pasar Santa entah berapa kali. Bukan hendak mengutuk bolak baliknya, tapi dari bolak balik itu kemudian muncullah cerita. Aku mencari pelastik putih untuk membungkus 500 kertas undangan sebuah acara tutup tahun. Iya, tahun 2014 akan ditutup dengan suka cita, pesta-pesta dan gegap gempita. Itulah adat hedonisme kapital. Yg tidak paham tentang itu diamlah. Wong saya juga tidak paham kok. Hahahahahahahaha....

Setelah mengambil cetakan kertas undangan itu aku meluncur menuju pasar Santa. Pasar itu terdiri, setauku 2 lantai. Lantai bawah berisi penjual makanan dan bahan pendukung. Juga alat-alat pendukung makan memakan. Pun termasuk toko pelastik yg nantinya aku kunjungi. Sementara lantai atas berisi penjual ATK, alat tulis kantor
Termasuk berbagai jenis dan ukuran kertas. Aku pikir pelastik pembungkus kertas undangan itu ada dipenjual ATK. Tapi ternyata aku salah. Dan diberi saran untuk ke toko pelastik di lantai bawah.

Setelah turun aku menunggu cukup lama. Karena satu penjaga toko melayani, sekitar 10 orang pembeli hampir bersamaan. Termasuk aku. Aku menanyakan pelastik bungkus kertas undangan. Lalu dimintai contoh undangannya. Penjual itu mengukurnya, lalu membuka-buka tumpukan pelastik. Dan berkata " ukuran 11 kebetulan lagi kosong Mas, coba toko pelastik di belakang. Masih ada satu toko lagi". Aku menuruti. Pun sama halnya dengan toko yg tadi. Ramai sekali. Sampai pada gilirankuemyerahkan contoh undangan. Pun sama metodenya, diukur. Lalu mengambilkan se-pack pelastik ukuran 10.5 dan memasukkannya pada contoh undangan yg aku kasih. Pas sekali. Tepat nomer dan ukurannya, pikirku. Tanpa panjang lebar aku pun minta 5 pack. Dan menego bayarannya. Menjadi 50 ribu. Ok dan tugas selesai. Aku pun pulang.

Sesampainya di rumah dan aku pasangkan satu demi satu ternyata 2kali pelastik itu terlalu kecil. Aku tunjukan hasilnya ke orang yg menyuruhku. Dia minta ukuran pelastik yg 0.5 cm lebih besar. Aku pun kembali ke pasar Santa dengan penjual dan toko yg sama. Aku sampaikan maksud dan tujuanku. Beres dengan hanya penukaran saja. Dan kembali ke rumah.

Tapi beberapa langkah dari toko itu aku melihat puntung rokok yg masih menyala. Tergeletak di lantai keramik kering yg kanan kirinya ada toko barang-barang pelastik. Apa jadinya kalo puntung yg menyala itu memanasi kertas. Lalu menyala dan membakar pelastik. Kemudian pasar pun menghangus. Aku pun putuskan menginjak puntung itu sampai mati baranya.

Ayo lah bertanggungjawab mulai dari hal-hal kecil. Kalau masih sembarangan dalam hal kecil seperti puntung rokok itu bisa membahayakan orang lain. Bukan hanya gambar bibir rusak, paru-paru rusak dan segalanya yg kebenarannya belum teruji. Tapi berilah peringatan bahwa api bisa melahap apa saja di pasar. Pun bara api di pasar Santa.

Lalu sampah puntung itu, terutama rokok yg menggunakan filter. Filter itu berbahan seperti pelastik. Dan bahan yg tidak mudah hancur. Bisa memerlukan waktu nerpuluh tahun untuk mengurai sampah filter rokok itu. Alangkah baiknya sampah ini tidak dibuang sembarangan kalau tidak mau mencemari lingkungan. Berbeda dengan rokok kretek yg hanya kertas dan tembakau saja. Jadi mudah terurai menjadi zat alam yg bisa dimanfaatkan oleh tetumbuhan.

Mulailah mendetail dari hal-hal kecil yg ada di sekitar kita dan yg ada dalam diri kita.

Selasa, 09 Desember 2014

Malam Minggu

Malam-malam minggu itu menjadi sejarah. Pahit, getir, manis dan asin, gurinya ada disetiap sejarah. Entah bagi mereka yg telah mencatatkan namanya di KAU. Tapi malam minggu bagiku, kemarin, kini dan nanti, akan ku usahakan menjadi sejarah terbaik. Meski ada yg terburuk dari yg terbaik itu, semua tertuang dalam lontar modern abad ini. Kertas-kertas, halaman-halaman media sosial, halaman-halaman blog dan apa pun yg bisa aku manfaatkan untuk menulis sejarah.

Tentang sebuah malam minggu kelabu tempo dulu. Malam minggu tanpa tau apa yg akan menjadi tujuanku. Tentang malam minggu yg tak seorang pun tau, aku merindumu. Malam minggu yg setiap jengkal jarum jam aku nikmati sendiri. Di keramaian sembah mulia seribu puji nabi. Malam minggu yg gerimis, hujan atau terang bulan. Malam minggu yg dingin, gerah dan yg terasa biasa saja. Malam minggu yg dipersiapkan untuk memberontak kesewenangan kekuasaan. Malam minggu yg ditemani segudang judul film, animasi, drama, komedi, aksi dan family. Malam minggu yg hanya ada aku sendiri.

Atau tentang malam minggu saat menelan pil pengobat rindu. Malam minggu yg aku dan kamu bertemu. Malam mimggu yg mengumbar senyum diputaran waktu. Malam minggu yg hanya ada aku disisimu. Malam minggu yg merelakan waktu menguap bersama tatap. Malam minggu yg aku dan kamu berseteru. Malam minggu yg aku dan kamu tergugu. Malam minggu yg kita bersama menyusuri jalan raya. Malam minggu yg kita bersama berbelanja. Malam minggu yg kita menikmati seporsi sate. Malam minggu yg ditemani secangkir kopi.

Apa kabar kau yg kelabu? Apa kabar kalian para pemuja nabi? Apa kabar kalian yg memberontak kesewenangan kekuasaan? Apa kabar kalian yg menyediakan segudang judul film? Dan apa kabar rindu menggebu yg ditahan berminggu-minggu?

Kau masih baik saja pil pengobat rindu? Lalu bagaimana dengan mu Bertemu? Apakah baik kabarmu? Juga kamu Senyum, Sisi, dan Tatap. Apakah kalian juga baik? Dan, ah, jalan yg menjadi saksi seteru itu rusak. Apakah seteru juga baik saja, aku tak tahu. Yg menjadi saksi kunci, jalanan itu, sudah berubah. Apakah dia, jalanan, itu masih ingat dengan seteruku dengan rindu, dengan cinta, dengan gadis. Itulah Jakarta. Setiap detik bisa saja berubah. Jalanannya, gedung-gedungnya, terminal dan supirnya, gubernur dan DPRD-nya.

Tapi semoga cinta yg aku bawa ke Jakarta ini tak pernah berubah. Rindunya, sayangnya, cintanya, pil rindunya, secangkir kopinya dan banyak hal yg masih dianggap baik. Dan semoga segala apa yg baik di Jakarta ini bisa aku terima. Menjadi bagian hidupku untuk menikmati malam minggu yg kini dan akan datang.

Malam minggu yg akan datang, semoga, masih ada rindu, masih ada secangkir kopi, nasih ada pil rindu, masih ada pujian nabi, masih ada di sisiku, masih masih semua yg baik-baik dan menjadi hikmah. Semoga ada banyak cerita tentang malam minggu. Menikmatinya bersamamu.

Jumat, 05 Desember 2014

Dosa Selokan dan Masjid

Siang itu, layaknya seorang musafir, aku biarkan kaki ini terus menyusuri jalan. Jalan penuh debu bekas galian selokan yang telah mengering. Hilir mudik pengendara berbagai moda tranportasi. Sepeda kayuh, becak, sepeda motor, bajaj, angkutan kota, truk-truk sampah dan entah apa saja yg mendahului atau berpapasan denganku. Tak kupedulikan mereka. Dan anganku hanya pada kampung halamanku. Membayangkan seorang perempuan paruh baya itu terbaring disebuah bangsal rumah sakit.

Sampai depan sebuah toko susu aku berhenti sejenak. Barangkali temanku yg bekerja di toko itu hendak menitipkan sesuatu. Untuk sanak familinya di kampung. Ya, aku akan mudik sore ini. "Tidak ada yg akan aku titipkan", katanya dengan penuh keyakinan. Padahal dalam hatiku berharap dia memberiku sedikit pesangon sebagai belas kasih seorang yg sedang terkena musibah. Ah, biarlah jazad ini menemui perempuan paruh baya itu tanpa bekal. Kecuali badan yg sehat ini.

Kembali aku berjalan. Meninggalkan harapan yang menguap. Menyongsong sesiung buah pengobat kerinduan. Dan terus kubiarkan kaki ini melangkah. Menemu pijakannya sendiri. Sementara mata menahan kantuk akibat tak bisa tidur semalaman. Memikirkan yg jauh disana. Tapi kemudian jalan menjadi becek. Jalan kedepan itu selokannya baru sedang digali. Dan hasil galiannya itu dimuntahkan dipinggir jalan. Dan kulihat seorang muda sedang mengayunkan cangkul. Mengumpulkan bekas galian itu agar tak berserakan ke tengah jalan. Kuperhatikan dia berhenti sejenak saat melihatku hendak melewatinya. Kutengok dia mulai mengayunkan cangkulnya saat jarakku sekitar 2meter. Tak ku pedulikan lagi dan kembali menatap kedepan. Tapi kemudian kurasakan cairan kental hangat muncrat ke badan bagian bawahku. Ah, lumpur selokan itu menempel di celanaku. Kutengok kembali ke belakang. Pemuda itu minta maaf. Aku tersenyum dan menunduk. Meski dalam hatiku marah, tapi sebisa mungkin tak akan kubiarkan dendam membusukkanku.

Sembari jalan aku mencari-cari tempat untuk membersihkan diri. Tak lucu kan kalo duduk di sebuah metromini dengan celana penuh lumpur dan bau? Dan perjalananku sampailah pada sebuah pom bensin. Kulihat kode pom itu. Dan dibawahnya tertulis rest area, toilet kemudian mushola. Aku pun singgah. Mencari-cari dimana mushola atau toilet. Aku hendak membasuh dosa. Tapi tak kutemukan. Hanya bangunan megah bertuliskan Masjid berwarna emas. Dikelilingi pagar besi dan pintunya tertutup rapat. Kudekati pintu itu. Sistem dua pintu rupanya. Satu pintu lebar untuk mobil dan motor, terkunci. Dan pintu kecil untuk pejalan kaki. Pintu itu ada penghalang besi setinggi betis orang dewasa. Tertutup tapi tak di gembok. Aku membukanya dan masuk. Menuju tempat wudlu dan toilet. Kubasuh semua luka. Dan celanaku basah pada bagian belakangnya. Aku putuskan duduk istirahat sembari berjemur. Setengah kering celanaku dan adzan pun dikumandangkan. Dhuhur. Aku beranjak dari tempatku duduk.

Sembari berjalan. Masjid, sebagai tempat bersujud benar-benar hanya menjadi tempat bersujud. Sementara yg bersujud belum tentu terbebas dari penyakit su'udhon. Prasangka buruk. Mungkin orang-orang sepertiku, yg mampir tapi justru pergi saat adzan dikumandangkan adalah orang yg merugikan mereka. Atau ada banyak musafir-musafir lain yg memanfaatkan masjid sebagai tempat istirahat malam, tidur. Seperti aku dulu. Berjalan dan berjalan, dan berhenti saat malam datang. Beristirahatlah di masjid dan mushola.

Makna masjid dan mushola semakin menyempit saja. Dulu aku diceritai, entah oleh siapa, bahwa seorang pencuri yg sedang dikejar-kejar penduduk desa masuk ke sebuah masjid yg dalam posisi gelap. Lalu berdiri menghadap kiblat sembari bingung mencari jalan keluar. Tapi rombongan pengejar itu berlalu begitu saja. Mengira orang di dalam masjid itu sedang beribadah.

Masjid adalah tempat paling aman bagi siapa pun. Tak terkecuali jama'ah yg ada di sekitar masjid pun seharusnya merasa aman. Karena belum sempurna iman seseorang yg apabila kamu berada disekitarnya merasa tidak aman. Pun ketika masjid menjadi tempat yg tidak aman bagiku karena satu dan banyak hal, sebenarnya siapa yg imannya kurang sempurna?

Tak seharusnya masjid memiliki pagar keliling. Seolah-olah menghalangi orang-orang yg hendak menyambut hidayah. Seolah-olah masjid adalah tempat yg perlu diamankan dari orang-orang yg tak semestinya berada di masjid. Mungkin orang-orang sepertiku. Padahal penjagaan ALLAH lebih aman dari penjagaan apapun dan siapapun. Seharusnya pengurus masjid membuka lebar halamannya menyambut mereka yg datang. Dan menyerahkan penjagaan hanya pada ALLAH. Atau jangan-jangan mereka tidak tahu bahwa penjagaan Tuhan lebih dari apapun? Mari lebarkan pintu masjid.