Laman

Kamis, 31 Januari 2013

Cerita Suluk Syafa'at

Dahulu sekali. Ketika penulis blog ini masih sangat kecil. Masih teringat lamat-lamat dalam bayangannya ketika ikut serta dalam acara pembacaan maulid al-barzanji di masjid terdekat. Lamat-lamat mengingat ketika di gendong oleh Mba Suminah. Anaknya Pak Mandi, tetangga sebelah. Sementara dua kakaknya yang juga tak kalah kecilnya tak mungkin menggendongnya. belum cukup kuat untuk melakukan itu.

Kerap kali, Salis (penulis blog), tertidur sebelum acara itu selesai. Dan kerap kali pula ngotot untuk tetap ikut acara tersebut meskipun tak pernah sampai usai mengikutinya. Sisanya di ikutinya sambil senggar-senggor, ngorok. Tapi lagu faforitnya masih "Gelang sipatu gelang, gelang si rama-rama" dan liriknya itu diganti dengan "Marhaban ya nurol 'aini, marhaban jaddal husaini".

Suatu kali generasi itu pasti berganti. Setelah generasi Mba Suminah itu menguap, maka tinggallah generasi berikutnya, para kakaknya salis. Terutama yang perempuan, Wiwit dan bala kurawanya. Generasi ke-dua ini berlangsung cukup lama dalam ingatan Salis. Karena tak lagi lamat-lamat dai mengingat. Tapi benar-benar jelas ingatan itu. Dari mulai gegap gempitanya hingga surut kering kerontang tak terdengar lagi suara Sholawatan itu.

Ketika Usia Salis menginjak belasan tahun, Pak Marno-Selamet, kembali menggemakan suara itu melalui anak-anak yang mengaji ba'da maghrib kepadanya. Sampai pada tahap ini Salis masih gagu untuk bersholawat. Masih jadi bawang-konthong alisa ela-elu. Padahal semua teman sebayanya telah sigap menyanyikannya di depan mic. Bahkan ketika membaca 'atiril itu teman-teman salis telah teramat terampil

Menginjak usia SMA, salis mengembara ke kota untuk menimba ilmu. Termasuk ilmu "perjanjenan". Selama tiga tahun, setiap malam jum'at salis dan teman-temannya membaca maulid al-barzanji itu. Dan setiap ba'da isa pada ada wiridan Sholawatan. Jadilah salis itu keranjingan sholawatan.

Liburan semester Salis mudik ke kampung halaman. Membawa ilmu genjringan juga kulak lagu-lagu sholawatan yang belumpernah diperdengarkan di muncu khususnya. Mulai dari situlah gema-gema sholawat mulai tumbuh setelah menguap ketika generasi Salis mengembara.

Jan, dawa temen yah. Singkatnya, Salis pun merintis dan terus merintis yang juga telah mencapai pada tiga generasi.

  1. Generasi pertama adalah generasi yang masih melibatkan banyak pihak. Dari yang muda sampai yang tua, semua ambil bagian. Orang- orang seperti Om Dino(Tukang Kayu), Om Amad, Karsinah yang satu generasi dengan Wiwit dan masih banyak pihak lainnya. Termasuk juga Pak Marno-Selamet. Generasi ini menamai grup sholawatnya dengan "SALBUN MUSOJADAH", asal bunyi moga-moga jadi ibadah.
  2. Generasi ke-dua. Sudah lebih homogen anggotanya. rata-rata usia remaja yang baru saja mengenal genjringan. jadi lagi semangat-semangatnya. Orang-orang seperi Mas Uun(Blenthung), Mas Arif(Cakit), Mas Omang(Gomeng), Mas Ngalim(Gonteng) dan grup vocalnya masih itu-itu juga. Fitri(Gopit), Karsinah, Wiwit pula masih hidup pada generasi ini. tak jelas apa nama grupnya. Mungkin masih menggunakan nama generasi sebelumnya.
  3. Generasi ke-tiga. Generasi yang hanya mengandalkan para lelaki. Tak ada tambahan nama dari generasi ke-dua, hanya saja rumus tabokannya yang berbeda. Dan sholawatannya sudah nglayab sampai di Karangduren. Menganut paham "Apalah arti sebuah nama".
  4. Generasi ke-empat. terjadi perubahan total dari semua generasi. Orang-orang seperti Khafid(Kathung), Tio(Mawok), Dan Jefri (anake Toliyah)mulai terlibat. Dengan grup vocalnya ada Windi(Pungil), Narsiti(Manohara, jere), Puput, Nita(Bonit), Riri(Jebir). Grup ini menamai diri dengan Dawamush-sholawat (Melanggengkan solawat).
  5. Generasi ke-lima sampai sebelum sekarang. Merupakan turunan dari grup sebelumnya. Masih tertinggal Jefri dan bertambah Yogi(Mikoh, anake Nining), Feri(anake Kiro), Preji(anake Siwan). dan dari vocalnya berganti-ganti. berawal dari generasi Windi(Pungil), lalu generasi Sofi(anake Kirah), Unzila(Putune Kemi), dan mbuh sapa bae, kelalen. Nama grupnya masih Dawamush-sholawat.
  6. Generasi yang sedang berdikari. Belum ada perubahan personil, kecuali grup vokalnya. pada grup penayaga ada banyak tambahan dari orang-orang larangan kulon seperti Aji, Adi, Andre, Abi, dan lain-lain. Sementara dipihak vokalnya berubah total. Percampuran banyak generasi, Laeny yang entah dari mana datangnya, Gopit dari generasi ke-dua, Manohara dari generasi ke-empat dan masih banyak yang lainnya seperti, Yeni(Anake Sukam), Atik(adine Anggit). Menamai diri dengan "Suluk Syafa'at"

Cerita Dari Kampung Suhuf

Tulisan. Apa pun betuk tulisan itu, memiliki maksud tersendiri. Setiap penulis memaparkan maksud tulisannya itu. Bahkan tulisan plagiasi pun ada pesan yang terkadung disana. Bisa bentuk tujuan jangka pendek, seperti untuk belajar. Atau jangka panjang untuk mengenang.

Tetapi masa sekarang, kebanyakan komunitas kepenulisan, mengorientasikan tulisan itu pada terbit atau tidaknya. Yang secara tidak langsung mengutamakan materi ketimbang seberapa besar manfaat tulisannya itu. Yang pada ujungnya akan memunculkan tulisan-tulisan yang bukan gambaran diri. Atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan kepribadian penulisnya.

Gamblangnya saja. Setiap penerbit memiliki kepribadian yang diusungnya melalui buku yang mereka terbitkan. Begitu juga surat kabar, majalah, atau pun buletin. Dan ketika kita menginginkan tulisan kita dimuat di buletin A, misalnya, kita harus menyesuaikan tulisan kita dengan apa yang buletin A suarakan.

Mudahnya. Misalkan saya adalah pemimpin penertbitan A, dan saya suka bentuk-bentuk tulisan Om Pramoedya Ananta Toer. Maka bentuk-bentuk tulisan itu lah yang mendapat sambutan hangant untuk diterbitkan. Sementara itu Si Penulis belum tentu benar-benar sosialis seperti Om Pram.

Kemudian lagi. Sebuah kata-kata yang terlalu dalam berhubungan dengan ke-pe-nu-li-san. "Setetes Tinta Dapat Menggerakkan Jutaan Manusia Untuk Berpikir". Itu baru tintanya tok, bagaimana dengan tulisannya? Maka sudah seyogyanya sebagai manusia yang dikaruniai pikiran akan senang berpikir. dan untuk mempermudah proses berpikir itulah maka perlu adanya tulisan.

Sebuah derama kehidupan jika tak ditulis tak terlihat konflik dan klimaksnya. Sejarah ketika tercecer dari mulut ke mulut akan tinggal cerita isapan jempol. Peradaban manusia jika tak tertulis sama juga dengan sekumpulan monyet-monyet dihutan kalimantan sana.

Jadi bentuklah ceritamu sendiri melalui tulisan diary mu. Bentuklah sejarahmu melalui ceritamu sendiri. Dan satukan peradabanmu utnutk generasi setelah kita. Abadikan derema kehidupan melalui tulisan. Bukan melalui penerbitan.