Laman

Selasa, 26 November 2013

Terlambat Datang Bukan Berarti Kalah


Kajian NU, jika dipaami secara etimologi pun masih megandung ambiguitas. Kajian NU itu maksudnya kajian yang sesui kaidah NU atau kajian yang membahas tentang NU? Tapi kemudian justru keduanya pun menjadi penting bagi NU sendiri. Baik kajian yang berjalan sesuai kaidah NU maupun kajian yang membahas lebih dalam tentang NU.

Berbicara tentang NU, tak lengkap rasanya jika tak menyinggung Muhmmadiyah. Bahwa antara berdirinya Muhammadiyah dan NU ada jeda yang lumayan lama. Ada selang antara Muhammadiyah sebagai organisasi dan NU sebagai organisasi. Yang jelas NU kalah dalam dalam hal waktu ketimbang Muhammadiyah. Padahal  Muhammadiyah hanya memiliki 1 icon saja. Sedangkn icon bagi NU ya para Kyai yang jumlahnya tidak hanya hitungan jari. NU dating belakangan dan boleh dikatakan terlambat atau tertinggal.

Dan pada masa kekinian, generasi muda NU, baik yang terjaring dalam IPNU-IPPNU, Anshor, Fatayat, maupun PMII, semua sedang gencar menggemborkan Pers dan Jurnalistik sebagai lahan atau cara untuk mengembangkan oraganisasi atau untuk tujuan yang lebih mulia lainnya. Seperti membumikan ajaran Aswaja ala NU.

Padahal disana-sini sedang marak berkembang isu tentang kelicikan-kelicikan media masa. Baik cetak, audio, maupun audio visual. Media masahanya penyebar gossip isapan jempol saja yang kemudian membentuk opini public yang nantinya hanya akan menguntungkan segelintir oknum saja.

Yang marak terjadi adalah saat adanya pesta demokrasi. Satu media mengatakan Pak A yang elektabilitasnya tertinggi. Sementara media lainnya mengatakan Pak B-lah yang elektabilitasnya tertinggi. Dan apalagi kalau bukan untuk membentuk pandangan umum yang nantinya akan menguntungkan Pak A atau Pak B. maka bukan hanya Part-Tai saja yang barmain curan. Tapi media masa pun sebenarnya sama busuknya.

Dan sekali lagi, dengan keterlambatannya, NU mulai memunculkan diri dengan media masanya sendiri. Dengan harapan mampu membendung simpang-siur dalam media masa yang hanya mencari keuntungan golongan atau pribadi. Membendung informasi-informasi yang tidak akurat yang nantinya hanya menguntungkan segelintir orang dan menewaskan banyak manusia lainnya.

Serta perlu dukungan dari berbagai elemen yang terdapat dalam barisan NU guna mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Bukan hanya golongan muda saja. Tapi baiknya di semua golonga, baik tua maupun muda, perempuan maupun lelaki. Bersama membangun transparasi NU dan Indonesia melalui media masa. Meski dalam keterlambatan, dan selalu dalam keterlambatan.

Senin, 18 November 2013

Enaknya Menulis


Menulis memang bukan suatu kewajiban. Tapi bagi orang-orang tertentu, menulis kadang menjadi obat yang mujarab. Terutama untuk tumbuh kembang jiwa dan pikirannya. Sesekali kita mengalami hal yang sangat mengecewakan. Dan saat itu kita kadang memilih teman untuk berbagi. Kadang pula ada yang memilih orang tua. Dan beberapa justru memilih buku hariannya untuk mencurahkan segala bentuk masalah dalam bentuk tulisan.

Orang-orang yang memilih tulisan sebagai wadah dari sejarah hidupnya bisa terus membuka halaman demi halaman hidupnya yang telah terlalui. Apabila buku-buku hariannya masih tersimpan dengan rapih. Karena kadang memori manusia yang mudah lupa itu meninggalkan hal-hal yang kurang. Maksudnya yang biasa-biasa saja. Dan apabila seluruh hidup kita biasa-biasa saja, maka seluruhnya pula akan hilang ditelan usia.

Berbeda dengan orang yang menuliskannya. Meskipun itu sebuah hal biasa, tetapi kemudian disaat anak cucu kita telah lahir akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Apalagi ketika hidup yang kita hadapi memang penuh lika-liku. Tentu akan lebih menarik untuk dibaca ulang. Dan satu keuntungan adalah kita bisa memberikan bukti kepada anak cucu kita bahwa kita pernah mengalami hal yang paling buruk atau sebaliknya. Bahkan hal-hal kecil seperti makanan favorit saat tinggal dalam sebuah kamar kost atau makanan yang pertama kali disantap bersama dengan sang kekasih bisa menjadi kenangan tersendiri saat kita tua nanti.

Jika lembaran-lembaran hidup itu kita kumpulkan, dan menjadi sebuah buku, maka kita seperti sedang membaca roman hidup kita sendiri. Seperti sedang melakoni menjadi bintang dalam sebuah novel hidup kita sendiri, atau sedang menjalani sebagai tokoh utama dalam sebuah cerpen.

Kemudian saat sebuah rahasia atau suatu masalah yang kita tak ingin agar orang lain mengetahuinya, maka tempat yang paling aman adalah tulisan yang selalu tersimpan. Ketika hal yang saat ini menjadi sebuah masalah besar tetapi tidak tertulis, bisa jadi dalam hitungan windu kita akan melupakan hal yang sebenarnya sangat mendebarkan. Atau sebaliknya, hal yang sangat menyenangkan.

Itulah semboyan menulis. Bukan untuk menjadi penulis, tetapi untuk memetik hari yang suatu saat tidak bisa kita petik kecuali dengan tulisan tersebut. Yaitu hari saat penyakit tua telah menjangkiti tubuh kita. Karena menulis adalah hidup. Maka yang tidak menulis tidak benar-benar hidup. Dan menulis merupakan kenikmatan tersendiri bagi pekerja apapun. Penjual nasi yang menulis, guru yang menulis, tukang becak yang menulis, penjaga toko service yang menulis, santri yang menulis, pelajar yang menulis, petani yang menulis dan semuanya menulis untuk menoreh sejarah hidupnya sendiri. Untuk mengetahui gambaran dirinya melalui sebuah tulisan.